1

278 18 1
                                    

Aku memang belum beruntung
Untuk menjatuhkan hatimu
Aku masih belum beruntung
Namun tinggi harapanku
Tuk hidup berdua denganmu

"Heh, bengong aja lo! Vivi mana?" Tegur cowok yang dengan seenaknya saja memukul bahuku.

Aku mendelik sebal karena harus melepaskan headset. "Sakit bego!"

Dia cengengesan, memamerkan deretan giginya yang rapi. "Sori. Vivi ke mana?" Tanyanya lagi sambil mengedarkan pandangan di kelasku yang sudah mulai kosong.

Aku menghela napas, kembali memasang headset ke telingaku tapi menghentikan alunan lagu untuk sementara. "Ke perpus kata dia, ngerjain tugas."

Satu. Dua. Tiga.

"Kebo banget sih lo. Gue ke dia dulu. Bye." Ujarnya sambil mengacak rambutku.

Dia pergi. Selalu begitu.

Aku memandang punggungnya yang menghilang di balik pintu.

Kembali Ian, kali ini aja. Pintaku sia-sia dalam hati.

Aku kembali menelungkupkan kepala di atas meja, kembali larut dalam mimpi-mimpi yang selalu lebih indah daripada kenyataan sambil menunggu kelas baru dimulai.

Jariku menekan tombol play di mp3 yang kembali mengalunkan lagu sendu.

Aku sempurna denganmu
Ku ingin habiskan sisa umurku
Tuhan jadikanlah dia jodohku
Hanya dia yang membuat aku terpukau

*

Abrian Soemitra Wijaya. Atau yang akrab kupanggil Brian, Ian, adalah sahabatku. Satu-satunya sahabat cowok yang kupunya seumur hidup, satu-satunya cowok yang selalu berhasil menarikku keluar dari comfort zone-ku, dan... satu-satunya cowok yang mempunyai tempat spesial di hatiku.

Benar, aku terjebak friend zone. Dia juga. Sayangnya, bukan padaku. Pernah dengar, dalam persahabatan antara cowok dan cewek pasti ada salahsatu yang mempunyai perasaan lebih. Singkatnya, gak pernah ada persahabatan yang murni antara cowok dan cewek.

Dan aku pada posisi si-sahabat-yang-mempunyai-perasaan-lebih. Hahaha. Miris memang, lebih miris lagi bahwa akulah satu-satunya yang merasa perasaan ini. Tidak, dia juga. Tapi kepada yang lain.

Miris kuadrat saat mengetahui bahwa yang menjadi objek di pikirannya adalah Vivi, sahabatku juga. Vinila Ageng.

Aku dan Brian bersahabat sejak bangku SMA, sementara persahabatan kami berdua dengan Vivi dimulai saat kami masuk perguruan tinggi.

Aku berkenalan dengan Vivi karena kami sekelas sementara dengan Brian karena mereka aku kenalkan.

Lucu. Aku yang membawa Vivi pada Brian. Aku juga yang mengantarkan Brian pada satu kata, jatuh cinta.

Flashback On

Dua tahun lalu

"Kelas lo udah selesai, Cit?" Tanya Brian di sebelahku, sementara tangannya bergerak mengambil gorengan yang tadi kubeli.

PLAK! Aku memukul tangannya.

"Enak aja lo main comot! Beli sono!" Semprotku, mengabaikan pertanyaannya. Aku menarik piring jauh-jauh dari Brian.

"Astaga. Pelit banget sih lo, Cit. Makanan punya gue aja, lo ambil bisa, punya lo gak pernah mau lo kasih. Kalo pun lo ngasih, gue harus dipukul dulu. Cewek bukan sih, sadis amat, sama cogan juga." Repetnya panjang.

Bodo amat. Masalah perut aku akan menjadi orang paling pelit. Apalagi semalam aku gak ngisi perutku dengan apa-apa.

"Cewek tuh, kayak Vivi. Manis, kalem, adem ayem, muka damai, beuhhh, cewek abis deh."

"Dia mah dia, gue ya gue." Kataku tegas.

"Iyalahh, lo berdua beda. Beda yang a nya banyak banget. Eh, tapi dia ke mana? Gak liat gue seharian ini." Brian mengedarkan pandangannya ke seisi kantin.

"Ngumpulin tugas."

"Ke mana?"

Aku memutar bola mata, jengkel.

"Ke dosen lah, mbing. Masa iya ke kakek di panti jompo?" Balasku sewot.

"Ya iya tau gue. Ke dosen tuh dosen siapa, oon?" Ih, Brian ngeselin banget. Kepo bangetz.

"Malas gue ngomong sama orang bego kepo. Diem, ah!"

"Tuh kan, lo itu emang bukan sahabat yang baik. Gak bisa apa bantuin sahabat lo yang naksir sama temen sahabatnya."

Aku membulatkan mata gak percaya akan hal yang baru kudengar.

"Demi apa lo?"

"Demi cintaku pada Vivi." Jawab Brian dengan cengiran khas dirinya.

Heh, boongan ternyata.

"Taik, gue pikir beneran." Aku melemparnya dengan remah-remah gorengan yang jatuh.

"Emang beneran. Serius." Katanya tiba-tiba dengan wajah serius, tak ada lagi raut jenaka.

Gorengan yang ada di mulutku hampir keluar kalau saja mulutku gak segera ku tutup.

"Tenang aja kok, Cit. Gue cowok gentle, jadi gue gak akan ngecewaiin sahabat lo itu kalo jadian nanti. Gue janji." Ungkapnya dengan seulas senyum tulus.

Tapi aku masih diam, otakku masih mencerna apa yang diucapkannya barusan.

"Gue ke kelas ya, Cit. Udah mulai kayaknya."

Aku masih terdiam. Perlahan, ada rasa sesak di dada, rasa sakit seperti dicubit dan cairan bening yang menggenang di pelupuk mataku, seakan menampar diriku saat itu juga.

Menampar untuk menyadarkanku bahwa aku mencintai Brian.

Flashback Off

Haiiiii.. maap ya author bikin cerita baru lagi padahal two side nya blm habis. Maap beribu maap ya. Kalian ngerti lah ide itu datangnya suka gak jelas. Nah ide yg dtg ke author nih utk cerita baru, bukan two side. Hihihi. Tapi author janji habisin Two Side.

Luv.

Terpukau [4/4]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang