BAB 5

18.3K 3.4K 258
                                    

BAB 5
♡♡♡

Mari mengarang bebas untuk membuat mereka percaya, pikir Binar seraya merebut buku Agra dari tangan Prisila, mengabaikan satu alis Noni yang spontan terangkat melihat tingkahnya. Seolah menyadari, hal tidak beres sedang terjadi.

Noni dan instingnya memang agak mengkhawatirkan. Sedang Prisila yang lamban beripikir, hanya menopang dagu melihatnya.

Binar suka menonton drama, membaca novel dan komik. Tentu ia sudah menemukan skenario sebagai penjelasan.

Tabrakan. Itu ide yang sempurna. Katakan saja mereka tak sengaja bertemu di tempat parkir. Binar yang berjalan sambil memainkan ponsel tak sengaja menabrak Agra dari belakang hingga bawaan mereka jatuh berceceran. Saat itulah buku mereka tak sengaja tertukar!

Ah, Binar memang berbakat menjadi pengarang.

Membuka mulut hendak menjawab, semua adegan dalam kepala gadis itu di-cut bahkan sebelum dimulai. Alih-alih bibir, yang terbuka lebar justru kelopak matanya begitu mendengar pemilik buku yang kini ia dekap berkata ... jujur.

“Kami berangkat bersama,” dengan nada datar setengah bosan yang sudah menjadi ciri khasnya.

Andai bukan ciptaan Yang Mahakuasa, Binar yakin bola matanya sudah pasti jatuh mengikuti undangan gravitasi bumi dan bergelinding ke arah kaki Agra berada untuk melayangkan serangan.

Apa dia gila? Pikir Binar tak percaya. Kenapa masih bertanya!

Agra memang sungguh gila. Lelaki itu yang mewanti-wanti agar tidak ada yang mengetahui pernikahan mereka selain keluarga, lantas ini apa? APA?!

Benar, mereka berangkat bersama. Satu kendaraan. Menggunakan mobil Agra.

Tidak. Ini tidak direncanakan. Binar bahkan sudah memesan taksi daring, sedang Agra sama sekali tak peduli bagaimana cara ia sampai ke kampus. Entah jalan kaki atau merangkak sekali pun, asal jangan melibatkan lelaki itu dalam masalah.

Namun bukankah Binar sudah mengatakan, semesta seolah tak ingin berhenti bermain-main dengannya. Tepat begitu ia membuka pintu saat hendak berangkat kuliah, senyum cerah adik perempuan Agra menyilaukan pandangan mata. Gadis yang hampir lulus SMA itu entah bagaimana bisa sampai di sana. Berdiri bagai dewi pagi di muka pintu. Dia menyapa Binar ceria seolah dunia selalu bertabur bunga.

Bunga bangkai tepatnya—dalam dunia Binar.

"Halo, kakak ipar!" Tanpa ba-bi-bu, gadis itu, Aira, menerobos masuk begitu saja. Tak memberi pilihan pada Binar selain berbasa-basi dan meladeninya dengan keramah-tamahan palsu.

Ugh, kendati sudah bertunangan lima tahun, bukan berarti Binar akrab dengan seluruh keluarga Agra. Yang benar, tidak sama sekali. "Halo, Aira," balasnya agak canggung. Terpaksa ia menutup pintu kembali seraya mengikuti adik bungsu suaminya mengelilingi rumah kecil mereka. "Kamu ... ngapain ke sini pagi-pagi?"

"Mau ngecek pengantin baru," jawab sang lawan bicara sambil tersenyum cengengesan. Tanpa sungkan, Aira menjatuhkan diri ke atas sofa di ruang tengah dengan kepala celangak-celinguk. "Apartemen kalian di luar dugaan. Kirain bakal gede," komentarnya. Binar menahan diri untuk tak memutar bola mata dan berusaha bersikap baik dengan mengambilkan gadis itu air putih dari kulkas. Bukan pelit, yang tersedia di apartemennya memang hanya itu.

"Kami belum sempet belanja, jadi adanya ini aja. Silakan diminum."

Aira mengedik pelan sembari mengambil air kemasan yang disuguhkan Binar dan meminumnya. "Abang mana?"

Belum sempat Binar menjawab, pintu kamar lebih dulu terbuka. Agra tampak sudah rapi dalam setelah kemeja kotak-kotak kebesaran yang dimasukkan ke dalam celana denim gombrongnya. Lengan kemeja yang longgar dan panjang,  lelaki itu lipat nyaris sebatas siku. Dia ... yah, lumayan keren, pikir Binar masam.

Lukaku Belum SeberapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang