Toxic relationship kalau diibaratkan tumbuhan pasti udah rusak sampai akar-akarnya. Ya, namanya juga racun menyebar pasti gak cuma di satu titik, lah.
• • •
Tangan besar mencengkeram lengan Alana kuat. Gadis itu terpaksa menghentikan langkahnya. Terpaksa ia menoleh ke belakang. Suasana kelas sore itu benar-benar kosong.
Sepasang mata menatap tajam tepat menusuk pupilnya. Postur rahang yang mengeras, alis yang naik, dan semburat muka yang kaku mengekspresikan bahwa sosok itu sedang marah. Dia Leo, pacar Alana.
"Apalagi, sih?" kata Alana risih.
Perdebatan mereka rupanya belum berakhir.
"Aku tanya sekali lagi, ya. Kemarin kamu habis dari mana?" tanya Leo.
Meski terdengar baik-baik, nadanya tampak seperti nada menahan emosi.
"Aku udah bilang, kemarin aku les, Leo." jelas Alana.
"Bohong." Leo menggertakkan giginya.
"Lepas!" rintih Alana. Ia menghempaskan lengannya berusaha melepas cengkeraman itu, tetapi tidak bisa. Matanya melotot. "Lepas, gak? Sakit tangan gue!" teriaknya.
Bukannya dilepas, Leo malah semakin menguatkan cengkeramannya. Suara ringisan terdengar keluar dari mulut mungil gadis itu.
"Kalau kamu masih bohong," ucap Leo menggantung, dia terdiam sesaat, memandangi wajah Alana yang merah keunguan. Amarahnya semakin besar. "aku gak akan lepas. Jelas-jelas aku liat kamu pulang dibonceng cowok kemarin!" tandasnya.
Alana membuang muka ke arah lain, tertawa miris mendengar apa yang Leo katakan. Ia memutar bola matanya jengah dengan segala kegilaan yang Leo lakukan. Cowok itu terlalu posesif, tukang cemburu buta.
Tangan Leo yang semula mencengkeram lengan Alana beralih secepat kilat menangkup kedua pipi Alana. Otot-ototnya membuat wajah Alana kembali menatap cowok itu dengan paksa. "Jawab, Alana!" Nadanya meninggi. Alana tersentak.
Rasanya takut melihat manusia yang kerasukan setan seperti ini. Bahkan lebih seram dari setan sungguhan. Alana merasakan matanya yang mulai memanas. Alana tahan, jangan nangis, Al... batinnya mencoba menguatkan diri.
"Alana!" teriak cowok itu lagi tepat di depan wajahnya. Emosi.
Teriakan itu akhirnya membuat benteng pertahanan Alana runtuh. Gadis itu menangis."Aku bilang yang sejujurnya pun kamu gak bakal percaya! Kamu udah buta, Le," ujarnya dengan diiringi tangisan.
Leo tidak bisa lagi menahan emosinya. "Apa Alana? Apa?!"
"Dia sepupu aku, Le. Mama yang nyuruh dia jemput aku di tempat les. Kemarin mama sakit, gak bisa jemput. Puas?!"
"Nggak, Al. Kamu Bohong!" Leo menggeleng. Terkekeh tidak percaya.
"Demi tuhan, aku gak bohong, Leo." Alana menangis sejadi-jadinya. "Aku gak pernah bohongin kamu." Ia meronta, tangan Leo menjepit wajahnya terlalu kuat. Bekas cengkeraman tadi saja bisa memerahkan lengannya.
Leo menghela napas berat. Memandang wajah Alana lekat-lekat, meyakinkan dirinya bahwa yang Alana katakan sampai saat ini adalah benar. Ia pun melepaskan tangannya dari wajah Alana. Tampak bekas kemerahan mencuat dari pipi gadis itu. Perih. Alana menangis semakin ketakutan.
Tangan berdosa itu lagi-lagi berulah, kini mengusap rambut Alana perlahan. Tatapan menyeramkannya berubah menjadi tatapan penuh kasih yang membuat Alana ingin muntah.
"Oke, gini..." Leo memejamkan matanya sesaat mencoba menahan emosi. "Aku di sini sebagai pacar kamu, jadi kalau kamu gak ada yang jemput kamu bisa telepon aku, oke? Aku pasti bakal jemput." ujarnya panjang lebar.
Alana pun memilih diam. Tidak menyangka dengan kelakuan pacarnya, ditambah air matanya masih mengalir deras.
"Udah, ya nangisnya. Malu. Nanti orang-orang ngira aku habis apa-apain kamu lagi. Sekarang kita pulang ya, udah sore, aku anterin kamu."
Tangannya meraih tangan Alana lembut. Menggenggamnya.
Cowok sinting.
Dia sudah gila apa? Masih sempat-sempatnya mau nganterin. Psycho gila! Gue nunggu lo bilang putus, bodoh!
Alana menepis tangan Leo. "Gue pulang sendiri aja, Le."
Alana merasa tak nyama setelah apa yang terjadi—apa yang sudah Leo lakukan kepadanya—rasanya jijik setengah mati melihat cowok itu sekarang. Leo bukan lagi orang yang gadis itu kenal.
Leo sudah menjelma menjadi orang gila, sinting, gak waras! Jangankan seukuran anak SMP kelas 9, orang dewasa pun akan dianggap gila juga jika melakukan hal seperti tadi.
Lagi-lagi cowok itu tersenyum aneh seraya berkata,"No, sayang..." dia mendekatkan bibirnya ke telinga Alana. "...dulu kamu 'kan udah bilang mau dianterin pulang sama aku, berarti mulai dari hari itu tidak ada alasan apapun lagi buat kamu nolak aku." bisiknya.
Alana tertegun sekaligus ngeri mendengar kalimat itu. Tenggorokannya tercekat, sesaat mengering, tidak bisa menelan salivanya. Please, siapapun itu tolong bangunin gue dari nightmare ini!!!
+ + +
Hello!
Salam kenal ya, teman-teman wattys! Terima kasih sudah berkenan mampir ke work aku yang masih amatir ini. Terima kasih juga apresiasi teman-teman semua untuk vote and comment ☺️✨Aku open advice di kolom komen, siapapun jangan sungkan untuk memberikan aku saran agar aku bisa menulis lebih baik lagi. Ohya, aku minta maaf apabila dalam tulisanku ini ada kesalahan kata atau kekeliruan dalam ejaan😳 mohon koreksinya, ya, teman-teman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Awkward
Teen FictionTrauma akibat toxic relationship membuat Alana Arandale menutup diri dari lingkungannya. Keterpurukan itu berlangsung cukup lama, hingga saat kelas 11 tiba-kelas diacak lagi-mempertemukan Alana dengan sosok yang sampai saat ini masih ia kagumi, Aleo...