Prolog

1 0 0
                                    


Siang itu Claudia menunggu Reynald di depan kelas dengan dada berdebar. Cemas yang sangat kentara membuat deru napas pemilik wajah cantik itu tak beraturan. Ia tidak menghiraukan sekian banyak pasang mata yang baru datang dan mulai memperhatikan karena lonceng tanda breaking time sudah berakhir baru saja terdengar. Adalah suatu pemandangan yang langka bila ada siswi kelas IPA yang tersesat di area gedung kelas IPS.

"Cari siapa?" Satu suara yang terdengar membuat Claudia menoleh.

"Reynald ke mana?" Claudia balik bertanya

"Tadi dipanggil menghadap oleh Pak Herman. Ada keperluan apa mencarinya?"

"Ada yang penting. Terima kasih untuk infonya." Claudia langsung berlalu, melangkahkan kaki menuju ke ruang BK yang letaknya tidak jauh dari gedung kelas IPS.

Gadis manis itu setengah berlari ke arah Reynald ketika sosok itu terlihat keluar dari ruang Bimbingan dan Konseling. Entah ada masalah apa lagi sehingga lelaki itu harus berurusan dengan Pak Herman. Semakin dekat, bongkahan otot penentu kehidupan di dalam dada semakin bergemuruh. Keringat bercucuran membasahi dahi. Tampak jelas ekspresi resah, khawatir plus ketakutan di wajah cantik itu.

"Kita perlu bicara, Rey." Claudia langsung meraih salah satu lengan kekasihnya.

"Ada apa lagi?" tanya Reynald enggan.

"Ini hal yang sangat urgen, Rey. Tolong dengarkan aku!"

"Katakanlah!"

"Jangan di sini, kita ke taman saja," ajak Claudia lalu menggandeng Reynald.

"Kenapa tidak di sini saja?" Remaja tanggung itu menahan diri dari tarikan Claudia.

"Terlalu banyak orang, Rey. Kedatanganku ke sini saja sudah mengundang perhatian, apalagi jika mereka ikut mendengarkan pembicaraan kita!"

Reynald menurut. Kedua sosok remaja belia itu lalu berjalan beriringan menuju ke taman sekolah. Suasana yang tak lagi ramai karena bel tanda masuk kelas baru saja berbunyi sekian menit yang lalu. Salah satu bangku beton di bawah pohon menjadi arah yang dituju.

"Rey, aku sudah telat dua bulan!" Claudia memulai pembicaraan.

"Telat apa?" tanya Reynald acuh.

"Kamu tahu apa yang aku maksud." Suara gadis manis itu bergetar, khawatir sekaligus takut akan respon Reynald nanti.

"Aku kan bukan peramal." Jawaban sang kekasih membuat Claudia geram.

"Aku hamil!" Dua kata yang terucap dari bibir mungil itu membuat Reynald terpaku.

"Kamu yakin janin itu anak aku?" tanya Reynald setelah kesadarannya mulai kembali.

Claudia terkejut mendengar komentar Reynald. Semudah itu mengelak, lari dari tanggung jawab?

"Ini anak kamu, Rey. Anak kita!" Claudia menekan suaranya, gigi bergemeletuk menahan amarah. Ingin rasanya menampar wajah innocent tanpa dosa di hadapannya itu.

Reynald menghembuskan napas, mengusap wajah dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Wajah dengan rahang kokoh itu berputar, sorot matanya mengitari sekeliling taman.

"Besok kita pergi ke rumah dukun beranak di kampung sebelah. Banyak orang yang bilang, ia dapat membantu kita menggugurkan janin itu," ucap Reynald tanpa beban.

"Aborsi?" tanya Claudia memastikan, sungguh tidak percaya mendengar kalimat lelaki itu.

"Iya," jawab Reynald santai.

Gadis cantik itu termangu. Rasa takut merasuki pikiran begitu mendengar kata aborsi. Bagaimana kalau gagal? Bukankah nyawa adalah taruhan? Aneka berita yang menghiasi layar televisi dan lembaran koran tentang gadis SMA yang kehilangan nyawa akibat aborsi illegal memenuhi pikiran. Belun lagi yang sekarat tapi mesti berurusan dengan hukum pula. Apakah dirinya akan menjadi salah satu dari antara mereka?



Novel ini merupakan sekuel dari yang sebelumnya, dengan judul Hadiah Ulang Tahun. Disarankan untuk membacanya terlebih dahulu..


Salam hangat,

Dnz08..

Complicated FeelingsWhere stories live. Discover now