Mei 2012, Seoul
Suara gemerincing dari pintu toko terdengar hingga pemiliknya datang menghampiri tamu paginya.
"Selamat pa-" ujar pemilik berbadan tambun yang sudah berdiri di dekat meja kasir. Dia mengernyit menyadari si pekerja toko itu datang terlambat untuk kesekian kalinya.
"Apa kau tau ini sudah jam berapa?" intonasinya menyeramkan membuat siapapun akan tunduk untuk tidak melihat wajah pemilik suara tersebut.
"Maaf pak, saya harus menyelesaikan lirik lagu untuk mengikuti kompetisi," ujar Agust yang hanya menunduk menatap tali sepatu converse nya yang tidak terikat.
Pemilik toko hanya mendesis,
"Apa kau mau menghidupi dirimu dengan memakan kertas lagumu? cuih, anak muda jaman sekarang terlalu berlebihan tentang masa depan," sambil menunjuk Agust dengan penuh tuntutan.Bukan tak sopan, karna keterlambatannya Agust bergegas mengambil tumpukan pizza yang akan dia antarkan ke setiap rumah. Seperti hari-hari yang lain ia tetap mengantarkan pizza Domino itu ke rumah-rumah pelanggan.
Ia menggopoh kotak persegi tersebut sekaligus, pemilik toko cerewet itu menceramahinya seperti biasa.
"Antarkan makanan ini ke alamat yang sesuai tertera di kertas, dan jangan biarkan pelanggan kelaparan menunggumu," ujar pria paruh baya tersebut tanpa melihat betapa banyak tumpukan pizza yang akan diantarkan.
Agust mengambil kunci motor disamping kalender toko, tanpa menjawab apapun, Agust berjalan melaluinya seakan tak ada orang yang berbicara padanya. Dia bergegas keluar menyusun kotak pizza tadi ke dalam box motornya.
Cuaca hari ini sangat cerah, jam menunjukan pukul setengah dua belas, tapi tetap saja suhunya dingin, cahaya matahari yang menembus daun-daun tidak mempan memberi kehangatan.
Saat setengah perjalanan Agust menyadari satu hal yang selalu ia lewatkan setiap harinya, sarapan.
Tidak ada makanan yang harus dimakan hari ini. Ia bisa saja mengambil pizza di toko dan memakannya, kecuali jika ia ingin dipecat. Membeli pizza pun harus menunggu gajinya selama tiga hari, secara ia hanya dibayar 3 won per hari.
"Ah, sudahlah, mendengar omelan ahjussi tadi sudah membuat perutku mual," ujarnya.
Ia mengantar menuju rute-rute dari yang terdekat, memang tergolong sulit untuk mencari rumah pelanggan, tak jarang bisa sampai sejam untuk mencari satu alamat. Tapi hitung-hitung sambil jalan-jalan tidak masalah.
Empat kotak sudah diantar ke rumah-rumah, sisa empat lagi dan ini pesanan dari kantor Balai Kota. Jalanan tidak ramai karena masih jam kerja, saat aku mengantar kesana hujan mulai turun.
Dedaunan yang tadinya disorot cahaya matahari terganti oleh rintik-rintik hujan.
"Wah tadi pagi cuacanya sangat cerah, ck," decakan karyawan perempuan yang kutau dia sangat jengkel mengambil kotak pizza ini saat hujan. Ia memayungi dirinya dengan tangan, seraya tangan satunya lagi menyodorkan uang kepadaku.
"Terima kasih," ujarku menerima uang 36000 won darinya.
"Sama-sama, cuacanya tidak sehat, tapi kau harus sehat," ujarnya berlari masuk ke kantor melawan hujan yang sudah membasahi poni dan pucuk rambutnya.
Bayangannya menghilang saat memasuki pintu kaca kantor tersebut.
Agust hanya tertegun dan tersenyum mendengar hal itu dari mulut orang yang bahkan tidak dia kenal. Hal sederhana itu membuat harinya sedikit bahagia.
Ia menghidupkan mesin motor dan mengendarainya ke suatu tempat. Tempat yang membuatnya betah berlama-lama disana.
Namun, saat itu matanya terasa sangat perih. Dunia seolah berputar, semua hal terlihat buram. Derasnya hujan terus menghujamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Endless King
FanfictionAgust dan bangwon, keduanya memiliki ambisi yang besar untuk menggapai impian mereka. Agust yang bermimpi menjadi musisi yang handal dan akan terus berkarya, sedangkan Bangwon berkeinginan besar ingin menjadi raja. Awalnya mereka mengira tantangan m...