BAB 2

15 0 0
                                    

     Waktu terus berlalu. Jam dinding berputar sehingga kini sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

Darel, laki-laki muda itu masih menatap lekat wajah Aura yang tertidur begitu tenang. Bulir keringat terlihat jelas di kening si cantik bermulut tajam itu. Tangan Darel mengusap surai Aura begitu lembut, ia tak ingin mengganggu waktu istirahat sang Ratu.

Darel kemudian bangkit dari duduknya, ia menarik selimut Aura hingga batas dada, lalu dirinya menempelkan alat penurun panas yang baru di kening Aura. "Jangan sakit terlalu lama!" serunya, ia pun pergi meninggalkan kamar Aura.

Pemuda itu berjalan menuruni beberapa anak tangga untuk sampai di ruang tengah rumah mewah keluarga Warentya. Di sana, ia bertemu dengan kakak laki-laki Aura yang tengah sibuk membulak-balikkan majalah bisnis.

Darel tersenyum canggung pada William. Bukan apa-apa, William memang pria yang terkesan cuek dan tak peduli pada apapun. Bahkan, ketika Darel tersenyum pun, William tidak peduli.

"Selamat malam, kak!" sapanya, dan William hanya berdehem untuk menanggapi sapaan basa-basi seorang Darel.

Darel tidak ambil pusing, pemuda itu pun segera pergi dari rumah Warentya. Ia menaiki motor sport miliknya yang memang sudah terparkir tak jauh dari pintu utama rumah tersebut.

Keesokan harinya. Aura terbangun dari tidurnya pukul 8.00 pagi, ia merasa lebih baik dan segera duduk bersandar di kepala ranjang. Ia menarik penurun panas yang masih menempel di keningnya.

Dirinya menoleh mendapati sarapan pagi yang tersedia dia meja lampu tidur. Di sana ada susu cokelat yang masih hangat dan sandwich isi telur dan keju.

Karena sudah merasa lapar, Aura segera beranjak dari kasurnya dan berjalan menuju kamar mandi yang juga berada di kamarnya.

Gadis itu rasanya tidak usah mandi dulu, maka dari itu ia hanya mencuci muka dan menggosok gigi saja. Lagipula, Ayahnya selalu berkata, "Tidak perlu mandi jika masih sakit."

Setelah merasa lebih bersih dari sebelumnya. Ia pun duduk di tepi ranjang dan mulai menghabiskan menu sarapan miliknya.

Untung saja ini adalah hari Minggu, jadi Aura tidak perlu susah payah bangun pagi agar tidak terlambat ke sekolah. Jika terlambat, bahaya tentu saja mengintainya.

•••

     Caitlin baru saja selesai mandi. Sarapan? Sudah ia lakukan sejak satu jam yang lalu. Kali ini, dirinya duduk tepat di depan meja belajar, dengan laptop dan beberapa buku yang menumpuk.

Mengerjakan tugas sekolah, itulah yang akan ia lakukan saat ini. Karena kemarin dirinya tak sempat mengerjakan tugas-tugas yang harus dikumpulkan pada hari Senin.

Tangannya dengan lihat menyalakan webcam di laptop dan menghubungi Javin yang tentu saja sedang aktif. Webcam Javin dan Caitlin kini terhubung, keduanya di posisi yang sama, saling dihadapkan dengan tugas sekolah.

"Tidak perlu terburu-buru, lagi pula kita tidak akan ke mana-mana," kata Javin seraya menunjukkan buku tulis miliknya yang hanya terdapat tulisan dua paragraf.

"Woah! Kau bahkan sudah mulai merangkum sepertinya?"

Javin mengangguk. "Ini tulisan Aura jika kau ingat, gadis itu mengira ini buku miliknya. Lumayan, dua paragraf sudah start, aku tinggal melanjutkannya saja."

Caitlin terkekeh. "Curang sekali. Tapi tidak apa, ayo lanjutkan!"

Mereka pun akhirnya mulai mengerjakan tugas. Dari mulai rangkuman di buku paket hinggak soal-soal pilihan ganda di pelajaran matematika yang harus mereka kerjakan satu bab penuh.

Di sisi lain, Darel baru saja pulang ke rumahnya. Tadi malam, ia menginap di rumah pamannya.

"Selamat pagi Johan Junior. Senang sekali rupanya pulang pagi ini. Ada yang ingin kau ceritakan pada Ibu?" tanya sang Ibu yang menyambut dirinya di ruang tamu depan.

"Selamat pagi, Bu. Maaf pulang terlambat. Aku tidak bisa bercerita hari ini, mungkin lain waktu! Aku sangat lelah, maaf, Bu!"

Nesya mengangguk paham. Ia sedikit terkekeh melihat raut wajah putra semata wayangnya yang begitu kusut dan kelelahan. "Mau sarapan?"

Darel menggelengkan kepalanya. Ia kemudian mengecup singkat pipi sang Ibu. "Aku sudah sarapan sebelum pulang, dan aku ingin tidur sampai siang!"

"Baikku, Ibu akan membangunkan dirimu di jam makan siang."

"Terima kasih, Ibu!"

•••

Pradipta Adimaya. Dima si tampan berjaket denim yang saat ini duduk di dalam mobilnya seraya memandangi rumah besar milik seseorang.

"Bagaimana?" tanya seorang gadis di sampingnya.

Dima mengangguk. "Apa yang harus aku lakukan?"

"Mencelakai adik perempuan William. Jangan sampai meninggal! Aku tidak mau ini menjadi kasus kriminal yang sangat kejam. Lagip—"

"Sssttt! Aku tau. Aku tidak mungkin membunuh orang. Aku masih waras, kak!" ujar Dima pada Bella, sepupunya. "Kau sepertinya sangat dendam?"

Bella mengangguk. "Si bajingan itu berselingkuh dariku. Aku merasa hina dan tak dihargai. Jadi, aku ingin dia menangisi adiknya!"

"Kau yakin seperti itu?"

Bella mengangguk. "Tidak ada cara lain, Dim! William sepertinya menyayangi adiknya. Jika Adiknya terluka, setidaknya dia akan merasakan sakitnya."

"Baiklah jika ingin seperti itu."





To be continue ♥️

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 18, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My (Shit) BestfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang