terbuka. Dewi Mustikaweni tertegun memandanginya. Laki-laki setengah baya itu
langsung melongok keluar jendela, lalu memandangi setiap sudut kamar ini
"Siapa yang masuk sini tadi?" tanya Sura Antaka.
"Tid. .. Tidak ada siapa-siapa, Ayah," sahut Dewi Musrikaweni tergagap. Hatinya
sungguh terkejut mendengar pertanyaan itu.
"Aku mendengar kau tengah bicara dengan
seseorang. Siapa dia, Weni?" desak ayahnya.
"Aku. . Aku bicara sendiri, Ayah," masih tergagap suara Dewi Mustikaweni.
"Hm.. , wajahmu pucat. Kau tidak mendustaiku, Weni?" selidik Sura Antaka tidak percaya.
"Tidak, Ayah. Sungguh, aku tadi bicara
sendiri," Dewi Musrikaweni berusaha menyakinkan ayahnya.
"Hm.. ," Sura Antaka menggumam tidak jelas.
Tatapan matanya menusuk langsung mengandung kecurigaan yang dalam. Dewi
Mustikaweni hanya tertunduk saja. Kegelisahan
menyelimuti hatinya. Kepalanya masih tertunduk
saat ayahnya melangkah menghampiri pintu.
Laki-laki setengah baya itu menoleh sebelum
melangkah keluar.
"Tutup jendelanya, Weni. Aku tidak suka kau menyembunyikan orang di kamarmu,"
kata Sura Antaka.
"Baik, Ayah."
Sura Antaka melangkah keluar. Dewi Mustikaweni bergegas menutup pintunya, lalu
menarik napas panjang seraya memejamkan
matanya. Kemudian kakinya melangkah menuju
jendela, lalu menutupnya. Gadis itu berbalik,
melangkah menghampiri pembaringan. Sambil
mendesah panjang, dibanting tubuhnya ke
pembaringan. Sejak peristiwa di tepi danau, Sura Antaka melarang gadis itu
keluar dari kamarnya
kalau tidak disertai pengawalan ketat. Terlebih
lagi kalau keluar dari bangunan bagai istana ini.
Tidak kurang dari lima puluh orang ketat
mengawalnya. Dewi Mustikaweni semakin merasakan dirinya bagai hidup dalam sangkar emas
berlumpur. Ke mana pun pergi, selalu ada
pengawal membuntuti. Bahkan emban pengasuhnya saja tidak lagi bisa bebas bepergian.
Dewi Mustikaweni menarik napas panjang dan
menghembuskannya
kuat-kuat. Hidupnya semakin terasa sunyi
*** Hari-hari buruk rupanya membayangi Sura
Antaka bersama semua orang-orangnya. Setiap
kali membegal, selalu gagal. Bahkan tidak sedikit orangnya
tewas atau tertangkap prajurit Kerajaan Gelang Wesi. Sura Antaka jadi tidak
habis mengerti, setiap rencananya selalu saja
bocor dan dapat diketahui.
Kalau hanya prajurit kerajaan saja, tidak
menjadi persoalan baginya. Tapi yang membuat
berang adalah munculnya seorang pemuda
berkulit harimau dan seorang laki-laki bercaping.
Mereka kerap menggagalkan aksinya, bahkan
menewaskan banyak anak buahnya.
Nama Pendekar Pulau Neraka dan Pendekar
Caping Bambu menjadi momok bagi Sura Antaka
dan semua pengikutnya. Bahkan Pendeta Ajisaka
jadi lebih banyak diam dan meyendiri sejak
digantung dengan kepala di bawah oleh orang
bercaping yang menabah dirinya menjadi Gagak
Codet. Bahkan sebenarnya wajahnya cukup
tampan bagai putra mahkota.
"Mungkinkah dia Arga Yuda. .," desah Pendeta Ajisaka siang itu saat duduk
sendiri di pinggir
kolam taman belakang kediaman Sura Antaka
yang bagaikan istana itu.
"Dia sudah mati, Paman," tiba-tiba terdengar suara dari belakang.
"Oh!" Pendeta Ajisaka terkejut, langsung membalikkan tubuhnya.
Sura Antaka menghampiri dan duduk di
samping laki-laki tua berkepala gundul yang
selalu memakai jubah kuning gading itu. Pendeta
Ajisaka menggeser duduknya merenggang.
"Kenapa kau ingat-ingat bocah setan itu lagi, Paman?" tegur Sura Antaka. Nada
suaranya terdengar kurang senang.
"Maaf, Adi Sura Antaka. Aku hanya
bergumam saja tadi," ujar Pendeta Ajisaka yang selalu memanggil adik pada Sura
Antaka jika hanya berdua saja. Tapi di depan orang lain, dia akan selalu menyebut Yang Mulia
pada Sura Antaka. "Kau jauh berubah beberapa hari ini, Paman.
Sering menyendiri. Bahkan beberapa ku dengar
kau menyebut-nyebut nama Arga Yuda," kata
Sura Antaka. "Hhh. ..!" Pendeta Ajisaka menarik napas panjang.
"Ada yang mengganggu pikiranmu, Paman?"
"Sedikit," desah Pendeta Ajisaka.
"Katakanlah. Mungkin aku bisa membantu."
"Kau sudah terlalu banyak menanggung
beban, Adi Sura Antaka. Rasanya tidak pantas
kalau aku juga ikut membebani pikiranmu.
Biarlah semua persoalan ini aku sendiri yang
menyeselaikan," tolak Pendeta Ajisaka halus.
"Persoalanmu
adalah juga persoalanku, Paman. Aku tahu, belakangan ini aksi kita selalu gagal. Aku merasa di antara
orang-orang kita ada yang berkhianat, dan selalu membocorkan setiap
rencana penyergapan. Aku memang berang, tapi
juga harus mencari jalan keluar yang terbaik. Aku tidak ingin Partai Naga Merah
hancur begitu saja, karena ada pengkhianat yang menyusup," kata Sura Antaka.
Pendeta Ajisaka diam saja.
"Paman, kau selalu menyebut-nyebut nama
Arga Yuda. Apakah. . "
"Anak itu masih hidup, Adi Sura Antaka,"
potong Pendeta Ajisaka cepat.
"Mustahil!" desisSura Antaka tidak percaya.
"Kau ingat ketika aku digantung, Adi Sura"
Waktu itu aku bersama Macan Gagak dan Singo
Barong serta beberapa orang berusaha mengejar
Pendekar Pulau Neraka yang menghina dan
membangkang undanganmu. Belum sampai ke
danau, seorang bercaping mencegat. Kepandaiannya sangat tinggi. Aku berhasil di-
kalahkannya, lalu aku digantung, Adi Sura," kata Pendeta Ajisaka mulai terbuka.
"Hm, ya. Aku sudah mendengar itu."
"Tidak ada yang tahu, Adi Sura. Aku yakin
orang bercaping itu pasti Arga Yuda.
"Kau tidak bergurau, Paman Ajisaka. ."!"
"Sungguh, Adi Sura. Itulah yang menjadi
beban pikiranku saat ini. Arga Yuda begitu pandai menyamar. Aku yakin kalau dia
mudah menyusup ke sini, dan mengetahui semua
rencana kita. Jadi bukan ada pengkhianatan, tapi memang ada penyusup yang masuk
tanpa kita ketahui." "Hm.. . Kenapa baru sekarang kau katakan
ini, Paman?"Sura Antaka sedikit menyesali
"Aku masih mencari bukti kuat, Adi Sura."
"Keyakinanmu sudah menjadi bukti kuat,
Paman. Hmmm.. , aneh! Bagaimana mungkin
bocah itu bisa hidup?"
"Bukan hanya bisa hidup, Adi Sura. Bahkan
telah mempunyai kalung lambang kebesaran
Partai Naga Merah."
"Apa. ."!" Sura Antaka terkejut setengah mati mendengarnya, bahkan sampai
terlonjak bangkit
berdiri. "Dia menunjukkan kalung itu padaku,"
sambung Pendeta Ajisaka.
"Mustahil! Tapi. ."
Sura Antaka bergegas melangkah menuju
suatu bangunan kecil yang terbuat dari dinding
batu hitam. Pendeta Ajisaka mengikutinya dari
belakang. Dua orang penjaga bersenjata tombak
membungkuk memberi hormat dan salah seorang
bergegas membuka pintu dari besi baja yang
kokoh. Sura Antaka melangkah masuk, di kuti
Pendeta Ajisaka.
Udara lembab dan pengap langsung menyeruak, tapi kedua laki-laki itu terus
melangkah menuruni undakan batu menuju ke
bagian bawah. Mereka berhenti setelah tiba di
depan sebuah pintu dari lempengan baja putih.
Sura Antaka membuka pintu itu. Suara bergerit
terdengar nyaring saat pintu itu terkuak.
Seberkas cahaya menerobos menerangi ruangan
kecil berdinding dan beratap batu hitam.
"Keparat. !" geram Sura Antaka seraya
menengadah menatap lubang yang menganga
lebar pada bagian atas ruangan kecil ini.
"Sudah kuduga, Adi Sura. Bocah itu pasti bisa lolos," tegas Pendeta Ajisaka.
'Tidak mungkin! Pasti ada yang menolongnya.
Lima belas tahun terkurung di sini, mustahil
kalau dia masih hidup!" dengus Sura Antaka
menggeram. Laki-laki setengah baya itu menatap Pendeta
Ajisaka dalam-dalam, sedangkan yang ditatap
malah membalas dengan tajam pula. Kemudian
mereka mendongak ke atas, lalu hampir
bersamaan melesat naik ke atas lubang itu.
Sebentar saja mereka sudah berada di luar, tepat di luar pagar tembok yang
membentengi bangunan besar bagai istana itu.
"Emban Bulem.. !" desis Sura Antaka. "Hanya dia yang kuijinkan masuk ke sini."
"Di mana dia?" tanya Pendeta Ajisaka.
"Di. . Mustikaweni. !"
Sura Antaka langsung melompat melewati
pagar tembok. Pendeta Ajisaka mengikuti dengan
gerakan tangkas dan ringan. Sekejap saja kedua
laki-laki itu sudah lenyap di balik dinding tembok yang mengelilingi rumah besar
bagai istana itu.
*** "Weni. . ' Mustjkaweni.. !" teriak Sura Antaka sambil menggedor pintu kamar yang
tertutup rapat. Gedoran yang keras itu tidak juga membuka
pintu kamar tersebut. Pendeta Ajisaka menahan
tangan Sura Antaka. Sebentar ditatapnya laki-
laki setengah baya itu. Sura Antaka melangkah
mundur, dan Pendeta Ajisaka menghentakkan
tangannya ke depan disertai pengerahan tenaga
dalam penuh. Brak! Pintu tebal dari kayu jati itu hancur seketika.
Pendeta Ajisaka dan Sura Antaka langsung
menerobos masuk, dan langsung tercengang.
Ternyata di dalam kamar ini tidak ada seorang
pun. Sura Antaka bergegas ke jendela yang
terbuka. Matanya membeliak begitu melihat tiga