Lunch

182 37 25
                                    

Daging sapi bakar—itu menu makan siangku kali ini. Tiap berlibur di rumah Paman, memang sebagian besar menu yang keluar seputar daging saja. Bagaimana tidak, pamanku punya peternakan sapi pribadi di belakang rumahnya. Repot? Tentu saja! Terlebih setelah almarhum istrinya meninggal lima tahun lalu, ia hidup sebatang kara sekarang.

Jadilah aku yang diminta ibuku untuk datang ke tempat Paman setiap liburan. Selain membantu, aku juga jadi dapat banyak pengalaman dalam ilmu peternakan. Paman menyambut senang; aku dibebaskan untuk melakukan apapun yang aku mau di tempat dia. Mau makan ayam? Tinggal ambil. Mau makan daging? Langsung sembelih. Bahkan tak jarang Paman sendiri yang sembelih kemudian memasak sehingga aku tinggal duduk menikmati hidangan.

Kecuali satu: aku tidak boleh menyentuh kamar paling ujung di rumah dia.

Well, peduli apa aku dengan kamar itu? Hidupku sudah macam orang kaya di sini. Malah menu makan siang sekarang merupakan daging dengan kualitas terbaik yang Paman punya—sengaja dimasak sebagai perpisahan karena besok aku harus kembali ke kota.

"Bagaimana? Nikmat?"

"Paman, ini jauh lebih enak daripada steak restoran!" jawabku setelah mengunyah habis sepotong daging yang dimasak medium rare. Garing di bagian luar, lembut dan juicy di bagian dalam, kemudian ditutup dengan segelas cola. Oh, sungguh hidangan nikmat pemuas lidah.

"Sini, Paman, biar aku saja yang cuci!" ujarku menawarkan diri. Lantas aku bawa tumpukan piring dari meja makan ke wastafel dapur.

Letak dapur yang satu area dengan kamar paling ujung membuatku menyadari sesuatu. Kunci pintunya masih tergantung di sana! Melengos saja aku, coba mengabaikan rasa penasaran yang sebetulnya sudah sangat menggebu. Ah, tetapi tak tahan rasanya, aku benar-benar ingin tahu.

Menoleh dulu aku memperhatikan Paman di ruang makan. Dia sedang menelepon salah satu pelanggan, keras berbicara sambil terkadang tertawa lebar. Ini kesempatan emas, pikirku. Gesit aku cabut kunci kamar itu kemudian aku masukkan saku. Begitu Paman jalan mendekat, pura-pura aku kembali sibuk mencuci piring.

"Aku pergi dulu menemui klien ya, Ri!"

"Oh, bawa saja kunci rumah, Paman! Aku sepertinya mau tidur siang habis ini."

"Ah, supaya aku tidak perlu mengganggu tidurmu hanya untuk membukakan pintu? Dasar pemalas kau!" ejek Paman yang kemudian berlalu. Dari suara pintu yang dikunci aku bisa tahu dia sudah pergi—dan ini sebetulnya alasan kenapa aku minta dia pergi bawa kunci: agar aku bisa tahu kalau dia tiba-tiba kembali.

Berpaling aku dari piring kotor ke pintu tua misterius yang sudah lima tahun menumbuhkan penasaran. Lama kutatap dengan heran, coba menerka kenapa sampai Paman begitu menjaga kamar satu ini, bahkan jendelanya sampai ditutup dengan papan kayu tebal dari luar. Sebegitu berharganyakah yang dia simpan di dalam?

Kunci pintu itu sebenarnya sudah masuk sempurna, tinggal putar kemudian buka, tetapi sekarang malah keberanianku yang meluruh. Bagaimana kalau kamar ini adalah tes sederhana dari Paman? Kamarnya dipasang CCTV kemudian aku yang menyelinap masuk akan terekamduh, citra baik diriku akan runtuh kalau begitu.

"Ayolah, beranikan dirimu, kawan! Intip saja sedikit!" ujarku coba menenangkan diri.

Aku kembali meraih kunci di kenop pintunya, aku putar perlahan, sedikit demi sedikit, dan—

"Permisi!"

BRAK!

Refleks pintunya kembali aku tutup. Keringat mengalir mulai membasahi kulitku—ah, siapa sih?!

Pergi aku ke pintu depan, mengintip lewat jendela untuk cari tahu siapa yang datang. Tetangga sebelah rumah ternyata, seorang ibu-ibu empat puluhan berdaster warna tua.

"Paman sedang pergi, Bu! Ada apa ya?" teriakku dari dalam.

"Ah, Dik Ari? Cuma mau tanya, apa Adik melihat atau mungkin ketemu dengan suami Ibu? Semalam bilangnya pergi ronda, tetapi sampai sekarang belum pulang."

Terlebih dahulu aku coba mengingat-ingat, suami ibu ini—kalau tidak salah rambut cepak ada tahi lalat di pipi kanan. "Tidak, Bu! Aku belum ketemu sejak kemarin," jawabku dan wajah si Ibu langsung murung. "Nanti aku tanyakan juga ke Paman. Akan kami sampaikan kalau ada informasi tentang suami Ibu."

Setelah si ibu pergi, kembali aku ke kamar paling ujung dengan setengah berlari. Aku tarik nafas dalam-dalam, mengumpulkan kekuatan untuk membuka pintu yang sebetulnya tinggal didorong sedikit saja.

Kamar itu nampak biasa—betul, kamar biasa dengan ranjang dan lemari cokelat tua di bagian ujung. Tidak terlalu buruk, pikirku. Sedikit buram karena cahaya matahari hanya masuk seberkas saja. Cukup, rasa penasaranku sudah terbayarkan.

Baru juga hendak melangkah keluar, sesuatu menarik perhatianku. Ada noda warna merah di lantai, seperti bekas cipratan cat yang mengeras. Kupandangi sekeliling, temboknya kan warna kuning? Tidak mungkin bekas cat berarti. Mungkinkah ini ....

Makin kuperhatikan, jejak merah ini ternyata ada banyak. Kutelusuri perlahan dan semuanya mengarah ke satu tempat yang sama: kamar mandi.

Aku menelan ludah, takut yang tadi sirna kembali muncul mencekam dada. Perlahan aku buka pintu kamar mandi itu dan—dua detik, cuma dua detik melihat dan aku langsung memalingkan muka.

Darah, darah—kamar mandi itu penuh dengan darah. Bau busuk menyengat langsung membuatku sesak, ini bukan bau busuk yang biasa aku cium saat penyembelihan hewan. Ini hal lain—sesuatu yang berbeda. Perlahan aku meraih stopkontak di dinding untuk menghidupkan lampu ... oh, Tuhan! Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang kulihat sekarang.

Ada banyak potongan daging diiris tebal sepuluh senti sedang mengambang di dalam bak kamar mandi, beserta potongan tangan dan kaki manusia. Ya, betul—manusia. Urgh, mual langsung perutku, ingin muntah rasanya. Tepat di atas kloset, tulang rusuk dan tulang punggungnya masih utuh bersama organ dalam yang ditumpuk menggunung.

Penemuan ini jelas mengejutkanku. Sakit, kalau Paman yang melakukan ini semuapasti dia sakit jiwa. Lalu, dari sekian kalinya aku gemetar, satu yang paling mengentak batin: wajah dari kepala korban—pria empat puluhan berambut cepak dengan tahi lalat di pipi sebelah kanan.

Aku tidak bisa diam saja. Aku harus melapor!

Tanganku masih gemetar saat mengeluarkan ponsel dari saku. Gugup betul mencari aplikasi foto untuk membuka kamera dan merekam pemandangan mengerikan itu sebagai bukti.

"Lah, ketahuan ya?"

Suara dingin itu membuatku kaku. Sial, saking shock-nya aku dengan penemuan ini, sampai lupa berhati-hati memperhatikan apakah Paman sudah pulang.

Orang itu, yang kini berdiri di muka pintu memegang belati tebal mengkilat, tidak lagi kulihat sebagai sanak. Dia orang gila.

"Bukankah sudah kubilang kalau kamar ini dilarang untuk dibuka?"

Tubuhku kaku, lidahku kelu. Tidak bisa menjawab, tidak bisa bergerak. Oh, Tuhan—celaka aku!

"Normalnya aku akan membunuh kau, Ri. Hoho, bisa berbahaya kan kalau aku ketahuan? Yah, tetapi aku jadi berubah pikiran setelah melihatmu nikmat makan tadi," ujar Paman dengan seringai mengerikan. "Aku akan membiarkanmu hidup kalau kau mau menemani aku menghabiskan daging dalam kamar mandi itu. Kau bilang rasanya lebih enak daripada steak restoran, bukan?"

LunchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang