"Assalamualaikum!" ucap seseorang dari luar rumah. Aku bergegas kearah pintu memutar knop pintu dengan perlahan. Aku tersentak kaget saat melihat tamu itu si Fawaz idola orang tuaku itu loh. Bagaimana bisa tetangga main ke rumahku.
"Kenapa?" tanya pemuda itu alisnya dinaikan satu melihat kearahku dengan tatapan datar.
"Kenapa lo kesini?" tanyaku dengan menunjuk kearahnya.
"Mau nganterin ini!" Pemuda itu mengangkat lebih atas barang bawaannya dalam keresek hitam.
"Apa itu, jangan-jangan itu racun 'kan!" Aku menyipitkan mataku untuk menegaskan barang bawaan itu.
Mencurigakan sekali!
Pemuda itu hanya diam ketika aku bertanya menyebalkan bukan? Ouh tentu dia sangat menyebalkan!
"Ada apa? Adiba!" Ibu berteriak sepertinya mengahampiri ku.
"Ini .... Bu ada tetangga biasalah!" Sambil melipat kedua tangan diatas dada.
"Eh Fawaz, ayo masuk!" Ibu mempersilahkan tamu spesial itu masuk kedalam rumah.
Fawaz membuka sandalnya dan berlenggang. Sebelum masuk ke dalam rumah aku berdiam diri di ambang pintu untuk memperingati pemuda itu dulu!
"Heh Fawaz ... jangan bilang macam-macam ke nyokap gue, awas aja kalo bilang!" Aku memperingatinya semoga saja dia menurut dengan ucapan yang kulontarkan barusan.
Pemuda itu hanya menatapku heran! Dia emang gak bisa mencerna apa yang kulontarkan.
"Gak lah!" elaknya, langsung saja pemuda itu masuk tanpa mengubris lagi.
"Adiba .... ambilkan air sama cemilan yang didapur!" Ibu berteriak sangat melengking.
Berhasil membuatku mendengus kesal dengan menginjak-injak kaki diatas lantai sangat kesal. "Pasti untuk disuguhkan pada tetangga rese itu!" Aku bersungut-sungut tidak terima.
"Adiba cepatan!" Kali ini ibu berteriak seperti orang kemalingan.
Fawaz hanya tersenyum terus saja tersenyum, begitulah wajahnya membosankan sekali. Aku berdiri sambil sedikit menyederkan bagian tubuh pada sofa.
"Adiba duduk yang sopan, lihat Fawaz dia laki-laki, tapi dia tahu sopan santun!" Ibu memaksa aku untuk duduk disampingnya.
Aku nurut saja, jika tidak mungkin pemuda itu akan semakin tertawa melihatku menderita.
"Ini kue buatan kamu Fawaz?" Ibu membuka kantong keresek hitam itu. Matanya mulai membola melihat isi dari kantong keresek itu. Terlihat beraneka kue-kue berukuran kecil dengan warna kuning dan hiasan kecil di ujungnya.
"Iya betul, Bu." Dengan sopan pemuda itu mengangguk pelan.
"Pinter bikin kue juga ya, ini baunya harum banget, pasti bu Marni sangat beruntung punya anak seperti kamu!" Ibu terus memuji anak tetangga itu. Keberadaanku sepertinya hanya beban orang tua saja.
Kembali wanita paruh baya itu mengambil satu buah kue nastar berukuran kecil, dan memasukkannya kedalam mulut. Ekspresi wajahnya berubah seketika.
"Pasti kuenya rasa kunyit!" ledekku saat melihat wajah Ibu merem melek.
Asam tuh kue!
"Ini enak banget, kue dipasaran pasti kalah sama buatanmu, ibu jamin ini kue no 1 di dunia!"
Aku mengerutkan kening kesal campur aduk menjadi satu.
"Enak loh ini Adiba, kamu cobain pasti ketangihan banget!" Ibu terus mengunyah kue-kue kecil itu.
"Gak akh Bu makasih, kuenya terlalu kecil kaya upil !" Aku mengendikan kedua bahu menolak.
"Dalam agama Islam dilarang mencaci makanan!" Fawaz berujar dan menatapku dengan lekat.
"So ... agamis banget sih lo jadi orang!"
"Adiba kamu ini dibilangin malah marah-marah bukanya mengucapkan terima kasih, karena sudah diperingatkan!" Ibu balik memperingatiku.
"Taulah!" Aku mendelikkan mata kearah pemuda itu dengan tajam.
"Btw .... Fawaz lo kesini cuman sebentar kan?" tanyaku pada pemuda itu.
Fawaz hanya nyegir kuda sambil manggut-manggut.
"Heleh budeg lo!"
"Adiba .... bisa jangan teriak-teriak sehari aja, Ibu itu jenggah mendengar suara kamu ini!" Wanita itukemudian melotot kearahku dengan tajam.
Aku meremas baju dengan keras.
Malah jadi aku yang kena mental!"Dah, aku mau masuk kamar dulu!" Aku berdecak kesal sekali kemudian melangkah menjauh dari mereka.
Arrrghhh .... Fawaz, lihat aja kamu!
"Maafin ya Fawaz biasalah si Adiba itu, anaknya susah di didik, Ibu juga heran sama dia keras kepala banget!"
Langkahku terhenti saat mendengar ucapan ibu yang sangat nyaring ditelinga.
****
Next
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Anak Tetangga (On Going)
РазноеDear anak tetangga .... kamu penyandang nomor satu di hati kedua orang tuaku. Aku benci hadirmu, benci semua tentangmu yang membuatku ambigu!