Kelakuan Tetanggaku

4 1 0
                                    


"Ihh ... gak lihat apa?! Kan jadi lecek, nih bajuku!" Bu Tatik, tetanggaku berkata demikian sambil mengusap-usap bagian bawah gamisnya yang tanpa sengaja aku duduki. 


"Maaf, saya gak sengaja," kataku, lalu menggeser posisi duduk sedikit agak menjauh darinya. Bukan inginku juga menduduki gamis wanita itu. Aku tidak sejahat itu, Maemunah!


"Bisa geser dikit, gak?" Tiba-tiba, Mila yang juga tetanggaku berkata. Namun, nada bicaranya itu sungguh tak enak didengar. Seperti jijik. 


Aku pun kembali menggeser posisi duduk. Entah apa yang merasuki dua orang itu. Seperti tak senang jika aku duduk di dekat mereka. Padahal yang punya rumah saja mengundangku. Kenapa mereka sepertinya tak senang jika diri ini berada di sini?


Ya, malam ini aku menghadiri undangan syukuran di rumah salah satu tetangga. Bu Fatma namanya. Beliau baru saja pulang dari tanah suci.


Rumah Bu Fatma sangat besar. Ruang tamunya saja melebihi lapangan sepak bola menurutku. Akan tetapi, entah kenapa ibu-ibu itu seperti kekurangan tempat duduk. Apa mungkin, napasnya sesak jika duduk berdekatan? Atau mungkin merasa jijik padaku? Entahlah. 


Sebenarnya ini bukan pertama kali aku merasa seperti sekarang. Sebelum kejadian barusan, sikap mereka memang begitu sejak dulu. Ya, mungkin karena hidup mereka lebih beruntung. Jadi merasa sultan, dan tak mau berdekatan dengan rakyat jelata.


"Eh, Bu Tatik. Sepertinya ada yang baru tu. Bling-bling berkilauan," celetuk Mila tiba-tiba. 


Orang yang diajak Mila berbicara pun spontan senyum-senyum sambil mengusap-usap benda berkilau di jari manisnya. Setelah itu memaju mundurkan tangan kiri yang tersemat tiga buah cincin emas.


"Sekarang berapa harga emas, Buk? Masih harga lama atau udah naik?"


"Udah naik, lho, Mil. Kamu taulah, harga emas naik terus, kalau orang susah mah ... mana mampu buat beli," jawab Bu Tatik seraya melirik ke arahku. 


What? Apa maksud manusia berbadan tambun itu, ya? Apa dia menyindirku yang miskin ini? Huh! Entah kenapa hati ini sedikit meradang. Padahal, harusnya aku sudah kebal dengan perkataannya. Karena sudah sering kali mulut judesnya itu menghina. 


Astaghfirullah! Berulang kali aku beristighfar di dalam hati. Jika secara langsung, aku takut manusia sombong itu akan lari. Ya, kan cuma setan yang suka sombong, dan setan pasti tidak suka jika dibacakan kalam Ilahi.


"Wahh ... bener itu, Bu Tatik. Orang susah mah paling cuma bisa ngiri. Maklum, jiwa miskin, kan begitu." 


Ucapan Mila seperti menyulut api dalam diri. Segitu rendahnya dia menilai orang miskin. Aku tahu mereka berdua sengaja memanas-manasi. Biar aku tersinggung lalu terpancing emosi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 25, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tunggu Aku KayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang