12| Singa Tidur

66 10 2
                                    

"Kak Lina? Kok bisa sampai sini?"

"Bu Guru barengan sama aku," kata Aldebaran yang baru saja keluar dari belakang Bu Guru. Dia terus berjalan sampai berhasil duduk di sampingku.

Bu Guru juga duduk di sebelah Aldebaran. Dia melirik layar ponsel yang kupegang. Tak lama berganti menatapku kemudian berkata, "Ada yang dirasa sulit tidak?"

Aku menjawab ragu, "Kalau sekarang belum."

Bu Guru menjatuhkan tasnya ke meja. Mengeluarkan buku catatan kecil yang terlihat cantik dengan hiasan telinga kelinci sebagai penanda halaman. Dia menjangkau pensil yang tak jauh dari tumpukan buku. "Kamu sedang belajar materi apa sekarang?"

"Pengenalan Aljabar."

Dia mengangguk dan mulai sibuk menulis. Dari hasil pengamatan, aku tahu betul apa yang sedang dia tulis. "Kalau begitu nanti kakak buat beberapa soal, ya? Oh iya, panggil saja saya kakak mulai sekarang," terangnya sembari fokus membuat soal.

Jujur rasa gugup sudah benar menyelimuti. Terlihat jelas dariku yang tidak berhenti menggoyangkan kaki, serta napas kembang kempis tak karuan. Berlebihan memang. Padahal Bu Guru, maksudku Kak Lina. Hanya menyiapkan beberapa soal untuk membantu. Namun, aku terlanjur tidak percaya diri.

"Kak Lina kalau buat soal selalu level HOTS," kata Luna memperburuk keadaan. Dia seolah bisa membaca pikiranku.

Kak Lina melirik tajam ke adiknya yang selalu banyak omong. "Kamu kenapa berdiri saja? Tidak mau belajar? Makan saja kerjaannya."

Luna nyengir kuda. Cepat-cepat meraup keripik kentang ke mulut. Sampai pipinya menggembung sempurna.

"Eggy, kamu harus tetap rajin, ya. Jangan terhasut sama Luna. Tapi sebenarnya, Luna orangnya rajin kok kalau di rumah."

"Hem, iya. Aku memang rajin kalau di rumah. Biasanya sanggup nyelesain 300 sampai 400 latihan soal per hari. Terus jangan lupa makan pisang sama telur."

Seperti magnet. Pandanganku dan Kak Lina saling bertemu. Bingung kenapa Kak Lina seolah sama kagetnya denganku. Jika makan telur sama pisang benar membantu dalam proses belajar seperti yang dikatakan Luna. Seharusnya Kak Lina sebagai kakak sudah tahu itu. Namun, barangkali Luna hanya mengada-ngada.

Kami tidak memperpanjang masalah. Terlebih lagi, Luna sudah membuang bungkus keripik kentangnya dan duduk santai sambil menatap buku latihan soal. Sedangkan aku telah menerima soal yang dibuat Kak Lina. Cuman tiga soal, tapi jujur membuatku ingin menangis.

👽❤️👽

Keluarnya kami semua dari pintu perpustakaan pertanda kalau kegiatan belajarku telah usai. Ketika Kak Lina sudah duduk di motor. Aku pun menyalaminya. Diikuti Luna yang terus menatapku.

Aku membalas tatapan itu. Tapi dia tertawa sampai muncrat. Membuatku tak habis pikir. Pasti perempuan aneh ini sering dimarahi ibunya melebihi aku.

Kak Lina tampak sudah tidak peduli dengan Luna. Dia lebih memilih untuk memerhatikanku. Dan saat ini, aku tengah menunggu petuah dari Kak Lina sebelum dia melajukan motornya. Akan tetapi, tidak ada petuah. Kak Lina langsung tancap gas. Membuat penumpang di belakangnya nyaris terjungkal.

Si penumpang tak tinggal diam dan langsung mendapuk helm pengemudi. Setelah usaha balas dendam berhasil. Luna menoleh ke belakang. Memergokiku yang sedang tersenyum lebar.

"Kak Eggy."

Beruntung Aldebaran memanggil. Hal ini menjadi kesempatanku untuk tidak beradu pandang dengan Luna. Padahal tidak seberapa lama fokusku teralih pada Aldebaran. Tapi, saat aku memutar bola mata ke arah jalan. Sosok Luna sudah tak tertangkap oleh indera penglihatanku.

"Kak Eggy," panggil Aldebaran lagi.

"Ya?"

"Kakak tahu enggak kalau di perpustakaan tadi kita berempat seperti sedang double date."

Saraf di telingaku seolah tidak mampu menghantarkan impuls ke otak. Anak ini, buku bacaannya terlampau jauh. Bahkan aku tidak mampu menerjemahkanya. Lagi, bibirku terasa keluh hanya untuk bertanya darimana dia mendapat istilah itu.

"Hati-hati, Aldebaran. Kalau sudah besar nanti kamu pasti malu sendiri kalau mengingat kelakuan bucinmu yang sekarang."

"Biarin," jawabnya acuh seraya mengangkat pundak.

Seperti kemarin. Menghabiskan sisa perjalanan pulang sambil berbincang ringan. Bedanya, kami tidak mampir ke warung. Aldebaran lupa bawa uang. Lagi pun aku bersyukur tidak perlu ke warung. Habis, lagi-lagi khawatir dengan tanggapan orang-orang jika untuk kedua kalinya ditraktir oleh anak kecil. Dikira memanfaatkan kepolosan Aldebaran.

"Kak Eggy duda!" Tiga rombongan anak sepantar Aldebaran muncul dengan cara menyebalkan. Mereka memblokir jalan.

Aku memegang erat lengan Aldebaran. Dengan tegas menerobos tembok kurcaci yang mereka buat. Dan abai akan suara teriakan yang terus mereka lontarkan dari belakang. Sampai, satu kejadian membuatku berhenti. Sebuah kerikil berhasil menyenggol sedikit rambutku.

Yang terjadi setelahnya jauh membuatku shock. Aldebaran balas melempar. Dia memilih sembarang batu yang bisa dia ambil. Dan melemparkannya secara bruntal.
Salah satu anak terduduk saat batu yang dilempar mengenai kepalanya. Sedangkan anak lain memilih menghindar dengan berlari masuk ke salah satu rumah.

Aku menoleh ke arah Aldebaran. Dia menghentikan aksinya ketika sadar kalau target telah menyerah.

Aku terbelalak. Menyaksikan cairan merah keluar dari bagian belakang telinga anak yang terduduk itu.
Tak lama dua anak lain muncul. Salah satunya keluar sembari mengandeng tangan bapak-bapak berkepala plontos. Anak itu menunjuk ke arah kami. Diikuti pandangan bapak-bapak di sebelahnya.

"Kakak coba panggil ibu. Ini kepala adek berdarah," katanya sambil berjongkok. Memerhatikan lamat-lamat luka anaknya.

Si tukang ngadu yang dipanggil 'kakak' itu tidak bertindak cepat. Sekali lagi menunjuk kami. "Mereka yang lempar batu." Setelah kalimat berat sebelah berhasil diucapkannya. Dia pun pergi.

"Iya," timpal anak satunya yang berdiri di belakang bapak-bapak. Entah siapa perannya. Saudara si tukang ngadu atau hanya teman.

Rahang bapak-bapak itu mengeras. Masih tetap berjongkok, dia mengeluarkan suara lantang. "Kamu itu ada otak enggak? Bodoh. Sudah tua masih main lempar-lemparan batu. Itulah akibatnya kalau jadi sampah masyarakat. Sana pergi, ngikut istri dan tidak usah jadi beban di desa ini."

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
NEBULA [15+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang