Precursor.

18 5 7
                                    

     Suara dentuman keras terus terdengar di semua penjuru. Tangisan demi tangis menyelimuti seluruh kota. Kawasan yang tadinya aman tentram kian meningkat menjadi padat. Aku menghela nafas, apa yang harus aku lakukan?

Aku menatap sekitar, orang-orang tak berdosa itu berlarian histeris ketakutan. Mereka tidak akan pernah menyangka bahwa pasukan-pasukan kerajaan akan merampas tanah yang mereka tempati setelah beberapa tahun lamanya. Orang-orang disini hanya punya satu tempat tinggal. Lantas, kemana mereka akan pergi setelah ini?

Suasana mencekam kian meningkat. Tak jauh di depanku, aku melihat enam pasukan kerajaan memakai kuda mereka masing-masing. Meminta agar rakyat menundukkan kepala sebagai permintaan maaf kepada Nya. Aku menatap kesal. Sebenernya apa mau mereka? Dengan mengambil alih tanah-tanah rakyat apakah mereka akan makmur dan hidup tentram? Dunia ini sungguh tidak adil. Tapi aku juga tidak ingin berprasangka buruk.

Setelah beberapa jam aku mengawasi mereka, tidak banyak yang tersisa. Hanya ada beberapa orang yang berhasil bersembunyi. Mereka sangat cerdas.

Namaku adalah Brahana Madeline. Orang-orang sering memanggilku dengan sebutan Hana, itu mempunyai makna indah dan sederhana kata mereka. Aku dibesarkan di kota ini sudah lima belas tahun lamanya. Sejak orang tuaku diusir dari Ibu Kota karena melakukan satu kesalahan. Entahlah, aku tidak tau kesalahan apa yang telah diperbuat oleh kedua orangtuaku sehingga nasib mereka seperti ini.

Aku sedikit memiliki keahlian bertarung dengan musuh. Ayahku yang mengajarkan, dia sangat ahli dengan bertarung menggunakan pedang. Aku dilatih sejak usia ku beranjak tujuh tahun. Kala itu ayahku ingin aku menjadi seseorang yang berguna bagi semua orang.

Matahari mulai terbenam, hari semakin gelap. Angin berhembus kencang, sepertinya akan ada hujan badai. Aku masih berdiri ditempat yang ku tempati sejak pagi tadi. Kota yang tadinya ramai di penuhi suara anak-anak kecil yang bermain. Kini menjadi sepi seperti tak berpenghuni.

Orangtuaku. Aku merindukan mereka, sudah dua tahun lamanya mereka meninggalkan ku. Aku tidak tau kemana mereka pergi. Mada, seorang wanita berusia empat puluh tahun yang kini tinggal bersamaku. Aku tidak pernah bertanya banyak tentang kejadian hilangnya orangtuaku ke Mada. Takut ia akan marah atau semacamnya. Dirumah kami tinggal juga ada cucunya Madaㅡnamanya Sakti, usianya sudah lima tahun. Sekarang mereka berdua ada di pengungsian tak jauh dari sini.

Sudah semakin gelap. Waktu yang kutunggu sedari tadi telah terjadi. Aku bergegas pergi, melihat sekitar dengan teliti. Rencanaku aku akan menyelinap ke sudut Ibu Kota. Mencari informasi tentang pasukan-pasukan yang merampas tanah rakyat dengan secara paksa.

Aku menyelidiki setiap jejak. Sudah hampir sampai ke pusat Ibu Kota. Aku menghela nafas. Takut terjadi hal yang tidak diinginkan disana. Sudut Ibu Kota dipenuhi oleh rakyat. Mereka sangat antusias sehingga tidak pernah tau bahwa pasukan-pasukan kerajaan berniat jahat.

Aku berpikir sejenak. Bagaimana cara untuk mengobrol dengan mereka? Aku memberanikan diri. Mendekat kepada orang yang sedang berkumpul. Mereka memakai pakaian Mesir kuno, sehingga aku mengenali orang tersebut. Mereka adalah salah satu pembantu Dewan kota.

Aku mendekat. "Halo, Tuan. Apakah aku boleh bergabung dengan kalian?"

Mereka saling tatap. Bagaimana mungkin ada anak kecil ingin bergabung dengan perjamuan mereka. Salah satu dari mereka mengangguk sambil tersenyum.
"Nak, sebenernya kau siapa? Dan kenapa kau hendak bergabung bersama kami yang sudah tua menua ini."

"Namaku Brahana Madeline. Aku hendak mencari informasi. Tempat tinggalku di Kota Zurdaz." Aku menjawab cepat.

Mereka semua terkejut. "Apakah keluargamu baik-baik saja, Nak? Yang kudengar Panglima mengirimkan beberapa pasukan untuk menyelidiki masalah beberapa ratus tahun lalu."

Masalah? Apa sebenarnya yang mereka katakan. Aku tidak mengerti sama sekali.  Aku meninggalkan mereka. Memandang, menghabiskan waktuku dengan berjalan menjelajahi sudut Ibu Kota. Kerajaannya megah, mereka mendesain nya dengan teliti. Aku terkagum-kagum melihatnya.

Ngomong-ngomong, aku baru ingat. Raja kerajaan mereka hanyalah seorang lelaki berusia delapan belas tahun. Bagaimana usia seperti itu bisa menjadi seorang pemimpin kota besar. Mada menceritakan itu sebulan yang lalu. Alpha male yang wajahnya sangat tampan, memiliki aura khas leluhur. Namanya Hilac Brazelions. Lelaki yang diharapkan banyak rakyat. Sebab ia mampu memimpin. Kakek dan Neneknya mewarisi tahta kerajaan dengan berlembut hati kepada cucunya.

Aku mulai lelah. Beranjak pulang namun rumahku sudah tidak ada. Dirobohkan oleh pasukan-pasukan menyebalkan. Dimana aku harus tidur? Tidak mungkin aku menyusul Mada. Aku sangat kelelahan, tidak ingin pergi jauh-jauh. Di seberang sana ada tempat berteduh bekas pembantu dewan kota. Mereka sudah pulang. Ini sudah larut malam. Baiklah, aku akan memutuskan tidur disana.

Cahaya matahari menyinari wajahku yang belum bangun sepenuhnya. Aku berhendak membuka mata, melanjutkan perjalanan kembali.

Astaga! Aku melihat sekelompok orang melihatku. Tunggu, dimana aku sebenernya? Tempat tidur yang kutiduri, megah dan terbuat dari emas. Aku terkejut. Yang dikatakan Mada benar. Raja itu sangat tampan dan gagah perkasa. Aku menelan ludah. Tidak mau berbicara apapun.

"Kenapa kau tidur di tenda tadi malam, nyonya?"
"Aku hendak pergi. Terima kasih atas tempat tidurnya. Ini sangat bagus dan nyaman." Aku bergegas pergi.
"Hei! Tunggu dulu. Aku ingin berbicara dengamu, sebentar saja."
"Pergi semua! Biarkan aku menangani gadis ini."

Yang diteriaki langsung menurut. Aku terdiam. Berpikir ia akan melakukan apa kepadaku.
"Jadi, apa tujuanmu datang ke pusat kota? Aku tau kamu bukan berasal dari sini. Melainkan dari kota Zurdaz. Apakah kau sedang mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi?"

Aku mengangguk dengan cepat.
"Baik, akan ku ceritakan semuanya."
"Pertama-tama, aku akan memperkenalkan diriku terlebih dahulu. Namaku Hilac Brazelions. Mungkin kau sudah mengetahuinya? Kau bisa memanggilku Raja tampan. Eh, tidak-tidak. Panggil aku Hilac saja."
Aku melotot. Siapa sangka raja yang kulihat sangat menakutkan bisa bercanda? Aku menghela nafas. Hampir ingin tertawa namun tidak dengan kondisi sekarang.

Hilac melanjutkan bicaranya. "Dahulu kala, lebih tepatnya ratusan tahun silam. Peperangan besar terjadi dimana-mana. Rakyat-rakyat banyak yang meninggal. Ada juga yang mengorbankan dirinya demi keselamatan yang lain. Itu sungguh sebuah penghormatan bagi kami. Kau tahu? Zaman dahulu banyak sekali yang memiliki ilmu. Karena peperangan itu terus menerus, tempat tinggal jadi tidak aman. Mereka memutuskan mengakhirinya, mungkin saja menyerah. Lalu mereka berpisah, ada yang pergi mencari tempat tinggal ke bagian Barat, ada yang tetap tinggal di bagian Timur, Utara, dan Selatan.

"Rezor. Salah satu rakyat yang dulu adalah pembahasan utama disini. Ia adalah salah satu anggota pasukan. Ia sendiri memilih tinggal di bagian Utara. Kota Zurdaz, tempat tinggalmu sekarang. Kau tahu? Ia jatuh cinta pada seorang penyihir paling jahat di kota. Dulu. Aku tidak tahu cerita detail nya. Kakek menceritakannya saat aku berusia enam tahun. Rezor mati-matian berusaha agar penyihir itu juga mencintainya. Ia berhasil. Mereka menikah dan hidup bahagia. Namun, ternyata Rezor memiliki niat jahat. Ia memanfaatkan penyihir itu agar memberinya kekuatan. Setelah Rezor memiliki kekuatan paling sempurna, ia mengkhianati penyihir itu."

Note; ingatkan jika ada typo.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 23, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BRAHYLAC; ON GOING.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang