Restu Mama

2 1 0
                                    

Part 2
Restu Mama

Aku yang akan mengangkat derajatmu kelak sebagai istriku.

*****

“Please, kita coba sekali lagi, ya, Sayang,” bujuk Pandega, menahan agar bulir bening tetap berada di tempatnya. Tidak jatuh.

“Aku lelah, Ga. Lelah ....” jawab Nella dengan linangan air mata yang seolah berpihak pada langit yang mendung.

“Mamamu benar, mungkin aku memang nggak pantas untuk kamu. Aku hanya gadis yang nggak jelas asal usulnya. Bahkan, Ayahku saja aku tidak tahu. Ibuku? Hanya aku kenal lewat foto.” Untuk kesekian kalinya Nella mengulang kisah hidupnya pada sang kekasih.

“Cukup, Nel. Aku tak peduli seberapa sering kamu ungkap itu dan seberapa pilu kisah hidupmu. Itu semua bukan salahmu. Aku yang akan mengangkat derajatmu kelak sebagai istriku.” Pandega kembali meyakini Nella untuk tetap berjuang menggapai restu orangtuanya.

Bukan. Bukan orangtuanya. Lebih tepatnya, Mamanya. Karena Nella belum sekali pun bertemu dengan calon Papa mertuanya. Abdul Ghani Gunadi, seorang pengusaha yang juga aktif dalam politik. Selain sibuk mengelola perusahaannya, beliau juga menduduki salah satu kursi pemerintahan yang katanya bekerja untuk rakyat. Entahlah.
Beliau memang jarang sekali ada di rumah. Kalaupun di rumah, pasti dihabiskan untuk hobinya, touring bersama teman-teman club mobilnya. Begitu katanya. Akhir-akhir ini Beliau tidak pernah mengajak istrinya dalam kegiatan, seperti biasanya. 

*****

“Pa, Mama bosan di rumah terus. Boleh nggak sekali-sekali Mama ikut Papa touring?” tanya Amalia, istrinya. Sambil bersandar mesra di bahu sang suami.

“Sekalinya Papa libur, pasti pergi. Mama kangen, Pa. Boleh, ya, Mama ikut ... hitung-hitung sambil melepas rindu,” lanjutnya merengek manja bak pasangan muda yang dilanda rindu.

“Ma, kondisi Mama itu tidak memungkinkan. Ingat kata dokter, kan? Kalau Mama nggak boleh capek. Mama harus banyak istirahat,” jawab Ghani memberi alasan seraya memeluk mesra dan mencium kening sang istri.

Jumat malam, sepulang dari kantor. Ghani langsung meminta izin pada Amalia untuk pergi touring. Janjinya tak lama. Minggu sore sudah sampai rumah lagi. Selalu begitu ia menghabiskan waktunya. Entah hanya untuk menyalurkan hobi atau ada hal lain.

Amalia selalu merasa kesepian. Di rumah yang besar, ia hanya menghabiskan waktunya untuk nonton film-film kesukaannya. Sesekali keluar rumah untuk sekadar cuci mata di Mall. Itupun ia harus menunggu waktu luang Pandega untuk mengantarnya. Tidak seperti wanita kebanyakan yang hobi shopping, ia sama sekali tidak tertarik untuk menghambur uang demi barang-barang mewah seperti rekan sesama istri pejabat atau pengusaha lainnya.

Karena sesungguhnya, yang ia butuhkan hanyalah perhatian dan kasih sayang lebih dari suaminya yang selalu sibuk sendiri. Dulu ia selalu ikut kemanapun suaminya pergi. Tapi semenjak ada gangguan pada paru-parunya, kondisi fisiknya pun melemah. Dan dokter menyarankan untuk banyak istirahat.
Semenjak itu pula, entah karena perasaannya yang menjadi kian sensitif atau bagaimana. Amalia merasa suaminya berubah.

“Ma, itu hanya perasaan Mama saja. Sudah, ya, Ma. Jangan banyak pikiran lagi. Istirahat. Dari dulu kan Papa memang hobinya begitu. Mama jadi baper, deh. Dega yakin, Papa nggak seperti yang Mama bayangkan. Papa itu lelaki terbaik, Ma. Mama jangan sedih, ya, kan ada Dega yang selalu siap menemani Mama,” ucap Pandega menenangkan Mamanya, sambil mengedipkan sebelah matanya dan mencium kening sang Mama, lalu memasang selimut dan melangkah keluar kamar Mamanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 26, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RadelaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang