Musim gugur tahun ini, terasa berbeda. Tidak ada angin dingin yang begitu menusuk tulang, tidak ada pula gemerisik daun yang gugur.
Untuk 18 tahun kehidupannya. Alterio tidak tahu apakah ini pertanda baik atau buruk.
Yah, setidaknya ini tidak akan menjadi perjalanan yang dingin. Kampung halaman, huh? Lebih baik Alterio menjadi budak kerja di kota.
Apa yang bisa diharapkan? Dibuang oleh keluarganya, oh bukan, tapi keluarga angkat. Bersekolah dengan jerih sendiri hingga diterima di universitas yang cukup ternama. Itu belum seberapa, karena Alterio hanya harus banting tulang menghidupi dirinya sendiri di kota. Satu tahun, hidupnya sudah mulai tertata dengan apik, kerja dan belajar, itu cukup mengisi kebosanan. Padahal, semasa ibu angkatnya masih ada, Alterio dipandang sebagai bintang permata. Dijilat sana sini hanya untuk menyenangkannya, dan tentu saja mendapat senyum ramah ibunya. Tapi semua itu sudah berlalu.
Hanya saja, apakah Sang Pencipta sedang mempermainkannya? Apakah kematian ibu angkatnya, dibuang oleh keluarga, lalu harus menghidupi dirinya sendiri, itu belum cukup?
Alterio pikir dengan hidup di kota sendiri, itu akan memutuskan hubungan antara dirinya dan keluarga itu. Ternyata, mereka masihlah penjilat yang rendah.
Dengan berbekal informasi anak kepala desa yang juga belajar di kota yang sama, semudah itu mereka menghubunginya. Mengatakan dengan dramatis bahwa dia sudah melupakan jasa-jasa mereka dan tidak mau kembali, bahkan membual cerita tentang musibah di pemakaman keluarga. Siapa yang akan percaya?
Tentu saja orang-orang desa itu! Dasar para bedebah sial! Jika kalian bukan keluarga ibu, alterio tidak akan sudi memberikan wajah!
Sedalam itu kebencian Alterio. Karena hanya dia yang tahu seberapa rendahnya mereka.
Kali ini, di tengah senja musim gugur. Terhitung hanya dirinya yang berjalan menyusuri jalan berbatu sempit untuk mencapai desanya. Desa kecil dengan banyak perkebunan buah yang berada di balik bukit. Jika menggunakan jalur utama yang selalu dilintasi mobil, maka Alterio akan tiba tengah malam nanti. Cukup turun di halte terdekat dengan bukit, melewati hutan kecil dan masuk ke dalam area perkebunan milik kepala desa. Itu hanya memakan waktu tiga jam untuk mencapai desa.
Jalur ini tidak pernah sesepi ini. Atau itu yang dapat diingat Alterio. Entah jika kebiasaan sudah berubah dalam satu tahun ini.
Alterio menatap lurus ke depan. Sedikit banyak dalam bias matahari senja, dia bisa melihat pagar kayu tinggi untuk membatasi perkebunan. Memikirkan untuk segera sampai dan meluruskan tulangnya, itu membuat Alterio bersemangat untuk mempercepat langkahnya.
Itu tidak lebih dari sepuluh langkah, saat melewati pohon besar dengan akar napas yang mencuat keluar dan merimbun daunnya, Alterio merasakan dorongan.
Bukan angin, bukan pula sesuatu yang hidup seperti hewan buas, ini hanya hutan kecil yang tidak jauh dari jalan raya. Tapi hal ini, yang entah apa namun memiliki kekuatan cukup besar, mendorongnya ke samping hingga terjerembab. Sayangnya bukan keras dan berdebunya tanah, melainkan lubang besar yang entah bagaimana bisa ada di sana. Dengan gedebuk keras, Alterio mencapai dasar lubang dengan kepala dan bahu mendahului. Rasa sakit yang benar-benar meremukkan tulang, bau anyir darah dan tanah basah, dan suara berdenging yang menulikan telinga.
Kemungkinan terbesar, Alterio hanya bisa pasrah jika akan dinyatakan hilang, dan ditemukan membusuk di lubang ini. Mengingat kondisi saat dia berjalan tadi, itu hanya akan menjadi kemungkinan pertama dan terakhir untuk kondisinya.
***
"Tuan, apa tidak sebaiknya kita meminta Tuan Al Fariz untuk memeriksanya?"
"Tidak, tidak, jangan merepotkan Fariz kecil lagi. Dia akan mengigitku hingga ke tulang jika itu terjadi."

KAMU SEDANG MEMBACA
The Curse of Four Seasons
FantasyDi malam tahun baru, hanya harapan tentang kebahagiaan yang diinginkan dalam satu tahun ke depan. Memulai hal yang baru dan melupakan masa lalu. Tapi, tepat di malam itu, dosa yang melahirkan dendam seribu musim telah terjadi. Satu tahun penuh berka...