Namanya Lubna ...

5 2 0
                                    

“Namanya Lubna ... Lubna As-Safiyya,” katanya dengan suara bergetar ia menyebut satu nama yang terasa tak asing.

“Lubna?” tanyaku memastikan, priaku mengangguk.

“Rumahnya di belakang pesantren?” tanyaku lagi, sekali lagi ia mengangguk.

“Usia kami terpaut sepuluh tahun, Akang gak tau kapan tepatnya rasa ini mulai ada. Akang merasa bahagia saat melihatnya tersenyum, bercanda dengan santriwati lain dan merasa sejuk mendengar ia melantunkan ayat suci. Sebutlah, Akang gak waras mencintai seorang anak kecil, saat itu Lubna bahkan masih sekolah dasar.”

Luruh sudah air mata yang mati-matian kutahan, “Sebesar itu, Akang mencintai dia?”

“Maaf, Dik.”

“Apa tujuh tahun pernikahan kita, gak ada artinya buat, Akang?”

“Maaf, Dik.”

“Apa selama tujuh tahun ini, gak ada rasa yang tumbuh walau hanya sedikit, Kang?”

“Akang sudah berusaha, Dik.”

“Setidaknya lihat anak-anak, Kang. Bagaimana mental mereka nanti.”

“Pernikahan kami gak akan mengubah apa pun, Dik. Anak-anak gak akan kekurangan kasih sayang, Akang janji, akan berbuat adil.”

Adil? Bukankah keadilan hanya milik Allah? Bagaimana ia bisa adil, jika cinta dalam hatinya sudah digenggam wanita lain? Kebersamaan kami selama ini, kehadiran anak-anak dan segala hal yang kukorbankan, nyatanya tak bisa menumbuhkan benih-benih cinta meski hanya sedikit.

“Akang sadar sedang berbicara dengan siapa?” tanyaku membuat pria yang sedari tadi menunduk mengangkat wajahnya.

“Kalaulah cinta itu belum tumbuh di hati, Akang. Tidakkah, Akang berpikir sakitnya perasaanku saat ini?”

“Akang, minta maaf, Dik. Akang sudah berusaha mencintai, Adik. Tapi, Akang gak bisa.”

“Gak akan bisa, Kang! Bagaimana akan bisa, sementara, selama ini, Akang menutup hati, menunggu dia pulang, kan?”

“Maaf, Dik.”

“Apa kata maaf bisa mengobati sakit di sini, Kang?” tanyaku menunjuk bagian dada. Priaku bergeming.

“Maaf, aku gak mengizinkan, Akang nikah lagi,” kataku akhirnya. Jika cinta itu butuh waktu seumur hidup untuk tumbuh, maka aku akan ikhlas menjalani sisa hidupku hanya agar suamiku bisa mencintaiku.

Aku memekik, saat kulihat pria karismatik yang selama ini menawan hatiku jatuh berlutut di hadapanku, “Tolong, Dik. Akang mohon,” ucapnya mengiba.

“Astagfirullah, bangun, Kang. Jangan begini, Kang.”

Ia menggeleng, “Akang, mohon, Dik.”
Aku menekan dada kuat-kuat. Ya Allah, sakit sekali rasanya, saat aku mencintai setengah mati, melakukan apa pun untuknya, ia malah bersujud demi wanita lain. Adakah yang lebih menyakitkan dari ini?

“Seberapa pun, Akang memohon aku gak akan pernah kasih izin. Jadi bangunlah.”

“Jangan egois, Dik!”

“Egois, Akang bilang? Iya, aku egois. Akang bisa berlutut hanya demi wanita lain tanpa memikirkan perasaanku sebagai istri, Akang! Akang, gak sadar seberapa egoisnya, Akang saat ini?”

“Jangan salahkan, Akang! Sedari awal, sudah, Akang bilang bahwa, Akang mencintai wanita lain. Tapi apa? Kamu ngotot dengan pernikahan ini, kamu bilang siap dengan segala resikonya,” ucapnya, membuat anganku terbang pada tujuh tahun silam.

Aku gak bisa melanjutkan perjodohan ini, tolong batalkan.”

“Kenapa?”

“Aku mencintai wanita lain.” Ada nyeri saat kalimat itu ia ucapkan. Namun pantang bagiku untuk kalah, aku bisa mendapatkan apa yang kumau. Termasuk cinta pria di hadapanku ini, aku yakin cinta itu hanya soal waktu.

“Silakan batalkan jika, Akang bisa,” kataku menantangnya.

“Sudah pasti kulakukan jika aku bisa. Tolonglah, kamu gak akan bahagia memiliki suami yang mencintai wanita lain.”

Tentu ia tidak bisa membatalkan rencana perjodohan kami, saat Abah Kyai, sendiri sudah berjanji. Abah Kyai dan Abahku adalah sahabat karib saat keduanya masih duduk di Madrasah Tsanawiyah, atau setingkat SMP. Berkat bantuan abahku juga lah, pesantren milik Abah Kyai akhirnya maju pesat.

“Silakan batalkan jika, Akang bisa. Aku gak bisa melakukan itu.”

“Kamu mau mempertaruhkan masa depanmu, Arwa? Menikahi seseorang yang gak cinta sama kamu, seperti membuat derita sendiri.”

“Aku ambil semua resikonya, Kang. Aku permisi.”

Genggaman tangannya mengerat, membuat anganku pada masa itu berhenti, “Ya, sekarang aku sedang mengambil resiko itu, jika harus menderita, setidaknya kita berdua sama-sama menderita.” Kulangkahkan kaki menjauh darinya, Berlari ke arah kamar.

Air mata yang beberapa menit lalu terhenti kini, kembali menderas. Gegas kututup pintu dan menguncinya. Apa mencintai itu salah? Aku hanya ingin dicintai, apa itu juga salah?

***

Perayaan maulid Nabi yang akan diselenggarakan dua hari lagi kini terasa berbeda, ada nama yang menjadi perbincangan hangat. Seorang alumnus yang katanya berhasil mendapatkan beasiswa penuh saat masuk SMP hingga SMA di pondok pesantren ternama sekaligus tertua di Indonesia, banyak ulama-ulama besar yang lahir dari sana. Alumnus tersebut berhasil mendapatkan beasiswa penuh saat kuliah di Kairo Mesir, ia juga lulus dengan nilai hampir sempurna.

Lubna As-Safiyya, ya, sosok itu adalah Lubna. Wanita yang menjadi cinta pertama suamiku bahkan hingga saat ini, wanita yang berhasil membuat hatiku porak-poranda.

“Alhamdulillah, Ustadzah  Lubna bersedia menjadi salah satu yang pengisi acara.”

“Alhamdulillah, semoga dengan hadirnya Ustadzah Lubna, santri-santri kita bisa termotivasi, ya.”

Selentingan percakapan panitia penyelenggara maulid Nabi, masuk dalam pendengaranku. Terkadang aku bertanya kenapa ia harus hadir kembali dalam kehidupan kami.

Kulanjutkan langkah menuju kelas 7A, bila boleh jujur, aku kehilangan semangat dan konsentrasi sejak percakapan dengan Kang Faiz seminggu yang lalu, sejak itu pula sikapnya semakin dingin terhadapku. Meski jika di hadapan anak-anak ia menjadi sosok ayah yang hangat.

“Denger-denger, Ustadzah Lubna, jadi pengisi acara maulid tahun ini lho.”

“Iya, aku denger juga begitu. Semoga aja bener, syukur-syukur jadi guru di sini.”

“Aamiin.”

“Aku penasaran banget sama, Ustadzah Lubna, katanya cantik, ya?”

“Katanya selain cantik, Ustadzah Lubna juga pinter banget lho.”

“Eh, tau dari mana?”

“Kakakku, kan, Madrasah Ibtidaiyyahnya sekelas sama, Ustadzah Lubna. Dia juga udah khatam Qur’an pas kelas 4, selalu peringkat satu di kelas, makanya pas lulus dapet beasiswa di Gontor.”

“Gak heran si, kalau kayak gitu. Duh apalah kita-kita yang sampe sekarang baru juz dua.”

Sepanjang lorong menuju kelas, lalu lalang santri dan santriwati tak terlepas dari topik tentang Lubna. Namanya terus bergaung di setiap sudut pondok seolah-olah tak ada topik lain. Mereka terus membicarakan tentang bagaimana sosoknya, tentang bagaimana ia mengharumkan nama pesantren ini. Rasanya ingin sekali aku teriak, bahwa Lubna tak lebih dari wanita yang merebut cinta seorang suami dari istrinya.

“Assalamualaikum,” sapaku saat memasuki kelas.

“Waalaikum salam warohmatullahi wa barokatuh,” balas mereka serempak.
Pondok pesantren milik Abah Kyai, ini memang dilengkapi dengan pendidikan formal setingkat SMP, yang baru 6 tahun ini dirintis. Mengikuti perkembangan zaman dan juga permintaan para wali murid. Tentu ada andil diriku di dalamnya. Adapun untuk jenjang setingkat SD, memang sudah ada sejak pondok pesantren ini didirikan.

“Apa ada yang belum mengerti? Atau ada yang ingin bertanya?” tanyaku saat mengakhiri penjelasan pada materi kali ini.

“Iya, silakan,” ucapku mempersilakan pada salah satu santri yang mengangkat tangan, meminta izin untuk bertanya. Namun pertanyaan yang terlontar membuat gemuruh dalam dada kembali bergejolak.

“Ustadzah, apa benar, Ustadzah Lubna akan menjadi pengisi acara pada maulid nanti? Apa Ustadzah, kenal Ustdzah Lubna?”

Tangis Dalam Doa [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang