kylazaa_'s presented,
TJOEITAN TJERITA PILOE HARDINATA
ft,
wong kunhang
[oneshoot - 4,5k words]
. . .
; [i - prologue]
Agustus, 1988.
Kurang lebih, dasawarsa yang lalu.
Namun irisnya senantiasa melukiskan corak akan kenestapaan. Padahal, itu sudah dasawarsa yang lalu. Purnama pada malam, tak sebenderang masa itu. Tiupan anila pula mega yang berarak, seolah mengejeknya dengan ironi. Bila dikecam harus menjawab sederet pertanyaan perihal mengikhlaskan; iya, dirinya memang sudah mengikhlaskan—mengikhlaskan, bukan merelakan.
Baris seloka yang ia rangkai—terhitung saat rani itu masih ada disisi—masih ia simpan dan jaga, mungkin hingga mati. Pula benda bahari yang senantiasa ada dalam genggamnya; sebuah potret arkais dimana dirinya masih bisa mengenal apa itu senyum tulus—sebab gadisnya itu, ialah entitas sesungguhnya dari makna bahagia.
Kurang lebih, dasawarsa yang lalu.
Saat para serdadu mengepungnya seraya mengarahkan pistol-pistol itu bak dirinya hanyalah seonggok serangga. Penganggu. Kala itu, dibalik aksa yang menilik tajam; terdapat rasa nyeri yang terus menghujam. Dasawarsa yang lalu, ia benar-benar hidup anantara beri kami uang, atau kami rampas nyawamu begitupula keluarga kecilmu.
Kenyataan pahitnya, keluarga kecil itu sudah lebih dahulu dirampasnya tanpa raut wajah yang bersimbah akan dosa.
Terekam jelas bak rentetan rekaman lawas. Beberapa jilid dalam rentang kisahnya yang tak kuasa untuk kembali ia ulas. Dengan embusan napas yang kuat, dirinya membalikan bingkai itu hingga ainnya menangkap sebuah coretan abstrak dua dekade yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
(✓.) Tjoeitan Tjerita Piloe Hardinata ─henderywong
Short Story[ONESHOOT! hendery wong] Hardinata mau tak mau harus merela bila sang filantropi melambai pergi dari bumi pertiwi. Namun ada satu hal yang ia cuaikan; ia lupa belajar bahwa tahap yang paling penting dalam mencinta ialah mengikhlaskan.