monsterday

304 17 3
                                    

Kakiku yang terbalut flat shoes dari Tory Burch melangkah diatas lantai marmer di lobi perkantoran daerah SCBD Jakarta. Hari Senin adalah hari yang sangat dibenci nyaris semua orang, termasuk aku, karena pada hari itulah kita ditampar kenyataan bahwa weekend, dua hari ajang kabur dari pahitnya realita kehidupan telah usai.

"Dara!" sapa seseorang yang tengah menempelkan kartu ID pada mesin akses masuk kantor. Penasaran siapa yang memanggil, aku menoleh. Ternyata dia adalah Betari, teman kantorku. Usai berhasil melewatinya, perempuan berambut coklat tua panjang sepunggung itu menepuk pundakku. "Wekeend kemana aja, nih?"

Aku tersenyum padanya, "Dirumah aja," aku memencet tombol lift mengarah naik, "Kalau lo?"

"Gue ke Bandung, sama pacar gue, nengokin Ibu-nya yang lagi sakit," jawab Betari, tidak lama pintu lift terbuka, dan kita masuk.

Aku sudah berteman dengan Betari sejak menjadi pegawai sah di kantor multinational company yang bergerak pada sektor FMCG, salah satu paling terkemuka di Indonesia. Betari dan aku seumuran, kita sama-sama sudah berusia seperempat abad. Dan seperti yang kalian lihat sekarang ini, kita berdua sama-sama sedang menjadi wanita karir pada role Financial Analyst.

Aku dan Betari mengobrol banyak hal, mulai dari macetnya jalanan ke Bandung, mulai dari Betari yang senang karena sang calon mertua menerima kehadirannya dengan lapang dada, dan juga bagaimana dia yang mengasihani aku menghabiskan weekend dengan tidak melakukan apapun di apartemenku sendirian. Hanya aku, kasur, Netflix, dan camilan.

Ditengah percakapan itu, pintu lift terbuka di lantai 10.

"Hey," sapa seseorang. Laki-laki, karena suaranya berat. Saat aku mengadah menatapnya, aku tersenyum melihat orang itu. "Hey!" sapaku balik, antusias. Kemudian, laki-laki itu masuk ke lift juga.

"Pagi amat? Dasar ambis," orang itu adalah Galen, ia berkata padaku dan Betari. Lalu, Betari langsung memukul Galen begitu saja, "Ye, bukan ambis. Lo liat tuh jalanan, siang dikit macet! Lagian lo ngapain tiba-tiba udah di lantai 10 aja sepagi ini? Abis modusin anak divisi Business Development, ya? Nganter bunga pagi-pagi tulisannya 'Have a nice day!' gitu? Iya? Ngaku lo!"

"Berisik, Bet. Pengang kuping gue. Suara lo toa," balas Galen.

Betari hanya menimpuknya lagi dengan tas tote bag miliknya.

Sedangkan aku hanya tertawa melihat kedua tingkah temanku itu. Sudah ku ceritakan awal mula aku mengenal Betari, sedangkan Galen – ia adalah sahabatku sejak kuliah. Kalau dihitung, kami sudah bersahabat selama 6 – atau 7, tahun. Aku tahu, mungkin kalian berpikir bahwa aku dan Galen ada sesuatu, lebih dari sekedar teman – harus aku beri tahu sebelum menuai persepsi apapun, aku dan Galen hanya teman, tidak kurang, tidak lebih.

Memang harus aku akui, Galen adalah laki-laki yang baik. Selama berteman dengannya, Galen adalah laki-laki yang bertanggung jawab, disiplin, selalu mempunyai target dan tujuan dalam hidupnya. Galen cukup pandai, walaupun aku bisa bilang aku lebih unggul darinya sewaktu kuliah dulu, hehe. Intinya, dia adalah pribadi yang hebat, setia kawan, dan juga lumayan good looking. Seperti yang ada di hadapanku sekarang, Galen dengan curtain hair cut-nya, lengkap dengan kemeja lengan panjang berwarna biru muda dan celana bahan biru dongker yang sudah membaluti tubuhnya yang sedikit atletis itu. Aku tidak berniat memujinya, apa lagi membuat ia tinggi hati, tapi disini aku sedang mendeskripsikan fakta, bahwa Galen tidak buruk dari segi fisik, sama sekali tidak. Perempuan normal mungkin akan meliriknya sesekali jika berpapasan dengannya – tapi kita sudah berteman terlalu lama sehingga rasa tertaik antara aku dengannya itu tidak akan ada – begitulah yang sudah kami sepakati.

