Sebelum Bab

1.8K 177 27
                                    

=====

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

=====

Rembulan akan meredup bersama mentari yang bersinar, mentari akan terbenam bersama dengan senja yang temaram. Namun tidak untuk keajaiban yang satu ini, ketika pelita tak padam dengan pukulan dan tombakan. Juga ketika harga diri tetap bertahan oleh celaan dan hinaan. Dengan usul yang sama, Haruto berhasil melalui segalanya. Bertahan untuk setangkai mawar pada genggaman tangannya, Kim Junkyu.

=====

Musim gugur sudah dekat, banyak dedaunan yang mulai memenuhi jalanan. Suhu udara juga mulai menurun, angin kencang bisa saja datang kapan saja jika ia menginginkannya. Kursi di taman kota yang awal mulanya penuh dengan orang-orang menghabiskan hari liburnya, kini hanya tersisa sebagian dengan kopi panas di tangannya. Matahari juga tak bersinar selama sebelumnya, cukup lambat untuk naik dan cepat untuk terbenam.

Sudah hampir satu bulan sejak Junkyu memutuskan untuk menjalani aktivitasnya lagi setelah kejadian besar yang menimpa hidupnya. Sebuah kejadian yang mungkin tak akan ada yang percaya, jika ia menceritakannya. Terlalu mustahil, dan memang tidak akan pernah bisa dipahami oleh logika. Selain itu karena realita harus tetap berjalan, jadi mau tidak mau Junkyu perlahan harus bisa melupakan segalanya. Junkyu mulai berangkat kuliah, kemudian pulang dan menghabiskan aktivitas seperti biasa.

Namun kali ini ada yang berbeda. Jika dulu Junkyu lebih banyak menghabiskan waktunya bersama dengan Jihoon, kini Junkyu ditemani seseorang yang dirinya sendiri tak menyangka akan banyak menghabiskan waktu dengannya. Seorang pemuda seusianya, yang selalu bersedia menemani Junkyu kapanpun dirinya tidak memiliki jadwal. Atau kadang sengaja mengosongkan jadwal hanya untuk menemani Junkyunya.

Benar, tidak salah lagi jika Haruto menjadi opsi jawaban. Karena memang pemuda itulah jawabannya.

Sejak terakhir kali pengakuan tentang perasaannya waktu itu, mereka tidak pernah mengungkitnya lagi. Tidak pernah ada pertanyaan dari Junkyu bagaimana atau kenapa bisa perasaan itu bersembunyi di balik sosok Haruto yang dikenalnya cukup menyebalkan. Karena menurut Junkyu, belum waktunya. Haruto pasti akan mengatakan segalanya jika pemuda itu ingin bercerita, mengingat seberapa lama Haruto diam dengan perasaannya selama ini.

Seperti yang terjadi hari ini, ketika senja mulai menyingsing dan hembusan angin mulai menguat. Haruto dan Junkyu duduk di salah satu kursi taman yang ada di pinggiran kota, setelah mengunjungi salah satu tempat yang harus Haruto gunakan untuk penelitian. Mereka duduk berdampingan sambil menyesap kopi panas yang dibeli pada salah satu kedai yang tempatnya tak jauh dari mereka memarkirkan kendaraan.

"Dingin nggak sih, To?" Junkyu membuka suara, dengan tangannya yang sengaja menggosok kedua bahunya setelah meletakkan kopinya di atas paha.

Mereka berdua hanya mengenakan hoodie tipis, dan tanpa jaket atau sesuatu yang mungkin akan melindungi mereka dari udara peralihan musim panas ke musim gugur tersebut. "Lo ngerasa dingin banget?" jawab Haruto dengan pertanyaan sembari mengambil kopi yang ada di paha Junkyu, menghindari agar kopi itu tak mengotori celana  Junkyu nanti.

Junkyu memasukkan tangannya ke dalam saku hoodie yang berada di depan perut. "Nggak juga sih, tapi tangan gue dingin banget. Anjir ah kenapa gue jadi lemah banget sih sejak kejadian itu? Tai," jawab Junkyu seenaknya saja.

Haruto meletakkan kopi milik Junkyu di sisi kirinya, kemudian menggeser tubuhnya agar lebih mendekat kepada pemuda di sisinya. Ia menarik tangan kiri Junkyu yang semula berada di dalam saku hoodie milik Junkyu sendiri, kemudian memasukkannya ke dalam saku hoodie miliknya bersama dengan jemari mereka yang bertaut. "Eh," tampak terdengar keterkejutan dari suara Junkyu.

"Lumayan anget kan?"

Junkyu diam, memilih untuk menghindari tatapan Haruto berniat menyembunyikan wajahnya yang mulai bersemu. "Nggak salting kan lo?" tanya Haruto jenaka.

Mendengar pertanyaan itu, Junkyu lantas berusaha melepaskan tautan jari mereka. Namun genggaman Haruto lebih kuat dari yang Junkyu bayangkan, ia mempertahankan posisi tangan mereka di tempat semula. Rasanya belum terbiasa, walaupun satu bulan ini Junkyu menghabiskan sebagian waktunya bersama Haruto. Namun, apa yang telah terjadi sebelumnya selalu membayangi Junkyu dan membuatnya canggung. Atau kadang tidak yakin, seperti perasaan tak benar dan ingin berhenti.

"Jangan ngagetin ya, To. Asli gue masih be—"

Belum sempat Junkyu menyeselesaikan kalimatnya, Haruto menyela. "Mau denger, gimana awalnya gue bisa suka segila ini sama lo?"

Tiba-tiba saja suhu di sekitar Junkyu lebih panas dari suhu yang seharusnya, wajah Junkyu hampir meledak saking merahnya. Telinganya juga tak kalah merah, kalau orang lain melihat itu pasti akan mengejek Junkyu karena ia berdebar hanya dengan afeksi kecil. Namun apa yang bisa ia lakukan, memang sebegitu besarnya efek seorang Watanabe Haruto untuk membuat Junkyu gila. Bahkan mungkin Haruto sadar dari tangan Junkyu yang mungkin lebih dingin dari sebelumnya, namun pemuda itu tak banyak bicara. Ia hanya memberikan gosokan ibu jari pada punggung tangan Junkyu untuk membuat Junkyu lebih tenang. Namun sayangnya dugaan Haruto salah, yang ada Junkyu merasa lebih gila lagi.

"Nggak segila itu juga sih, kata gue," jawab Junkyu seadanya.

"Tau dari mana lo kalo nggak gila? Liat lo nggak bangun-bangun aja bikin gue pengen mati juga, gimana nggak gila namanya?"

Fakta baru yang Junkyu dapatkan, ternyata Haruto sekhawatir itu padanya waktu itu. Junkyu tak mengira bahwa pemikiran bodoh seperti itu dipikirkan Haruto hanya karena melihat dirinya tidur, Junkyu pikir Haruto hanya sedih selayaknya orang pada umumnya. Walaupun Junkyu ingat bagaimana ketika Haruto berjanji tak akan melepaskannya lagi, namun keraguan masih banyak menganggunya. Terlalu banyak ketidakmasukakalan antara apa yang Haruto ceritakan waktu itu dengan kenyatakan yang Junkyu saksikan.

Mungkin Junkyu memang harus mulai mengetahui segalanya, untuk menghindari segala macam masalah yang akan datang nantinya. "Gimana tadi?" tanya Junkyu tiba-tiba.

Gumaman dengan suara rendah khas Haruto keluar sebagai tanggapan.

"Gimana ceritanya lo bisa jadi gila karena gue?"

Junkyu dapat merasakan usapan di atas punggung tangannya berhenti. "Lo siap denger dari mana dulu? Dari awal banget, atau pertengahan aja?"

Junkyu mendengus. "You know I'm falling so hard Haruto, I'll listen everything. Like literally everything you say."

Masih dalam posisi yang sama, Haruto mulai bercerita tentang bagaimana hidupnya berubah setelah bertemu dengan seorang Kim Junkyu. Bagaimana Haruto bisa belajar dan lebih memahami segala situasi yang terjadi di sekelilingnya. Namun sebelum Haruto memulai ceritanya, ia memberikan pesan kepada Junkyu. Sebuah pesan yang mungkin jika didengar oleh seseorang dari orang yang disukai akan menghasilkan jutaan kupu-kupu di dalam perutnya. Karena jujur saja, saat ini Kim Junkyu juga merasakannya.

"Senderan di pundak gue kalo pegel, atau mungkin tiba-tiba gue yang bakal nyender. Nggak papa, 'kan?"—

—sebelum bab end.

notes:

I'm so thankful buat kalian yang masih nungguin ceritanya, padahal aku bilang I can't make promise to start or even finish it. Tapi aku bakal usahain buat update, even nggak tau bakal se rare apa.

Jaga kesehatan ya, sayang kalian semua

Salam sayang,
zoe.

YOU, 1959. (Prekuel) | HARUKYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang