13| Black Hole

78 8 3
                                        

Kejadian sore tadi benar-benar membuyarkan konsentrasiku. Kesal, sedih, dan penuh penyesalan sudah tidak bosan berkecamuk selama berjam-jam. Tak jarang, tanganku refleks merobek kertas atau bahkan sampai memukul wajah sendiri. Ayolah, aku hanya perlu menyelesaikan beberapa soal di buku ini. Setelah itu pergi meninggalkan desa. Kalau lulus seleksi, sih. Mangkanya harus belajar sekarang!

Sial, semakin keras usaha untuk fokus. Justru membuatku semakin teringat setiap detail kejadian tadi sore. Terutama, saat Aldebaran dimarahi ibunya. Membuatku merosot penuh rasa bersalah.

Oh iya. Entah bersyukur atau apa. Takut dianggap seperti berbahagia atas penderitaan orang lain. Soalnya, ketika sedang dicaci habis-habisan oleh bapak berkepala plontos. Ibu warung datang. Dia membelaku dan menceritakan kejadian sebenarnya.

Namun, ternyata itu tidak secara penuh menyelesaikan masalah. Aldebaran tetap bertanggungjawab walau bertindak sebagai pahlawan. Membayar biaya berobat, dan dimarahi ibunya. Aku yakin Aldebaran pasti sedang dipukuli. Suara tangis terdengar sampai ke kamarku.

Barangkali aku harus tidur. Percuma belajar kalau mood sedang buruk. Aku pun mulai menyusun buku yang dipinjamkan Luna. Disusul melompat ke atas ranjang.

Benar-benar lelah. Untuk kali ini, aku memang butuh istirahat. Semoga mood burukku yang sekarang bukan menjadi topeng untuk menyembunyikan rasa malas. Sebagai gantinya, besok aku akan bangun pagi-pagi. Terus, belajar sampai siang.

👽❤️👽

Samar-samar suara berisik ayam mulai mengganggu. Aku membuka kelopak mata perlahan. Menjatuhkan pandangan ke luar jendela. "Masih gelap. Tidur sebentar lagi."

Tak menunggu lama. Aku pun tertidur. Melupakan janji manis yang terakhir kubuat.

👽❤️👽

Sudah jam setengah sepuluh. Yang kulakukan hanya melamun di depan jendela. Rasanya malas sekali. Mood-ku sedang buruk. Lagi.

Bagiamana tidak? Aku lupa bangun pagi-pagi sekali. Lebih tepatnya malah terbangun jam delapan. Niat awal langsung belajar. Tapi Ibu menyuruhku ini itu sampai membuka buku pun tak sempat. Dan lihat sekarang.

"Eggy, kerjaanmu belum selesai. Sini bantu Ibu dulu," teriaknya dari dapur.

Sebagai orang yang sangat sulit berkata 'tidak'. Aku hanya pasrah. Berjalan dengan punduk dibengkokkan. Dan untuk sementara berkeinginan punya kekuatan menghilang. Kalau terdengar mustahil. Bagaimana kalau tidak perlu menghilang, cukup bisa berubah sekecil semut? Atau berubah jadi sangat besar. Bukankah Bumi tidak bisa kelihatan karena terlalu besar?

"Cepat dong jalannya. Kayak cewek aja. Sini, bantuin Ibu masak."

Di dalam otakku hanya ada. Ha? Sangat lucu. Wkwkwk ....

Ibu berpindah tempat. Membiarkanku berganti tugas mengupas bawang. Sedangkan Dia berurusan dengan kompor. Ibu berusaha menyalakan api dengan dahi dikerutkan. Apinya susah hidup. Sampai, kurang lebih 6 percobaan. Api pun menyala. Kurang kerjaan memang, 6 percobaan itu sudah kuhitung benar-benar.

Baru saja hendak mengupas bawang kedua. Teriakan dari ruang tamu membuatku sedikit keheranan.

Aku pun meletakkan pisau. Kemudian berdiri, ingin membukakan pintu. Ayah sedang tidak di rumah. Dia pergi nyelawat, ada tetangga yang meninggal. Karena alasan itulah Ibu sangat sibuk pagi ini. Dia harus selesai berberes-beres, setelah itu menyusul Ayah.

Senyum Luna menjadi pemandangan pertama saat baru saja selesai membuka pintu. Dia melepas sepatunya. Lalu masuk sambil kepala dimiringkan kiri dan kanan. "Di mana ayahmu?"

"Lagi ke luar."

"Kalau ibumu?"

"Di dapur."

Luna menarik tanganku dan mendekatkan ke hidungnya. "Bau bawang. Kamu bantuin ibumu masak, ya?"

Aku tidak menjawab. Hanya mengerenyit bingung.

Dia menjatuhkan tasnya ke lantai. Mengabaikan fungsi kursi dan meja yang telah disediakan. Dari dalam tas. Agaknya mudah ditebak. Buku. Hanya saja, buku itu sangat kecil.

Aku langsung tahu kalau itu buku catatan Kak Lina. Apa jawabanku banyak salah kemarin sehingga dia menyuruh mengerjakan ulang?

Luna berdiri dan menempelkan buku yang dia pegang ke dadaku. "Ini, Kak Lina sudah siapin nasi goreng. Jangan nangis lagi kalau cabainya kebanyakan."

Andai soal-soal di buku ini bisa dimasukan ke dalam perut. Hidupku akan jauh lebih tenang.

"Eh aku ganggu kamu masak, ya? Bagaimana kalau kamu sudahi dulu latihan soalnya. Biar aku aja yang ke dapur?"

Tanpa mendengar persetujuan. Luna begitu saja nyelonong menemui Ibu. Sungguh tidak tahan dengannya. Kok bisa dia dengan percaya diri sok akrab dengan orang-orang. Belum tahu saja kalau Ibu aslinya galak.

Apa lagi yang harus dipikirkan? Bukankah sepanjang pagi mengeluhkan tak sempat belajar. Dan sekarang Tuhan mendatangkan Luna untuk mengurangi beban harianku.

Aku pun lekas memasuki kamar. Mencari kacamata yang tidak tahu arah. Setelah dicari agak lama, ternyata ketemu sembunyi di bawah selimut. Ketahuan suka malas membereskan tempat tidur.

Selesai juga dengan drama kacamata. Kini pandangan kuarahkan hanya untuk mencari nilai x dan y.

"Kak Eggy!"

Sial, lagi-lagi gagal fokus.

"Aldebaran?" tanyaku yang kaget akan kehadirannya. Sedikit penasaran bagaimana kabarnya malam tadi. Tapi, biarkan Aldebaran yang cerita.

"Lagi belajar, Kak. Kalau gitu aku keluar dulu."

Cekatan, aku berhasil menahan lengannya.  "Sehabis pulang ke rumah kamu diapain sama orang tuamu?"

"Mau lihat?" Aldebaran menurunkan celananya sedikit.

Aku menatap nanar. Lebam dengan warna biru yang sangat kentara. Bekas yang dihasilkan nyaris melingkari separuh punggungnya. Dicambuk ikat pinggang kurasa.

Aku melepaskan genggamanku. Membiarkan Aldebaran berlari ke luar. Lupa akan satu hal. Seharusnya aku meminta maaf.

Tragis, padahal dia hanya membelaku. Akan tetapi, alam semesta begitu kejam. Sehebat-hebatnya bintang neutron seperti Aldebaran.  Tetap akan tenggelam oleh black hole.

  Tetap akan tenggelam oleh black hole

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

NEBULA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang