Gosok Gosip

3 0 0
                                    

"Joana jalan ya, Mak." Aku meraih jemari Emak dan mencium punggung tangan wanita kesayanganku itu. "Kok bau terasi?"

"Ya emang. Orang lagi ngulek sambel," jawab Emak sambil menarik tangannya kembali.

"Iih ... Emak!" Aku ngeloyor pergi. Kuraih selembar tissue saat melalui meja makan untuk menghapus sisa sambal yang menempel di hidungku. Ya Tuhan. Hilang sudah foundation mahal yang bela-bela kubeli dari uang gajiku selama menggantikan Emak di Tanah Abang. "Burik lagi deh, gue. Kayak gini gimana mau keterima kerja?" sungutku kesal.

Aku mengingat saat diinterview beberapa bulan yang lalu. Rasanya mati kutu saat bapak-bapak gendut bagian HRD kantor itu menatap lurus padaku sambil membaca CV. "Sodari pernah bekerja sebelumnya?"

"Tidak, Pak."

"Pantas," lanjutnya. "Kami akan menghubungi anda kembali nanti, jika anda beruntung. Silakan keluar."

Hah! Sudah kuduga. Aku berdiri dari kursi dan mengulurkan tangan pada bapak-bapak gendut itu. "Terima kasih, Pak."

"Udah, nggak usah salam-salaman. Ada dua puluh orang lagi yang mau saya interview. Nanti tangan saya jadi tipis," katanya sambil mengusap batu akik di jari manisnya. Sombong sekali. "Panggil yang berikutnya," katanya melalui telepon nirkabel kantor. Aku berbalik meninggalkan ruangan dan berpapasan dengan seorang gadis yang berdandan full make-up.

"Hehehe ... silakan, silakan," kata si Gendut mempersilakan gadis itu duduk di kursi yang baru saja kutinggalkan. "Hei, kamu! Jangan lupa tutup pintunya," katanya padaku. Sial!

Ah, sudahlah. Jangan kita bahas nasib naas yang selalu kualami itu. Mungkin sudah jalan ninjaku untuk fokus saja pada toko. Aku menunggu ojek online yang sudah kupesan di depan rumah. Kuhirup udara pagi yang tetap saja sudah terkontaminasi CO2 dari knalpot-knalpot kendaraan. Hei, ini Jegardah, Sobat.

Segerombol ibu-ibu sedang asik berbincang mengerubungi tukang sayur langganan mereka. Aku mengangguk dan tersenyum saat pandangan mereka semua tertuju padaku. Pandangan yang ... entahlah.

"NA ... Joana! Eh, gue kira lu udah jalan. Ini bekal lu bawa dah, sekalian. Emak nggak bisa datang nanti ke toko. Ada urusan." Emak beberapa hari ini sibuk melulu. Urusan apa ya? Ah, tapi bodo amat sajalah. Nanti kalau ditanya malah tambah ribet. Aku menerima kotak bekal dari tangan Emak. Sekali lagi kuperhatikan, ibu-ibu itu semakin rapat saja berdirinya. Ck! Tiada hari tanpa gosip.

Kulirik hapeku untuk memastikan pesanan ojekku sudah sampai di mana. "Ke toko, Neng?" Bu Zubaedah menyapaku.

"Iya, Bu."

"Bagus, dah. Emak lu sibuk melulu sih, yak. Suka dijemput dia sama laki kalo siangan. Calon Baba, lu?"

Hah?!

Ojek pesananku sampai. Mas-mas pengendara ojeknya langsung menyodorkan helm padaku. Meski bingung, kupakai dan aku segera naik ke boncengan sepeda motornya.

***

Calon Baba?! Omongan Bu Zubaedah terngiang-ngiang kembali saat aku menghabiskan bekal makan siangku. Siapa laki-laki itu? Untung masakan Emak hari ini istimewa. Balado jengkol. Kalau tidak, aku pasti, tetap makan kok. Demi pengiritan dan demi beli paket internet buat si Joni. Keterlaluan kalian kalau tidak ingat siapa itu si Joni.

Apa memang Emak yang sedang digosipkan ibu-ibu yang lagi belanja sayur tadi pagi? Aku makin curiga. Kucoba mengingat-ingat kembali urutan kejadian beberapa hari ini.

Jadi, sudah hampir seminggu Emak tidak mampir ke toko. Sudah seminggu ini juga aku tidak mendengarkan petuah-petuah sakti dari Emak. Terus tadi pagi, Bu Zubaedah bilang Emak suka dijemput sama laki-laki. Astaga! Semakin aku berusaha untuk menepis gosip murahan itu, semakin terngiang-ngiang di telingaku.

Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus mencari tahu. Tidak mungkin bertanya langsung pada Emak. Aku harus mencari akal. Mata-mata! Aku tahu siapa yang bisa dengan suka rela melakukan segalanya untukku.

Kupencet nomor yang tertera di ponselku. "Halo, Na. Tumben lo inget gue," ujar suara di ujung sana.

"Nu, bisa minta tolong, nggak?" Iya, aku terpaksa menghubungi Nunu,  perjaka tua dengan rambut belah tengah ketinggalan zaman yang naksir berat padaku tempo hari.

"Oh, bisa, bisa banget. Buat lo apa sih yang enggak." Jujur, aku geli saat dia mengatakan itu.

"Jadi gini, Nu ..." aku menjelaskan duduk perkaranya pada Nunu. "Gimana, mau nggak?" tanyaku di akhir pembicaraan.

"Bisa aja sih, Na. Tapi ... ini Emak lagi sama gue."

Hah!

"Na. Ngapain lo teleponan. Disuruh jagain toko malah teleponan."Suara di seberang sana berganti. Aku hapal sekali suara itu.

"Mak? Jadi Nunu yang jemput Emak tiap hari? Bener dong itu gosip." Aku hampir saja menangis mengetahui hal ini. Mana tadi jengkolnya? Sini kukunyah halus.

"Kenapa? Katanya lu nggak demen sama Nunu," jawab Emak, santai.

"Ya tapi nggak gitu juga kali, Mak."

Emak! Haruskah kubanting si Joni?

***






Joana Jomlo BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang