3. kepingan memori

507 121 68
                                    

Kegagalan bagaikan duri yang merajam

Kegagalan begitu terasa menyesakkan

Kegagalan adalah hal yang memisahkan

Dan aku adalah wujud dari kegagalan itu

Sayang, maafkan aku karena telah gagal melindungimu...

***

Siluet itu tampak tinggi menjulang, punggung tegapnya bersinar ditimpa sinar purnama terang dari luar bingkai jendela besar. Sang pawana menyelusup melalui celah yang terbuka, membuat jubah hitam dengan bagian dalam berwarna merah saga yang melekat pada tubuh sempurna sang pria berkibar-kibar.

Wajah rupawan khas bangsawan itu tampak tegang kala menatap presensi sang istri tercinta. Banyak hal yang berkecamuk di dalam kepala tampannya, terutama rasa cemas yang terasa tiada habisnya ketika ia akan kembali berburu di tengah malam gulita.

Ya, ia dan seluruh kawanannya akan mencari mangsa berupa darah hewan yang tinggal di tengah hutan belantara, dan bukan darah manusia. Sebagai makhluk nokturnal nan immortal, darah merupakan kebutuhan pokok untuk menunjang kehidupan mereka, pula menambah kekuatan magis yang dimilikinya.

Napas dalam terembus di antara celah bibir merah sang pria. Ia lantas menyugar ke belakang rambut pirangnya, membuat helaian halus itu kembali menutupi mata kala tiupan bayu kembali menerpa. Iris biru itu menatap lekat pada wajah jelita sang belahan jiwa. Ah, wanita dengan perut besar itu masih saja sibuk dengan alat rajut di kedua tangannya, terduduk manis di kursinya yang empuk.

"Jaga dirimu baik-baik selama aku pergi." Suara maskulin itu membelai pendengaran sang wanita, membuat kepala berhelaian kelam itu mendongak, mempertemukan kedua iris berbeda warna.

"Baiklah, Anata." Tentu lengkungan senyuman manis tercipta kala ia menangkap raut khawatir berlebih yang menghiasi rupa elok sang pemilik cinta, suaminya. Kedua tangannya meletakkan sepasang kaos kaki mungil yang telah jadi ke atas meja di sisinya.

"Jangan pergi ke mana pun tanpa pengawasan. Ada beberapa penjaga yang kutugaskan untuk menjagamu di luar." Tanpa memutus kontak mata, pria itu kembali memberikan petuahnya. Entahlah, rasa cemasnya tiada terkira. Ia memiliki firasat jika sesuatu yang buruk tengah mengincar istri dan calon anaknya.

Sedangkan sang wanita justru semakin melebarkan kurva senyumannya. Ia meraih lengan kiri besar sang suami, memberikan belaian lembut di sana. Berharap hal yang ia lakukan mampu membuat perasaan prianya menjadi lebih baik. "Kami akan baik-baik saja, jangan terlalu khawatir."

Namun, sang pria justru membuang napas kasar mendengarnya, lantas memejamkan mata.

"Bagaimana mungkin aku bisa tidak khawatir? 'Mereka' semakin terang-terangan mengakui kebenciannya pada kaum kita, Harumi." Iris safir biru itu kembali tampak kala ia menatap lekat wajah sang istri tercinta. "Aku tidak bisa tenang. Aku takut mereka akan menyakitimu dan dia ketika aku tak ada."

"Dan kau akan segera datang menolong kami." Bibir mungil itu menjawab cepat, senyumannya tidak luntur sama sekali. Seakan apa yang dikhawatirkan sang suami tiada berarti. "Bukankah kau yang terkuat? Jadi, untuk apa aku takut pada hal yang tidak penting jika aku memilikimu sebagai pelindung bagi kami?"

Dan ... kedua lutut itu menghantam lantai yang ia pijak. Ia berlutut di depan sang pemilik cinta, mendongak menatap netra indah itu dalam-dalam penuh kesungguhan. Tangan besar nan dingin miliknya meraih kedua tangan hangat sang istri, menggenggamnya erat, seakan tiada ingin melepasnya kembali.

She's (never) AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang