Aura keluar dari mobil hitam yang biasa mengantarnya. Ia berjalan dengan langkah gontai seraya menatap lurus ke depan.
Sombong, itu yang sering kali orang lihat dari cara Aura berjalan melewati mereka. Tak dipungkiri, gadis itu memang memiliki kecantikan yang sangat luar biasa, wajar saja ia menyombong.Seorang gadis dengan seragam yang sama menghampirinya. "Kau mengganti nomor teleponmu lagi?" tanya Caitlin, seorang gadis yang selalu menemani Aura.
Aura mengangguk. "Ya, nomor itu membawa kesialan bagiku. Ada tiga pria yang menghubungiku tadi malam, namun aku sangat malas meladeni orang-orang seperti mereka," ucap Aura panjang lebar yang sebenarnya Caitlin pun tak ingin mendengarnya.
Persetan dengan persahabatan Aura dan Caitlin, kedua gadis itu akan saling membongkar aib dan membicarakan keburukan satu sama lain ketika sedang tidak bersama. Munafik!
Mereka berjalan beriringan memasuki kelas yang tentunya masih sangat sepi, entah di mana guru yang seharusnya sudah mengajar. "Di mana Nona Wanda?" tanya Aura pada Darel yang tengah sibuk membaca sebuah buku fisika.
Darel menggelengkan kepalanya pelan, namun Aura menarik paksa buku milik Darel sehingga buku itu sobek. "Kau tak mendengarku, Tuan Johan?" tanya Aura yang merasa diabaikan.
Darel berdecak kesal, ia menatap Aura dan Caitlin bergantian. "Ck. Kau tidak lihat aku menggeleng? Itu tandanya aku tak tau di mana guru sialan itu."
Caitlin mencoba memisahkan Darel dan Aura. Pasalnya, kedua orang itu akan ribut ketika mereka bersama, dan hanya Caitlin dan Javin lah yang bisa mencairkan suasana panas yang dibuat oleh Darel dan Aura.
"Kenapa kau marah seperti itu, Darel? Aku hanya bertanya," ucap Aura dengan nada lebih tinggi.
Darel menghempas buku itu ke wajah Aura. "Harusnya kau punya sopan santun, Nona Warentya. Kau menarik bukuku seenaknya, HAH?! Dasar Jalang!"
Aura mundur dari hadapan Darel, untuk pertama kalinya Darel semarah itu pada Aura. "Jalang kau bilang? Dasar mulut tidak tau sopan santun. Harusnya kau bisa menjaga ucapanmu! Apalagi kau sedang berbicara dengan seorang perempuan!" seru Aura semakin emosi.
Ada goresan kecil di wajah Aura sehingga mengeluarkan sedikit darah segar di pipinya. Darel melihat itu dan hendak menyentuh wajah Aura yang tergores oleh ujung buku yang ternyata tajam.
Javin tiba, ia segera menarik Aura untuk menjauh dari Darel. "Jauhi Darel sekarang!" seru Javun pelan seraya mengelap darah di pipi Aura dengan tissue.
Caitlin duduk menenangkan Darel. "Kau harus lebih lembut kepadanya, Darel. Kau tau dia sangat keras kepala. Jangan membuat suasana tambah runyam! Kau itu seorang laki-laki!" seru Caitlin menasehati Darel, pria jangkung itu sama sekali tak ingin mendengar ceramah Caitlin.
Darel bangkit dan meninggalkan Caitlin, yang tentunya masa bodo dengan apa yang baru saja terjadi.
"Aku hanya perlu berlagak baik di depan mereka," batin Caitlin berucap.
Sementara itu, Aura meronta inginkan Javin melepas genggamannya. "Kau bisa lepaskan aku sekarang, Vin!"
Javin segera melepaskan genggamannya, ia menatap Aura dengan kesal. "Kau bisa berubah? Kau sudah dewasa, Aura. Bertengkar dengan Darel setiap hari, memangnya tidak lelah?"
"Darel yang memulainya," ucap Aura yang bahkan Javin pun sudah tahu dalang permasalahannya tentunya bukan Darel.
"Bersikaplah seperti gadis di usiamu, mereka anggun dan tidak memiliki mulut kasar sepertimu. Jika kau hanya bisa memaki, lebih baik kau diam tak usah berbicara! Daripada berbicara, mulutmu menyakiti orang lain!"
KAMU SEDANG MEMBACA
My (Shit) Bestfriend
General FictionBlurb Ini tentang Aura dan beberapa sahabatnya. Kisah cinta mereka, sedih, senang, dan segala amarah yang berbaur dengan luka. Menyukai dan membenci sahabat sendiri. Baik di depan, dan buruk di belakang. Lalu, kenapa mereka masih bertahan padahal su...