BAGIAN 1

190 9 0
                                    

Matahari mulai bersinar cerah di Desa Loyang. Sinarnya memecah, menembus celah-celah rerimbunan pohon, Tidak seperti biasa, hari ini tidak seorang pun para penduduk desa ini pergi ke sawah. Mereka berkumpul di alun-alun desa, untuk merayakan pesta panen tahun ini, Banyak di antara mereka yang mengepit ayam jantan aduan. Sementara yang lain kelihatan hanya menonton untuk meramaikan suasana.
Sudah menjadi kebiasaan desa ini bila selesai panen, mereka mengadakan sabung ayam. Hadiah-hadiah yang dipertaruhkan beraneka macam. Dari yang sekadar iseng, sampai yang bertaruh gila-gilaan. Maka tidak mengherankan bila pesta sabung ayam ini tidak hanya dihadiri penduduk desa ini, tapi juga dari penduduk desa di sekitarnya. Bahkan tidak jarang dikunjungi orang-orang dari jauh.
"Hari ini si Jabu mesti menang melawan si Jago Merahmu, Pandu!" kata seorang laki-laki setengah baya dengan muka berseri-seri, pada seorang pemuda berbaju kuning gading.
"Boleh dicoba, Ki Balaga" sahut pemuda yang dipanggil Pandu merendah.
"Si Jago ini tidak pernah terkalahkan sejak tahun kemarin"
"Ayamku ini kuperoleh dari negeri Andalas, Pandu. Ayam di sana kuat-kuat dan hebat!" sergah laki-laki setengah baya bernama Ki Balaga, sedikit jumawa.
Pandu hanya tersenyum sambil mengelus-elus ayam jagonya yang berbulu hitam mengkilap, Sesekali matanya melirik ayam jago Ki Balaga yang berbulu burik-burik merah. Tubuhnya besar dengan kedua kaki kokoh. Dadanya busung ke depan, dan kokoknya nyaring lantang. Sepasang tajinya agak menarik. Yang sebelah kanan agak panjang, namun bengkok ke dalam. Sedangkan yang kiri agak runcing laksana mata pisau,
"Apa taruhannya, Ki?" tanya Pandu mantap karena yakin kalau ayamnya yang bernama si Jago Merah mampu melumpuhkan ayam Ki Balaga yang bernama si Jabu.
"Empat puluh kepeng!" sahut Ki Balaga,
"Empat puluh kepeng?" ulang Pandu, agak ciut juga nyalinya mendengar taruhan sebanyak itu.
Pandu memang bukan petaruh besar, karena biasanya aturan taruhan diatur bandar yang mengumpulkan uang dari para petaruh. Sedangkan pemilik ayam boleh bertaruh masing-masing. Dan jumlah taruhannya tidak terbatas. Tapi itu pun tidak bisa meski diperbolehkan. Biasanya mereka menyerahkan soal taruhan kepada bandar. Tapi Ki Balaga kelihatannya bernafsu sekali, sehingga langsung menyebutkan jumlah taruhannya.
"Bagaimana, Pandu? Takut?" pancing Ki Balaga, tersenyum melecehkan.
"Baiklah.." sahut Pandu harap-harap cemas.
Meski selama ini ayamnya belum terkalahkan, tapi uang dengan jumlah yang disebutkan itu cukup banyak juga. Bagaimana kalau ayamnya kalah? Ah, tidak! Pandu membantah sendiri. Selama ini si Jago telah membuktikan ketangguhannya. Dia pernah mengalahkan segala jenis ayam jantan yang bagaimanapun hebatnya.
"Sabungan yang bagaimana, Ki? Pakai babak atau tidak?" tanya Pandu,
"Terserahmu saja," jawab Ki Balaga.
"Baik. Kita menyabung tanpa babak. Jadi kalau ada yang mati atau kabur, berarti kalah!" jelas Pandu mantap seperti hendak menggertak Ki Balaga.
Pandu memang yakin betul dengan ayamnya. Pasalnya, daya tahan dan kekuatan si Jago selama ini sudah terkenal. Bahkan pernah bersabung tanpa istirahat. Kiprahnya pun cukup hebat. Dia telah membunuh lima belas ekor lawan dari lima puluh kali bersabung.
"Setuju!" sambut Ki Balaga tidak kalah bersemangat.
Laki-laki setengah baya Ini bukannya tidak menyadari kehebatan ayam aduan Pandu. Tapi dia amat percaya kalau si Jabu pun tidak kalah hebatnya. Ayam itu milik seorang kawannya yang ahli soal ayam di negeri Andalas sana. Dan selama ini pun, belum pernah terkalahkan. Sehingga dia merasa yakin akan mampu merontokkan keperkasaan si Jago.
Mendengar itu para penonton dan petaruh bersorak. Mereka akan melihat suguhan yang menarik. Apalagi melihat ciri-ciri kedua ayam yang kelihatan sama-sama tangguh.
Atas kesepakatan bersama, Ki Balaga dan Pandu memilih wasit yang sudah cukup lihai dalam soal sabung ayam. Seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun ditunjuk sebagai wasit.
"Pertandingan akan dimulai!" ujar wasit, memberi tahu.
Ki Balaga dan Pandu segera mempersiapkan ayam jago masing-masing. Sesekali mereka membisikkan sesuatu ke kuping ayam jantan itu, seolah-olah dianggap bisa mengerti bahasa mereka.
Begitu wasit telah memberi aba-aba, kedua ayam aduan itu pun dilepas, diiringi sorak-sorai penonton yang bertaruh ataupun yang sekadar meramaikan suasana.
Ayam milik Pandu bergerak gesit, menerjang si Jabu milik Ki Balaga. Kalau tajinya yang panjang dan runcing seperti hendak memagut leher lawannya, Patuknya pun bergerak cepat mencari sasaran ke arah mata.
Tapi Ki Balaga agaknya tidak sia-sia menaruh harapan pada si Jabu. Meski tubuhnya agak besar, tapi gerakannya cukup mantap. Bila dicecarnya, maka si Jabu menyusup ke balik sayap si Jago, kemudian menjungkirnya sampai sulit bergerak. Lalu secepatnya dia menerjang ke leher lewat kelebatan taji kaki kanan yang seperti hendak memotes.
"Hebat! Hebat! Bukan main, Ki Balaga. Baru sekarang si Jago menemui lawan tanding yang sepadan!" seru seorang penonton yang bertaruh memenangkan si Jabu.
"Bukan menemukan lawan sepadan lagi. Si Jabu malah lebih hebat!" tukas seorang pendukung si Jabu yang lain.
"Itu belum apa-apa. Sebentar lagi si Jago pasti akan menunjukkan kehebatannya!" balas pendukung si Jago.
"Ya! Kalian seperti tidak tahu saja. Si Jago memang biasa mengalah dulu. Tapi nanti sekali mengamuk, dia akan memotes leher si Jabu!" teriak yang lain, memenangkan si Jago.
Sementara para penonton dan petaruh berteriak menjadi pendukung, kedua pemilik ayam mulai ketar-ketir melihat jagoan masing-masing yang bertarung semakin buas. Kepala kedua ayam jantan itu mulai berdarah, setelah jambul-jambulnya terluka. Demikian pula kedua jenggernya. Tapi sejauh ini belum terlihat siapa yang bakal menjadi pemenang. Kedua ayam Itu pun kelihatannya sama-sama tangguh dan kuat. Bahkan memiliki ketahanan yang menakjubkan.
"Ayo, Jabu! Kau datang jauh-jauh ke sini bukan untuk kalah. Tunjukkan keperkasaanmu, Jabu!" teriak Ki Balaga.
"Ayo, Jago! Kau harus secepatnya mengalahkan lawanmu. Kalau tidak, tidak akan seorang pun percaya bahwa kau jago dari segala jago!" teriak Pandu pula,
Tapi agaknya teriakan Pandu tidak berpengaruh kepada jagoannya. Sebaliknya bagi Ki Balaga, si Jabu seperti mengerti akan teriakan majikannya barusan. Secepat kilat ayam dari negeri Andalas itu melompat tinggi sambil mengepakkan kedua sayapnya. Kaki kanannya mendadak menyambar leher. Sementara tajinya yang mirip pengait itu seketika merobek leher si Jago yang tak mampu menghindar.
Crasss...!
"Keekh...!"
Si jago berteriak kesakitan seperti disembelih. Larinya sempoyongan. Sementara darah terus berceceran di lehernya. Ayam itu kemudian roboh sambil menggelepar-gelepar.
"Horeee! Hidup si Jabu..!" teriak Ki Balaga seraya mengepalkan tangan.
Teriakan itu diikuti para pendukung Ki Balaga dengan bersemangat. Dan si Jabu sendiri dengan pongahnya mengepak-ngepakkan sayapnya sambil berkokok lantang meski suaranya agak parau.
Ki Balaga buru-buru menyambar dan membersihkan luka ayamnya. Dikeluarkannya dahak di kerongkongan si Jabu.
Sementara itu Pandu masih terpaku seperti tidak percaya kalau ayam kebanggaannya kalah dengan cara amat menyedihkan.
"Urat lehernya putus seperti dipotong!" desis seseorang yang memperhatikan si Jago.
"Gila! Selama ini jarang yang bisa melakukan hal seperti itu, si Jabu benar-benar hebat!" timpal yang lain.
Dan yang mengerubungi si Jabu bukan hanya para pendukungnya. Tapi juga para pendukung si Jago, Mereka memperhatikan ciri-ciri khusus yang dimiliki si Jabu. Barangkali hendak mencocokkan dengan ciri-ciri ayam jago yang dimiliki. Atau barangkali hendak mencari ayam jago yang bentuknya mirip si Jabu. Tapi semua sepakat bahwa kehebatan si Jabu terletak pada taji kanannya yang aneh itu. Selain itu, ada yang mungkin tidak diketahui sebagian dari mereka. Yaitu semangat bersabung si Jabu serta kecerdikannya mencari peluang untuk melumpuhkan lawan, Kedua hal itu agaknya yang sulit ditemukan pada ayam jago lain.
"Bagaimana, Pandu? Kau telah mempersiapkan empat puluh kepeng perak?" tagih Ki Balaga sambil tersenyum-senyum
Pandu segera mengeluarkan pundi-pundi yang telah dipersiapkan dan menyerahkannya pada laki-laki setengah baya.
Ki Balaga menghitungnya sebentar. Dan ketika jumlahnya tepat, dia buru-buru mengantonginya.
"Cari jagomu yang lain, Pandu! Si Jabu siap menantangnya!" ujar orang tua berusia setengah abad itu, seperti melecehkan.
"Jangan sombong dulu, Ki! Ayamku masih banyak dan sehebat si Jago."
"Hahaha...! Kalau masih setimpal si Jago sebaiknya jangan coba-coba melawan si Jabu. Karena, nasibnya tidak akan lebih beruntung!" sahut Ki Balaga sedikit menyombongkan diri.
Pandu hanya bisa memaki orang tua itu di dalam hati. Kalau saja dia punya ayam yang lebih hebat daripada si Jago, tentu akan ditantangnya lagi si Jabu. Walaupun harus dengan bertaruh rumah berikut perabotannya. Tapi seperti apa yang dikatakan orang tua itu, agaknya kekalahannya barusan bisa diterima akal. Melihat cara bertarung si Jabu tadi rasanya ayam-ayam peliharaannya tidak ada yang sanggup menandingi.
Sementara itu, Ki Balaga semakin sombong saja dengan wajah berseri-seri.
"Ayo, siapa berikutnya yang berani menantang si Jabu? Taruhannya seratus kepeng perak!" teriak Ki Balaga pada orang-orang yang ada di sekitarnya sambil memandang ke sekeliling,
Namun agaknya tidak ada seorang pun yang berani menyodorkan jagonya untuk menandingi si Jabu. Mereka sebelumnya sepakat dan sama-sama mengetahui kalau si Jago adalah jawara sabung ayam di desa ini. Maka bila ayam itu telah dikalahkan secara mengenaskan, maka bagaimana pula nasib ayam jago mereka? Kalau taruhannya tidak seberapa, mungkin masih ada yang punya nyali, sekadar menjajal peliharaannya dengan si Jabu. Tapi seratus kepeng perak adalah jumlah yang cukup banyak. Dan, tidak ada yang berani mengeluarkannya begitu saja untuk kemenangan yang seperti pasti tidak bisa diperoleh. Dalam keadaan begitu mendadak...
"Aku si Cupu Manik menantang ayammu untuk bertarung dengan sahabatku!" Tiba-tiba terdengar seseorang menyambut tangan Ki Balaga dari belakang kerumunan,
"Hei?!"
Semua orang segera berpaling ke arah datangnya suara. Dan beberapa orang langsung memberi jalan kepada seorang pemuda yang berdandan aneh. Karena sekujur tubuhnya dipenuhi bulu-bulu ayam yang beraneka warna. Tapi pemuda yang mengaku bernama Cupu Manik itu seperti tidak peduli. Dan dia telah berdiri di hadapan Ki Balaga.
"Naikkan taruhan kalau kau berani!" ujar pemuda berpenampilan aneh dengan nada dingin.
Ki Balaga tidak langsung menjawab. Diperhatikannya pemuda itu dengan tatapan aneh. Entah orang gila atau karena terlalu memuja ayam, sehingga pemuda ini mendandani dirinya semirip ayam. Ubun-ubunnya dipasang jambul dari bahan sejenis karet. Demikian pula jengger di dagunya serta paruh besi yang berada di dahi. Pada kedua mata kakinya dipasang taji yang berupa pisau baja amat tajam. Pinggang bagian belakangnya dibentuk menyerupai ekor ayam jantan dengan menjalin bulu-bulu ayam.
"He, kau dengar tantanganku?!" bentak Cupu Manik dengan tatapan marah.
"Hm.... Berapa kau berani bertaruh?" tanya Ki Balaga tak kalah sinis.
Cupu Manik tidak menjawab. Tapi tangannya bergerak, mengeluarkan kantung kain yang terikat di pinggang, Lalu dihamparkannya ke tanah.
Ki Balaga serta yang lainnya melotot kaget. Mereka yang semula menanggapi orang gila ini tidak sungguh-sungguh menantang si Jabu, jadi berpikir lagi. Sebab isi kantung kain itu berupa kepingan-kepingan emas.
"Isinya dua puluh kepeng emas! Aku masih mempunyai sepuluh kantung seperti itu. Apa taruhanmu?!? jelas Cupu Manik.
Melihat pemuda itu bersungguh-sungguh, Ki Balaga mulai memasang sikap sungguh-sungguh. Di keluarkannya semua uang yang dimilikinya. Tapi kalau dijumlahkan, semuanya baru mencapai lima belas kepeng emas. Masih kurang lima kepeng emas lagi
"Jangan khawatir! Aku bertarung untuk si Jabu!" teriak seorang penonton, seraya melemparkan sekeping uang emas.
Masih kurang empat lagi! Tapi agaknya Ki Balaga tidak menunggu terlalu lama. Karena kehebatan si Jabu telah membuahkan kepercayaan di dalam hati para petaruh. Sehingga dalam waktu singkat, banyak orang yang bertarung untuk si Jabu sampai jumlah dua puluh kepeng emas genap.
"Ayo, keluarkan jagomu!" ujar Ki Balaga,
Cupu Manik menurunkan ayam jago yang sejak tadi dikepit di ketiak kirinya. Kemudian dia berjongkok.
"Kulihat kalian cukup berharta. Maka aku bermaksud menaikkan taruhan," gumam pemuda ini tanpa menoleh pada orang-orang di sekelilingnya.
Kembali Cupu Manik mengeluarkan pundi-pundi seperti tadi dan mencampakkannya di tanah. Seorang laki-laki bertubuh tegap yang bertugas sebagai bandar segera menyambar dan menghitungnya.
"Taruhannya jadi lima puluh kepeng emas!" seru sang bandar.
"He... gila!"
Semua orang tersentak kaget dengan wajah heran dan mata melotot tidak percaya. Taruhan yang diajukan pemuda aneh itu cukup besar. Bahkan jarang, ada yang bisa menandingi.
"Tidak usah banyak bicara! Kalian pecandu sabung ayam. Dan kini melihat jumlah taruhan begitu saja sudah melotot. Aku bahkan bisa menaikkan taruhan menjadi empat kali lipat!" sentak Cupu Manik seraya mengeluarkan semua pundi uang miliknya,
"Semuanya genap dua ratus kepeng emas!" teriak bandar, mengumumkan jumlah taruhan pemuda itu.
Entah dari mana asalnya pemuda bernama Cupu Manik itu. Bahkan tak seorang pun yang tahu siapa dia sebenarnya. Dan yang membuat mereka heran, dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu?
"Cepat keluarkan taruhanmu!" bentak Cupu Manik
Ki Balaga tergagap. Dia tidak tahu apa yang mesti dipertaruhkan. Sebab memang tidak memiliki uang sebanyak itu.
"Kisanak! Aku mau saja bertaruh. Tapi uangku tidak cukup sebanyak yang kau miliki...." kata Ki Balaga merendah.
"Kalian boleh mengumpulkan uang. Bahkan seluruh kampung ini boleh membantu. Bukankah kalian percaya bahwa ayam kepunyaan orang tua ini hebat dan tak terkalahkan?!" teriak pemuda itu lantang, kepada orang-orang yang berada di sekitarnya.
Sebenarnya mereka ketar-ketir juga melihat taruhan yang amat banyak. Sepanjang sejarah di desa ini, belum pernah ada taruhan sabung ayam sebanyak itu. Tapi selain percaya kalau si Jabu hebat, mereka juga bernafsu untuk melipatgandakan uangnya untuk bertaruh dengan berpihak pada ayam Ki Balaga. Sebagian yang lain merasa perlu untuk merontokkan kecongkakan pemuda itu sehingga beramai-ramai menyumbangkan uang untuk bertaruh memenangkan si Jabu.
"Masih kurang tujuh puluh kepeng emas lagi!" seru sang bandar memberitahukan taruhan Ki Balaga dan para petaruh.
"Nah! Kau dengar sendiri, bukan? Aku tidak punya taruhan sebanyak itu. Bukan berarti aku tidak berani bertaruh denganmu..." jelas Ki Balaga putus asa.
"Tapi kau yakin kalau ayammu bisa mengalahkan saudaraku ini?" tanya Cupu Manik. Pemuda aneh ini lantas mengelus-elus ayam jago berbadan tegap dan leher pendek dengan kedua kaki besar dan kuat. Sisiknya hitam dan tebal. Tidak ada yang istimewa dari sepasang taji yang dimiliki ayam jago itu, Kalaupun ada yang membuat mereka merasa seram adalah sepasang matanya yang berkilat tajam penuh nafsu membunuh.
"Tentu saja!" sahut Ki Balaga yakin, yang disambut para pendukungnya dengan bersemangat.
"Kalau begitu kau boleh bertaruh dengan lainnya," kata pemuda aneh itu,
"Apa maksudmu?" tanya Ki Balaga dengan kening berkerut.
"Kau harus pertaruhkan rumah serta sawah ladangmu. Dan kalian pun harus bertaruh. Bila ayammu kalah, maka berhentilah menyabung ayam!"
Permintaan pemuda itu tentang rumah serta sawah ladang sebagai taruhan mungkin tidak mengejutkan. Tapi berhenti menyabung ayam? Itu sesuatu yang konyol dan amat aneh! Seorang pecandu sabung ayam meminta berhenti menyabung ayam yang sudah mendarah daging pada setiap penduduk desa ini. Tentu saja hal itu permintaan yang sulit diterima. Hampir saja mereka membatalkannya, kalau seseorang tidak berbisik ke telinga Ki Balaga, Seketika laki-laki setengah baya itu tersenyum seraya mengangguk pelan.
"Baiklah. Aku penuhi taruhanmu itu, Anak Muda. Nah, persiapkan ayammu!" lanjut Ki Balaga.
Beberapa orang yang tadi mendukung laki-laki setengah baya itu masih ribut. Tapi ketika satu persatu mendapat bisikan kawan-kawannya yang telah tahu siasat yang dijalankan orang yang tadi berbisik ke telinga Ki Balaga, mereka terdiam sambil tersenyum. Kemudian kepala mereka mengangguk-angguk dan akhirnya menyetujui.
Sementara Cupu Manik sama sekali tidak mau ambil pusing atas sikap mereka yang mencurigakan. Dia berjongkok seraya mengelus ayam jagonya. Sepasang matanya berkilat tajam, memandang si Jabu, Kemudian terdengar dia berkokok seraya mendongakkan wajah, Lalu ayamnya dilepaskan dan telah ditunggu si Jabu.
"Horeee...!"
"Ayo, Jabu! Beri hajaran lawanmu..!"
"Sikat Jabu!"

***

174. Pendekar Rajawali Sakti : Sepasang Taji IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang