Malam sedang berjalan menuju penghujungnya. Keduanya sama-sama masih diam menatap yang kosong di atas sana. Duduk bersebelahan, masih belum mau menambah topik obrolan. Sampai satu waktu si perempuan kembali membawa topik lainnya.
"Gue punya puisi favorite sepanjang masa."
Si laki-laki kembali mengamati gerak-geriknya, menunggu diberi tahu, belum mau bicara.
Perempuan itu fokus menatap layar di genggamannya, mencari apa yang sudah sekian lama bersarang di dalamnya. Senyumnya timbul seketika. Dengan senang hati menyodorkan apa yang dilihatnya kepada yang di sebelahnya.
Laki-laki itu membaca perlahan apa yang ditunjukan kepadanya. Memajukan kepalanya, membaca lebih dekat.
Selagi membaca, perempuan itu kembali berkata.
"Ini puisinya Avianti Armand, antologi puisi pertama yang pernah gue baca. Bagus banget ga sih yut?"
Kepala si laki-laki kembali mundur ke posisi awalnya. Matanya masih terfokus kepada si perempuan yang tengah menjelaskan dengan mata berbinar. Layar ponselnya kembali diturunkan, sekarang tinggal percakapan yang akan kembali mengalir untuk beberapa waktu ke depan.
"Interpretasi gue, klise sebenernya. Tentang gimana orang selalu keliatan baik-baik aja di mata orang lain, walaupun sebenernya lagi payah. Pulang ke rumah, masuk kamar, tutup pintu, rebahan, terus bengong ngeliatin langit-langit, tiba-tiba kepikiran 'gue ga baik'. Klise, tapi bagi gue rasanya lebih dalam lagi."
Belum mau menginterupsi, si laki-laki masih betah untuk sunyi.
"Gue sering banget bingung sama diri gue sendiri Yut. Bisa dibilang, hidup gue lurus-lurus aja, gue ga pernah sedih berkepanjangan, ga pernah se-kesepian itu karena banyak orang-orang yang selalu ada di deket gue, ga pernah patah hati karena seseorang yang spesial, ga se-insecure itu juga sama diri sendiri."
Ada jeda sedikit. Keduanya masih sama-sama menatap langit.
"Ga ada alasan gue buat sedih, tapi pernah ga sih, lo lagi bengong di kamar dan tiba-tiba sedih. Ga ada angin ga ada ujan, tiba-tiba sedih. Mau nangis pun gue ga ngerasa punya hak yang cukup buat boleh nangis. Tiba-tiba kepikiran ini itu, akhirnya ngerasa kalo gue ga baik-baik aja. Waktu lagi saling cerita ke orang lain pun gue bingung. Gue juga mau cerita kalau gue sering sedih jam 2 malem, tapi gue ga semeyakinkan itu juga buat keliatan sedih."
"Pada akhirnya gue sedih sendiri, nyemangatin diri sendiri, ngehibur diri sendiri, dan tiba-tiba udah baik-baik lagi aja. Tapi ada saatnya di satu titik di malam itu, gue pengen banget cerita ke orang, tapi ga ada yang pernah ngerti. Ga ada yang bisa paham kalau gue ga baik-baik aja tanpa alasan yang jelas. Orang-orang butuh alasan, tapi gue ga punya. Gue jadi kaya orang ga jelas jadinya. Kapan ya Yut, gue bisa sedih di depan orang lain tanpa harus ngeyakinin mereka kalo gue lagi sedih?"
Kalimatnya kali ini diakhiri dengan tawa getir. Ia lalu menggeser pandangannya sedikit ke kiri.
"Gimana? Gue udah meyakinkan belum sedihnya?"
Laki-laki itu tersenyum.
"Udah kok."
Si perempuan lalu ikut tersenyum.
"Ga ada yang salah sama sedih tiba-tiba, dan ga ada salahnya ga diakuin sama orang lain kalo lo lagi sedih."
"Makasih ya Yut."
"Iya sama-sama."
Malam masih berjalan dan keduanya belum mau pulang, menunggu datangnya topik obrolan, entah sampai kapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Violet
FanfictionYour words were as beautiful as a flower I remember the color you had Violet