Kepingan Puzzle

345 44 16
                                    

"Mengapa kau hanya berdiam diri di situ, Hilaire?"

Laki-laki bersurai ikal kecokelatan yang dipanggil Hilaire itu menoleh, mengalihkan pandang dari pintu kabin yang sedari tadi tertutup walau berulang kali diketuk, menatap sosok lelaki berpakaian parlente yang menegurnya barusan.

"Tuan Blanc tidak kunjung keluar dari kamarnya walau sudah kupanggil berkali-kali, Tuan Damien," jelasnya sembari menggigit bibir gelisah.

"Mungkin beliau masih tertidur. Perjalanan dari Baghdad menuju London memerlukan waktu yang amat panjang."

Damien berujar singkat tanpa enggan melontarkan basa-basi dengan raut wajah dinginnya, ciri yang amat khas dari dirinya dan sayangnya Hilaire tak begitu menyukainya. Tanpa mengindahkan ucapan lelaki Basset tersebut, Hilaire lantas kembali mengetuk pintu kabin Tuan Blanc yang masih setia tertutup walau sepuluh menit telah berlalu semenjak terakhir kali dirinya mengetuk.

"Sudahlah, Hilaire. Dia butuh istirahat dan-"

"Aku sudah memanggilnya untuk keluar sejak pukul tujuh! Sampai jarum jam menunjukkan angka sebelas, Tuan Blanc tak kunjung menjawab atau pun keluar untuk menerima sarapannya," tukas kapita dengan kulit sawo matang itu gusar, memotong ucapan Damien yang belum seutuhnya selesai. "Pasti ada yang tak beres."

"Aku akan memanggil putera sulung Tuan Blanc."

Hilaire cepat-cepat mengangguk penuh harap. Membuat Basset muda itu berdecak pelan sebelum akhirnya mengangkat kaki, menyusul putera Tuan Blanc yang menempati kabin lain di gerbong yang berbeda.

"Aku mendengar sedikit keributan dari sini. Ada apa?"

Sang kapita Toussant reflek menoleh tatkala mendapati suara bariton milik seorang pria menyapa kedua rungunya. Manik sewarna deragem mudanya kemudian melebar lantaran cukup terkejut. "Tuan Cassetti!"

"Cukup panggil saya dengan Jefferson saja, Tuan Toussant," pungkas insan yang dipanggil Tuan Cassetti tersebut seraya tersenyum tipis dan mengulurkan tangan, yang lalu disambut oleh Hilaire dengan sikap juwitanya.

"Ah, mimpi apa diriku semalam sampai-sampai bisa bertemu detektif sehebat engkau, Tuan Jefferson!"

"Tak perlu berlebihan, Tuan Toussant-"

"Hilaire saja. Dan juga, jangan terlalu kaku padaku."

Jefferson mengerutkan kening sebelum akhirnya mengangguk dan kembali melontarkan senyum. Jika ditilik berdasarkan pengamatannya atas percakapan antara Hilaire dengan Damien Basset barusan, sepertinya laki-laki muda bersurai ikal di hadapannya ini gemar memotong ucapan lawan bicaranya.

Tipikal orang-orang yang mungkin tak cukup menyenangkan untuk diajak berbicara, pikirnya.

"Baiklah, Hilaire. Kalau diriku boleh bertanya, apa yang sedang terjadi?"

"Tuan Blanc tak menjawab panggilanku semenjak pukul tujuh tadi."

"Kau sudah pastikan ia sedang tertidur atau apa?"

Hilaire menggedik pelan, wajahnya terlihat mulai kuyu lantaran terlalu khawatir. "Biasanya ia akan bangun pukul setengah enam dan meminta secangkir kopi."

"Kau begitu memahami rutinitasnya," tutur Jefferson sembari menatap ekspresi sang lawan bicara lamat-lamat.

"Tuan Blanc adalah mertuaku."

Detektif muda itu membelalak terkejut. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia bertemu dengan menantu salah satu konglomerat terkaya Perancis yang digembar-gemborkan media sepanjang pertunangan hingga pernikahannya.

Seorang bangsawan muda kaya raya nan dermawan dipersunting oleh putera bungsu konglomerat Perancis.

Begitulah kiranya judul berita yang sempat ia baca di perjalanannya menuju Vienna dua bulan lalu.

Puzzle PieceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang