Bab1 Terkunci di Gudang

0 0 0
                                    

"Kenapa gudangnya terbuka? Apa ia ada di sini? Ah, gak mungkin," ucap Cyra bermonolog.

Seketika tengkuk Cyra yang tertutup hijab merinding. Ia memegang sejenak lalu gegas menjauh dari sana. Namun, ada yang mendorong gadis berpakaian olah raga itu untuk masuk.

Cyra mendelik dengan mulut terbuka. Kaki nya bergerak melangkah ke gudang. Seolah ia dipaksa agar masuk ke tempat yang dilarang itu.

Derit pintu beserta dentuman keras membuat Cyra terperanjat. Benda yang terbuat dari kayu itu tertutup rapat. Walaupun kelihatan tua, tampak masih sangat kokoh karena tak ada bekas rusak sedikit pun di permukaannya.

"Tolong bukain pintunya! Hei ... siapapun yang ada di luar. Gue terkunci di sini!" teriak Cyra menggedor-gedor pintu gudang sekuat tenaganya.

Ia menendang keras pintu menggunakan sepatu sport berlambang centang berwarna merah lis putih yang dikenakan gadis itu berulang-ulang. Namun, tak ada satu pun yang menyahut. Walaupun teman-teman sekolah banyak di luar sana. Seolah ruangan itu kedap suara.

"Aish!"

Ia berdecak kesal. Jantungnya berdegup kencang karena takut. Molekul-molekul air keluar dari pori-pori kulit wajah. Bibirnya tampak pucat. Cyra meremas kedua tangan dan merasakan keringat dingin di sana.

"Hah? Pintunya terkunci?" Ervin menyipitkan mata.

Cyra bergeming menoleh pada Ervin. Ternyata laki-laki yang dicari ada di gudang. Ia merasa sedikit lega dan rasa takutnya agak berkurang karena tak sendiri di sana.

Ervin mendekat ke pintu sembari memegang bola kaki berwarna hitam putih. Beruntung ia bisa menemukan benda bulat dari karet itu. Laki-laki dengan rambut potongan mullet itu melakukan sesuatu seperti dilakukan Cyra sebelumnya.

Ia mengepalkan tangan kanan dan memukul-mukul pintu. Laki-laki dengan pakaian olah raga lengkap berwarna putih merah itu pun menendang-nendang dengan sepatu sport berlogo centang berwarna hitam lis putih. Namun, hasilnya nihil.

"Percuma! Kita terkurung di sini." ujar Cyra putus asa.

Ervin menghela napas panjang. Baru beberapa hari Masa Orientasi Siswa, ia harus mengalami kesialan. Tambah lagi Cyra membuat ia kesal. Gara-gara gadis manis berhijab itu masuk, pintu langsung tertutup. Dampaknya mereka harus terkunci di gudang.

Ia membalik dan tertegun menatap Cyra. "Oh ...."

Ia melihat muka gadis itu begitu pucat. Tiba-tiba saja ada yang menuntun tangan Ervin bergerak untuk menyentuh pipi Cyra. Degup jantung laki-laki itu berdetak cepat. Namun, sekuat tenaga ia menahan dan menarik kembali ke samping tubuhnya.

Cyra yang menyaksikan sikap Ervin membulatkan mata dengan mulut tertutup. Ia sedikit mundur. Gadis itu merasakan hal yang sama dengan Ervin. Jantungnya berdegup tak beraturan.

"Dasar cewek, bisanya nyusahin!" umpat Ervin menyembunyikan perasaannya.

Cyra tidak menerima tuduhan Ervin. Ia pun membalas laki-laki tampan berhidung bangir itu. Gadis itu tidak pernah menyangka sebelumnya jika harus terkurung bersama laki-laki yang menarik perhatiannya beberapa hari yang lalu.

"Semua gara-gara lo. Kalau bukan guru olah raga nyuruh gue nyariin lo, gue gak akan terkurung di gudang sekolah ini," tuduh Cyra meluapkan kekesalannya.

"Ngapain lo, gak nolak? Malah nyusul gue ke sini?" balas Ervin tersenyum tipis.

"Gue, gak tau."

Cyra tak menerima tudingan Ervin apa lagi diperlakukan kasar. Ia terisak sembari menutup wajah dengan kedua tangan. Pundak gadis itu seketika bergetar.

Ervin gelagapan dan bingung. Ia harus membuat Cyra berhenti mengeluarkan air mata. Laki-laki itu tidak suka jika mendengar tangisan perempuan. Apa lagi hal itu gara-gara dirinya.

Cyra yang tahu kepanikan laki-laki itu malah semakin mengeluarkan suara tangisan yang keras. Ia telah mengetahui kelemahan Ervin yang tak tega melihat perempuan menangis. Ada kesenangan tersendiri mengerjai laki-laki itu.

"Eh ... jangan nangis dong. Please, gue minta maaf." Ervin mendekati Cyra dan mempertemukan kedua tangannya tanda memohon.

Cyra merasa senang dengan ucapan Ervin. Ia menjauhkan tangan dari wajah dan mengusap air mata dengan punggung tangannya. Laki-laki itu merogoh sapu tangan di celana traning dan memberikan pada sang gadis.

Ia menerima sapu tangan itu dan mengusap air mata yang telah membasahi kedua pipinya. Aroma maskulin tercium dari benda persegi berbahan katun kapas itu membuat Cyra bahagia. Perhatian Ervin membuat jantungnya berdegup tak karuan. Sekelabat ia teringat perkataan sang papi yang tidak membolehkan gadis itu pacaran.

Cyra memberikan sapu tangan Ervin. Ia kembali menata dan tak ingin membuka hatinya. Gadis itu mengulurkan sapu tangan laki-laki itu.

"Ini, makasih sapu tangannya."

"Eh, lo pegang aja. Gue hanya ingin menerima sapu tangan itu kalau udah dicuci."

"Hah? Maksud lo, sapu tangan ini kotor gara-gara gue?"

"Oh, jangan salah paham. Maksud gue bukan begitu. Hanya gue ing—"

Bunyi keras benda jatuh terdengar memekakkan telinga keduanya. Cyra terkesiap dan beristigfar. Ia bersembunyi di balik punggung Ervin. Wajahnya kembali pucat. Tubuh gadis itu terasa lemas.

"Ervin, gue takut?"

"Tenang Cyra, gue ada di sini. Gue akan lihat, apa tadi yang terjatuh."

"Jangan, Vin. Gue akan telepon papi."

Cyra merogoh gawai dari celana training. Ia memencet nomor telepon papinya. Namun, bukan suara papi yang di dengarnya.

"Tolongin gue ..."

Suara gadis disertai tawa melengking diseberang telepon membuat Cyra bergidik ngeri. Ia segera mematikan panggilan.

Ervin terkesiap karena Cyra memegang lengannya seakan meminta perlindungan. Mulut gadis itu sibuk merapal ayat kursi. Napas pun memburu.

"Cyra, lo kenapa?"

"Vin, gue takut." Air mata Cyra luruh membasahi pipinya.

Ervin menjadi panik melihat kondisi Cyra yang pucat pasi. Ia tak mengetahui apa yang diucapkan di telepon. Gadis itu sangat ketakutan.

Ervin menggenggam kedua tangan Cyra. Berharap hal itu dapat mengurangi rasa takut dalam diri gadis itu.

"Cyra denger, aku gak akan tau kalau kamu gak omongin. Aku ada di sini Cyra. Sekarang bilang sama aku, apa yang kamu denger di telepon?"

Cyra tertegun dengan ucapan Ervin yang memanggil dirinya 'kamu' bukan 'lo' lagi. Ia menepis pikirannya. Gadis bermata lentik dan sayu itu  mengatur napasnya beberapa saat.

"Vin ... aku denger suara perempuan minta tolong di telepon. Ia tertawa melengking. Gue takut, Vin."

Ervin mengerutkan dahinya. "Oke, coba telepon papi kamu pake ponselku."

Ervin merogoh gawai dari saku trainingnya. Ia memberikan pada Cyra. Dengan rasa ragu gadis itu menerima dan menekan angka-angka yang jadi nomor ponsel sang papi dan menekan tombol pengeras suara.

"Tolongin gue. Gue tersiksa di sini."

Cyra segera mematikan ponsel dan mengembalikan ke tangan Ervin. Napasnya tersengal-sengal seperti habis lari. Laki-laki itu segera menghubungi seseorang.




Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 23, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Gudang Sekolah (GS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang