a.n : inilatarwaktunyatahun 90 ya, jadi ya gitudehbedastylenya. Janganlupadiputer ya bgmvideonyabuatnambahkesan.
....
Aku menjejaki aspal basah halaman rumah, sejenak menengadah pada dirgantara yang tampak sembilu nan kelabu. Agaknya kontradiksi dengan hatiku yang tengah bungah nan benderang. Aku kembali pada pandangan ke depan, menangkap objek manusia dengan payung biru di balik pagar putih rumahku yang bersampul putihnya tirai berbahan mika plastik tebal. Objek yang rupanya sesosok pria itu menoleh, menampakan senyuman lebar di wajah ketika berbalik badan.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Tuti, buruan atuh nanti telat upacaranya!" Dia berseru memanggil namaku yang kemudian kulangkahkan tungkai menuju figurnya, selepas aku mengembangkan payung merah muda milikku.
"Santai aja sih Din, ga bakalan upacara abis ujan begini." Aku membuka pengait pagar, mendorongnya sedikit; menciptakan celah bagiku untuk keluar.
"Kamu téh udah pamit sama Emak belum?" tanyanya ketika aku sudah berada di sampingnya.
"Udah dong, masa belom sih nanti digeplak akunya atuh." Aku berjalan mendahuluinya yang tak berselang lama kudengar gemercik langkah kaki beradu genangan air. Menghantarkan Didin yang langsung menarik lenganku, menggiring ku di sisi kanannya. Iya, dirinya mengantikan posisiku agar tak langsung berpapasan antara jalan dan trotoar.
"Kamu téh jangan pinggir jalan banget nanti ketabrak," katanya membalas tatapku yang hendak menghakiminya.
"Ih, kamu téh lebay, enggak ada mobil-motor lagian." Aku memasang tampang sebal berharap Didin merajuk padaku yang seakan kesal padanya.
"Ih, ini tuh supaya kamu ga kena becek, nih kalo kamu di posisi aku ntar ada mobil-motor lewat kena basah tau!"
Selalu saja, membuat ku bungkam dengan alasannya yang melelehkan hati. Didin dan ketidak rancuan sifatnya; dia misterius dengan caranya sendiri. Kadang aku tak paham, sekaligus terpukau dengan perhatian kecilnya itu.
Aku dan Didin sudah sejalan menginjak empat bulan. Bila bertanya siapa yang mengungkap rasa, jawabannya tidak ada. Di antara kami hanyalah menerka tindak-tanduk yang bertransisi menjadi saling terkait dan bersama.
Sungguh senang, bila sosoknya tak minat mengumbar kata-kata manis mengandung janji semu. Didin ialah seorang pria sederhana dengan sikap dan perilakunya, begitu natural tanpa direkayasa sedemikian hal.
"TeuayabedanaDidin, baseuhupamiaya motor atawamobilngaliwatkubécék." Aku menggumam pelan, yang dibalasnya dengan gelak tawa renyah.