Tidak lama, pintu lift terbuka di lantai yang kami tuju, disitulah kami bertiga jalan keluar dan aku baru menyadari sedari tadi Galen menenteng sebuah kantor plastik.

"Apaan tuh, Gal?" tanyaku.

"Ini?" ia mengangkat kantong plastiknya, "Bubur ayam."

"Beli dimana?"

"Di belakang kantor. Gue tadi nggak sempet sarapan."

"Satu aja?" tanyaku lagi.

Ia balas mengangguk.

Lalu, aku cemberut, "Medit lo. Beli dua, kek. Nggak sopan makan sendirian. Laper tau gue."

"Lah?" Galen mukanya kebingungan, "Ya lo nggak bilang."

Aku berdecak dan meledeknya sekali lagi sebelum aku lenyap di dalam bilik dan mulai menyalakan laptop dan mengumpulkan niat untuk bergelut dengan angka dan data yang alaihim itu. Sekiranya percakapan tadi menjadi sebuah gambaran – Galen yang cuek, Galen yang pendiam, Galen yang apatis, dan Galen yang jauh dari kata perhatian dan afirmasi, bahkan pada sahabatnya sendiri. Seperti itulah persahabatan kami sejak tujuh tahun yang lalu. Aku juga nggak tahu kenapa aku bisa tahan berteman dengan orang yang seperti itu.

Di bilik, aku mengikat rambutku yang berwarna hitam, lurus, sepundak, dengan kunciran kecil berwarna hitam. Usai mengeluarkan botol minum, buku notes catatan, charger ponsel – aku hendak mencolokkan ke saklar, ponselku bergetar.

Revan Alvarendra: Good morning!

Mengintip notifnya, aku langsung meraih hp itu dengan senyuman, dan membalasnya.

Adara Letisha: Pagiii!

Revan Alvarendra: Udah di kantor ya? Have a nice day yaaa!

Aku tersenyum lagi membacanya. Pesan simple dari Revan – pacarku, sukses membuatku merasa lebih optimis menjalani Monster-day ini. Walaupun hanya bertukar pesan, dan bertemu lewat suara di panggilan telepon karena saat ini kami harus menjalani long distance relationship – aku dan Revan baik-baik saja menjalani hubungan yang sudah kami bangun sejak lima tahun yang lalu – sejak kami masih berada di bangku kuliah.

Revan Alvarendra: Text me when you finished working. Love and miss you always, Dara.

Bagiku, long distance relationship memang sulit, tapi kalau dengan Revan – semuanya bisa menjadi mudah. Revan yang baik, Revan yang setia, Revan yang selalu bisa aku andalkan perkataannya, Revan yang selalu berjuang dan mempertahanku, mempertahankan hubungan kita, dan Revan yang selalu membuatku optimis dalam segala hal.

Selama ini, aku dan Revan adalah simbiosis mutualisme. Bertimbal balik, saling membutuhkan, dan saling menguntungkan. Dulu aku sering merasa kalau aku yang lebih beruntung mendapatkan Revan, Revan tampan, dia idola semua perempuan di kampus, dari adik tingkat sampai kakak tingkat, fans Revan banyak! Tapi pada kenyataannya, banyak orang – dan teman-teman kuliahku semuanya berkata bahwa aku dan Revan itu sebenarnya saling beruntung mendapatkan satu sama lain. Bagi mereka, aku dan Revan adalah best couple, dalam segi apapun. Aku sepadan untuk Revan, begitupun Revan yang bisa mengimbangiku – dalam semua aspek. Walaupun sudah pacaran lama, tidak sekalipun aku merasa bahwa hubungan ini toxic, menjenuhkan, membosankan, membuatku lelah hingga mengelus dada – ada kalanya kita beradu pendapat, berargumen – tentu saja, tapi semua itu bisa kami lalui dengan baik-baik saja dan dengan penyelesaian yang sangat dewasa. Revan adalah semua hal yang aku cari dan butuhkan ketika sedang membahas laki-laki idamanku.

Distance means so little when someone means so much, bagiku itu bukan hanya quotes biasa – bagiku itu berlaku jika kita membicarkan tentang Revan Alvarendra.

***

Always Be My MaybeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang