Pengunjung restoran Divana sedikit demi sedikit mulai berkurang. Pada pukul 22.43 selarut ini pasti sedikit manusia yang perutnya mengada-ngada ingin makan ke restoran mewah di kota Yogyakarta ini, terkecuali berlaku untuk perut-perut orang berdompet tebal, itu pun jika restoran belum tutup.
Seperempat sisa tumpukan piring kotor yang menggunung menjadi tugas penutup Kirana. Seperti biasanya, ia bekerja paruh waktu setiap malam setelah sebelumnya ia bekerja menjadi kasir di toko buku. "Beres," ucapnya, kemudian membilas kedua tangan. Jauh di seberang sana, suara seorang perempuan bernama Lina terdengar mengomel dari ponsel Kirana. "Habis ini langsung ngepet ke mana lagi?" Perempuan itu berkacak pinggang, seolah-olah Kirana bisa tahu bagaimana gerak tubuhnya.
Kirana meletakkan ponsel di telinga sambil menahan tawa. "Sembarangan banget sih, Lin! Ngepet sama kerja beda kali," jawab Kirana, lantas Kirana tergelak yang malah membuat Lina berdesis kesal. "Sebenernya, sih, mau langsung lanjutin cerita, buat bahan novel selanjutnya. Kalau aku malas-malasan, mau makan pake apa, 'kan?" Kirana menghela napas pelan.
"Udah dibilangin berapa kali, sih? Kesehatan itu penting. Pagi sampai siang kerja di toko buku, siangnya kadang nerjemahin buku atau jadi kasir lagi, malam lanjut kerja di sini. Buang saja satu kerjaan, itu udah menguras tenaga banget, tahu gak? Sekalian, habis ini pungutin tuh sampah botol bekas buat dijual!" Mulut mercon Lina menyerocos, bibirnya bergerak lincah maju atau ke samping, berkomat-kamit dengan cepat. Terkadang Kirana harus agak menjauhkan ponsel itu dari telinga, sebab demi menghindari suara cempreng Lina yang takutnya bisa membuat tuli. "Kamu tidak sayang sama bad-"
"Eh, sebentar," ucap Kirana tiba-tiba. Ia membuka pesan dari Arka, kekasihnya. Si korban berdesis saat lagi-lagi ceramahnya terpotong. "Oh, iya. Aku sekarang mau pulang, kok. Kanda sudah jemput aku di depan," ucap Kirana kepada orang di seberang sana lantas menutup panggilan. Lina mengusap dada sembari memutar bola mata.
Kirana dan Lina bersahabat sejak SMA dulu. Namun, karena kasta ekonomi yang berbeda, maka setelah lulus, terpaksa Kirana harus hijrah dengan neneknya sekaligus berpisah dengan Lina. Berharap dapat dimudahkan mengais rezeki jika itu di kota lain. Kirana ke Yogyakarta sedangkan Lina tetap di Jakarta.
***
Arka memilih taman kota, tempat biasa mereka bertemu. Mereka duduk di kursi taman. Dua sejoli itu saling diam, malu membumbui rindu sebab pertemuan termasuk hal mahal bagi mereka. "Kamu terlalu sibuk, Kiran. Aku kangen kamu." Arka membuka pembicaraan, nada bicara yang santai dan menenangkan mengalun lembut di telinga Kirana. Suara Arka memang selalu membuat hatinya luluh. Segala yang ada dalam diri Arka, membuatnya berpikir bahwa akan menjadi sebuah keputusan sangat tepat jika hubungan mereka berlanjut ke jenjang pernikahan.
Kirana duduk menghadap Arka. "Kamu tidak faham, Ka." Terdengar debas kasar dari hidungnya. Kirana memalingkan wajah ke arah lain, kesal sebab Arka tidak memahami segunung tanggungjawabnya. Ia tahu, Arka ingin menghabiskan waktu di setiap akhir pekan bersamanya, tapi Kirana tidak bisa. Arka pun tahu, Kirana mesti bekerja keras tanpa bantuan siapapun demi kesembuhan neneknya, karena Kirana hanyalah seorang anak yang dipungut lalu dibesarkan oleh seorang janda tua itu.
"Aku dijodohkan oleh ibu," ujar Arka tanpa ekspresi, kemudian sedikit menunduk, tak ingin melihat ekspresi kekasihnya yang ia sudah tahu akan seperti apa.
Sebilah pisau menusuk tepat di ulu hati Kirana. Ia tercengang, keningnya berkerut dalam. "Mak-sud, kamu?" Ia tidak menyangka keputusan ibu Arka akan secepat ini. Baru kemarin ia berkunjung ke rumah Arka, disambut dengan hangat oleh ibu Arka, seolah menganggap Kirana sudah jadi mantunya. Dan kini, tiba-tiba datang keputusan sepihak. "Kita sebentar lagi tunangan, Ka ...." Netra Kirana nanar menatap manik cokelat Arka. Menunggu penjelasan selanjutnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Potongan Mozaik Langit [Kumpulan Cerpen]
Short StoryKita dapati langit begitu tinggi tanpa penyangga, indah dengan ketidaktetapan cuaca sebagai pelengkap, biru serta muramnya akan selalu cantik untuk setiap manusia yang berbeda cuaca hatinya. Dia kokoh memayungi kehidupan manusia yang hiruk pikuk den...