Chapter I: The Encounter

494 65 12
                                    

▷ I Know It's Over - Jeff Buckley

**

2021

Bandara Internasional Soekarno-Hatta

Schatzia Lazuardi, 28 tahun
Kurator Seni

"Delay lagi?" tanya seseorang di ujung sambungan telepon dengan nada tidak sabar, sementara wanita yang terlihat sudah berada hampir di akhir usia dua puluhan itu hanya bisa mengiyakan dengan pasrah sambil menaikkan letak kacamatanya yang turun.

"Cuacanya lagi jelek, tunggu aja yaa."

"Duh, harusnya sekarang lo yang presentasi di sini. Tadi lo nggak telat kan? Lo beneran nggak ketinggalan pesawat kan?"

Wanita itu tersenyum kecut. "Nggak, lah."

"Most likely kita nggak mungkin tunda lagi meeting-nya karena udah telat tiga jam, nih. Nanti lo stand by di Zoom aja ya."

Setelah mematikan telepon, ia menyeret koper kecil miliknya menuju Starbucks dan mulai mengambil iPad dari dalam totebag favoritnya. Presentasinya sudah ia siapkan dengan sempurna, ia sudah berkali-kali latihan opening speech untuk salah satu event terbesar yang pernah ia pegang selama karirnya sebagai kurator seni di Indonesia setahun belakangan ini—tapi yah, kalau takdir sudah mengatakan tidak, memangnya ia bisa apa?

Meeting-nya mulai tepat ketika Green Tea Latte-nya selesai dibuat.

"Kak Schatzi!"

**

Giandra Baskara, 31 tahun
Pilot komersial

Laki-laki berpostur tinggi tegap dengan lanyard berwarna biru bertuliskan "Giandra Baskara" khas maskapai terbesar di Indonesia itu melangkah gontai. Minggu itu harusnya ia cuti, tapi terpaksa harus menggantikan sahabatnya yang tiba-tiba saja istrinya melahirkan secara prematur—lebih cepat dua bulan dari perkiraan.

Sebagai Bukan-Penggemar-Berat coffeeshop di bandara, biasanya ia akan menyeduh sendiri kopi buatannya di apartemen sebelum berangkat terbang. Namun karena kali ini benar-benar mendadak, ia bahkan tidak sempat memperhatikan kaus kaki yang dipakainya hari itu. Terpaksa, ia mengantre di Starbucks yang setiap harinya tidak pernah sepi pengunjung. Sebenarnya, ia tidak begitu suka kopi di bandara karena menurutnya harganya overpriced—walaupun wajar mengingat biaya pajak di bandara memang lebih tinggi, makanya ia biasanya menghindari jajan kopi di bandara dan lebih baik membuatnya sendiri.

Ia sedang membalas WhatsApp dari kakak perempuannya yang kesal karena harusnya hari itu ialah yang membeli kado untuk ulangtahun ibu mereka yang jatuh pada akhir minggu ketika ia mendengar nama yang familiar—namun sudah lama tak didengarnya.

"Kak Schatzi!"

Mendadak jantungnya serasa berhenti berdetak.

Nama itu.

Satu dari seribu.

Ia belum pernah menemukan orang lain dengan nama itu di Indonesia selama bertahun-tahun selain namanya. Kemudian matanya menangkap seorang wanita dengan rambut pendek sebahu berdiri dari mejanya di pojok dekat jendela dan mengambil pesanannya—yang ia tahu pasti bukan kopi. Mungkin Dark Chocolate Mocha, atau kalau tidak Green Tea Latte. Pasti dua itu.

Sejak kapan ia kembali ke Indonesia?

Banyak yang berubah darinya, tapi ia bersyukur karena perempuan itu terlihat sehat dan baik-baik saja. Rambutnya yang dulu panjang bergelombang itu kini dipangkas sepundak, dan sekarang ia pakai kacamata—mungkin karena terlalu banyak bekerja di depan layar ya?—lalu tatapannya kini tajam, raut wajahnya terlihat dewasa. Badannya terlihat lebih kurus dari yang terakhir kali ia ingat—atau mungkin karena rambut pendeknya ya, sehingga kini collarbone-nya terlihat menonjol—dan astaga, senyumannya pada barista ketika ia mengambil minumannya!

Ia bersumpah, saat itu ia ingin lari saja—kabur sejauh-jauhnya—ketika entah kenapa, tiba-tiba saja mata mereka bertemu. Naluri manusia memang sepertinya sadar kalau sedang diperhatikan.

Samar-samar di kepalanya tengiang-ngiang lagu I Know It's Over versinya Jeff Buckley.

Oh mother, I can feel the soil falling over my head

And as I climb into an empty bed, oh well, enough said

I know it's over still I cling

I don't know where else I can go, over and over

**

Schatzia Lazuardi

"Thank you!" ucapnya sebelum mengambil minuman dan tissue yang disodorkan barista. Ia sengaja tidak mengambil sedotan plastik karena sudah dua tahun belakangan ini ia jadi lebih peduli lingkungan dan mulai menggunakan reusable straw. Memang bukan langkah besar, tapi setidaknya ia ingin sedikit berkontribusi.

Kemudian entah kenapa, ujung matanya menangkap ada yang sedang memperhatikannya—atau ia hanya terlalu percaya diri, ya? Lalu ia menoleh dan demi Tuhan! Hampir saja Green Tea Latte itu jatuh dari tangannya dan membuat kekacauan—matanya bertabrakan dengan sepasang bola mata berwarna coklat muda yang sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kali ia melihatnya.

Hanya dalam kurun waktu kurang dari lima detik ia sudah tahu apa saja perubahan pada laki-laki itu. Kulitnya kini terlihat lebih gelap, rambutnya agak berantakan—tidak seperti biasanya, dan ia tidak memakai jam tangan. Bagaimana bisa??? Hal itu membuat Schatzia lebih terkejut ketimbang pertemuan yang tidak diduga-duga itu.

Laki-laki itu baru akan membuka mulutnya ketika Schatzia ingat bahwa masih ada Zoom meeting yang harus ia hadiri karena delay sialan ini. Sumpah, ia sama sekali tidak berniat untuk menghindar—malah kalau bisa.. ia ingin meminta maaf. Namun dengan cepat, ia membalikkan badan menuju mejanya lalu memasang earpods sambil mencoba mengatur ritme detak jantungnya yang kelojotan—dengan harapan laki-laki itu masih akan ada di sana setidaknya sampai ia menyelesaikan brief meeting-nya.

"Hi everyone, sorry for the inconvenience. My flight got delayed because of the weather, but I have prepared everything. I hope this will be enough for the moment," Schatzi membuka presentasinya dengan tegas, disertai dengan senyumannya yang khas; menjadi fitur wajah yang membuatnya unik dan mudah diingat—senyuman disertai setengah lesung pipit karena ia hanya punya lesung pipit pada bagian kiri wajahnya.

Despair in the Departure Lounge [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang