Udara pagi Jakarta masih cukup bersih dan sejuk. Paru-paruku, jadi gak harus bekerja keras saat memacu motor di aspal yang sedikit basah bekas hujan semalam. Biasanya, aku memang belum pakai helm ketika baru keluar rumah, biar bisa menikmati oksigen yang masih perawan.
"Reyhan jalan ya mah," kataku setengah teriak sambil membuka pagar.
"Iya Nak hati-hati. Ingat ya jangan ngebut!" balas Ibuku berteriak dari dapur.
Hari itu, aku gak terburu-buru amat berangkat ke kampus. Aku bangun lebih awal. Mungkin karena tidurnya juga masih sore.
Gara-gara malas basa-basi di depan keluarga jauh yang lagi bertamu, aku putuskan masuk kamar dari jam 8. Konten mendaki gunung di kanal YouTube Fiersa Besari dan Dzawin jadi pengantar tidurku malam itu.
Kupacu sepeda motor matik keluaran 2015 ini dengan kecepatan kurang lebih 40 kilometer per jam. Sebelum masuk kawasan yang mulai ditongkrongi polisi, aku menepi sebentar untuk memakai masker penutup wajah dan helm.
Aku kembali tancap gas. Kini, kaca helmku mulai dihantam udara yang sudah terkontaminasi. Bukan cuma debu, bongkahan kecil bara api rokok dari pengendara motor yang ada di depan juga sering jadi ranjau. Tapi, gak usah repot ceramahin mereka jangan merokok di jalan. Cukup kita saja yang waras, mengantisipasinya dengan helm atau kacamata ketika naik motor.
Aku sudah berada di lampu merah pertama di sebuah persimpangan. Banyak pengendara lain berjajar di samping kiri dan kanan menanti lampu hijau menyala. Seperti pembalap di garis start, mereka siap-siap tancap gas bila waktunya tiba. Aku sih santai aja. Masih lumayan pagi, pikirku.
Lampu hijau menyala. Beberapa sepeda motor di belakang kompak membunyikan klakson.
Sumpah! Itu ganggu banget. Mereka pikir, kami yang berada di barisan paling depan gak tahu kalau lampu hijau, tanda boleh berjalan. Pengendara yang bikin SIM-nya nembak juga tahu kalau lampu merah... warnanya merah. Ya iya dong!
Aku mulai tarik gas pelan-pelan. Tiba-tiba...
"Ini cewek kayak aku kenal," kataku dalam hati.
Seorang perempuan dengan tinggi sekitar 165 cm berdiri di pinggir jalan persimpangan lampu merah tadi. Gaya pakaiannya agak tomboy: jins, kaos putih, dan flanel ketat biru dongker. Rambutnya yang lurus sebahu dikuncir kuda. Wajah tirusnya serius menatap layar ponsel.
Aku yakin banget kenal sama perempuan itu. Ya, dia adalah mantan pacarku.
"Astaga," kataku dalam hati.
Bukan karena kaget melihat mantan, tapi motorku nyaris saja mencium bemper mobil angkot gara-gara kelewat fokus melihat Lusi, nama mantan pacarku. Beruntung, aku sigap memperlambat laju motor dan melakukan manuver cepat ke kanan dan ke kiri seperti Rossi dalam duel legendarisnya di MotoGP Qatar, 2015 silam.
Keahlianku mengendalikan motor mulai dibicarakan saat bikin SIM bareng teman-teman SMA di Samsat. Aku jadi primadona di lintasan ujian praktik waktu itu. Aksiku dalam melakukan manuver zig zag di lintasan yang sudah didesain sedemikian rupa, jadi tontonan orang-orang. Soalnya, balok yang jadi pembatas aku tabrak semua.
Wajah Lusi masih terparkir di benakku. Jantungku berdebar kencang. Pikiranku gak karuan. Aneh. Padahal aku gak lagi nonton drama korea.
Produk abstrak bernama cinta itu memang paling pintar bikin darah di dalam tubuh mendadak mengalir deras. Jantungku akhirnya jadi bekerja lebih keras. Mungkin ini yang namanya jatuh cinta pada pandangan...gak pertama juga sih, dia kan mantanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf
RomanceMenganggap mantan pacarmu mati adalah obat paling ampuh untuk bisa melupakannya. Prinsip itu aku pakai saat Lusi menyudahi hubungan kami dulu. Terdengar jahat memang. Tapi cara itu berhasil.