Hari itu mendung. Langit tampak berwarna abu pekat dan tebal. Awan hitam bergulung-gulung di atas sana. Terlihat nyaris seperti gelombang badai.
Tentu saja. Saat ini masih musim penghujan. Wajar dunia muram. Semesta pun kerap kali menangis. Bumi yang malang harus menampung tiap tetes kesedihan itu. Tanpa bisa mengeluh. Menyedihkannya, dia harus bahagia. Karena tangis semesta merupakan anugerah bagi nyaris seluruh penghuni di sana.
Anugerah.
Benar.
Seharusnya ini anugerah.
Cincin emas putih dengan berlian kecil itu mengerlip penuh ejekan di jari manis. Sang pemilik yang tak kuasa menatapnya, lebih memilih memandang langit mendung yang masih meraung. Hujan makin deras, tapi sama sekali tak mampu menghentikan pernikahannya. Pernikahan sederhanan di ruang kecil kantor urusan agama.
Pernikahan yang sama sekali tak ia inginkan. Demi langit yang masih menangis, dirinya baru menginjak usia 20. Pesta ulang tahunnya bahkan baru dirayakan semalam. Di aula hotel mewah milik keluarga mereka.
Iya. Mereka. Sekarang keduanya merupakan keluarga, kan?
Tentu saja. Pernikahan jelas merupakan penyatuan.
Oh, tidak. Tidak. Ini bukan jenis pernikahan paksa. Hanya perjodohan yang tak bisa ditolak. Bahkan ia menerima. Dengan suka rela. Pun lelaki itu. Pria muda berkemeja putih yang kini duduk di sampingnya, sedang menandatangani berkas perkawinan mereka.
Tolong jangan tanya siapa lelaki malang itu. Si malang yang kini menyandang status sebagai suaminya. Si malang yang kemudian berpaling dari berkas-berkas di meja demi meliriknya dengan netra pekat nan tajam yang sudah sangat ia kenali. Bibir yang tak pernah tersentuh nikotin itu menipis, pun rahang mengetat.
Suaminya ... jelas tidak senang dengan keadaan ini. Mungkin juga marah.
"Kita memang sudah menikah." Lelaki itu berbisik. Dia mendekatkan bibir ke telinga istrinya, barangkali agar orang-orang yang berada di ruangan itu tidak bisa mendengar obrolan sang pengantin baru. Termasuk orang tua mereka yang kini tersenyum lega, saling berbincang satu sama lain tentang ... kelanjutan bisnis yang sudah disepakati bersama. "Tapi, aku harap kamu tetap bersikap seperti sebelumnya. Acuh tak acuh padaku. Jangan sampai ada yang tahu selain keluarga kita."
Lelaki itu pun lantas berdiri sambil pura-pura membersihkan kemeja putihnya yang masih licin oleh bekas setrika. Tak ada setitik debu pun di sana, tentu saja. "Sudah selesai," katanya dengan suara lantang dan ... ramah. Senyum yang kerap kali berhasil membuat banyak kaum hawa terpesona, tersungging dari bibirnya. Bibir yang baru saja mencebik muram pada sang istri. "Aku masih ada kelas siang ini. Boleh pergi lebih dulu?" Dia berkedip pelan. Menatap ayah, ibu, dan dua mertuanya dengan tatapan hangat seorang putra. Yang selalu berhasil meluluhkan hati orang tua mereka. Atau menipu.
Lelaki itu bertingkah seolah sangat mencintainya di depan kelurga besar, tapi cukup kejam saat mereka hanya berdua. Dan seakan tak saling mengenal saat berada di tempat umum.
"Tolong temani Binar pulang. Pastikan istri Agra selamat sampai di rumah, oke," tambahnya dengan nada ceria. Dia lantas menatap Binar, masih dengan senyum dan tatapan hangatnya, kemudian mengelus kepala gadis itu pelan sebelum melangkah pergi setelah mendapat izin dari para orang tua.
Agra, suaminya, berbohong. Dia tidak ada kelas siang ini. Binar tahu. Tentu saja, sebab keduanya selalu ada di kelas yang sama.
Hari ini jadwal kuliah mereka kosong.
♡♡♡
Hai hai hai ...
Saya sudah turun gunung, Cah😂
Ini adalah cerita terbaru. Dan tenang aja, di wattpad kok.Cuma saya belum menemukan konflik utamanya. Jadi doakan aja moga bisa berhasil sampe ending, ya.
Bdw, ini ceritanya nggak seberat judul kok. Jadi slow ...
Ahad, 06 Juni 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Lukaku Belum Seberapa
RomanceCerita ini hanya fiktif. Bacalah saat benar-benar luang. Ambil baiknya, buang bagian buruknya. °°° Satu-satunya cara agar tidak terluka dalam sebuah hubungan adalah ... jangan jatuh cinta. Itu merupakan prinsip konyol Binar yang terjebak perjodohan...