Part 1

4 0 0
                                    

Tahun 2020, tanpa disadari kita telah memasuki periode yang akan dikenang dalam sejarah dunia dengan tinta merah. Untuk pertama kalinya kita menjalani sebuah bencana global bersama-sama, dimana jalur-jalur yang menghubungkan dunia menjadi nadi-nadi penderitaannya. Di rumah sakit aku tertidur tak berdaya, setiap nafasku seperti menghirup serpihan kaca; Namaku Tobi.

Aku berasal dari Depok tempat pasien pertama virus Covid-19 ditemukan, disaat itu aku berdiri gagah setelah menempuh sekolah pilot di filipina aku sedang merasa ada di puncak dunia, berderet piala-piala prestasiku dibidang atletik menjadi sumber rasa percaya diriku. "aku kuat, aku hebat, tidak ada yang tak bisa menghentikanku" aku katakan pada diriku sendiri didepan kaca setelah mandi.

"Tobi! Ayo cepetan keburu telat!" mamah memanggilku dari bawah, kita akan pergi ke pernikahan sepupuku sore ini "time to put on my best suit!" aku katakan pada diriku. Mamah adalah orang yang sangat family oriented beliau adalah seorang PNS yang menolak promosi demi tetap dekat dengan keluarganya, sementara ayah adalah seorang pilot; hubunganku dengannya selayaknya hubungan ayah dan anak boomer dan gen z penuh dengan ketidak cocokan dan rasa acuh.

"kuy mah berangkat" aku turun dari tangga dengan jas yang kupakai saat lulus sekolah pilot, "aduh gantengnyaa anak mamah, ya kan pah?" ayah hanya membalas dengan "iya, ayo" Beliau memang tidak banyak berbicara.

Diperjalanan menuju kondangan aku melamun dimobil "uhuk... uhuk UHUK... ehem mah ada minum nggak?" disaat itu aku belum mengetahui bahwa hidupku akan berubah 180 derajat dan aku akan mendapat pelajaran terpedih dihidupku. "ini sayang, kamu tu harus jaga kesehatan yaa bentar lagi kan kamu mau terbang ke seliling indonesia haha" ibuku sangat bangga pada diriku, ayahku juga walau dia tidak terlalu sering menunjukannya, didalam hatiku aku tau bahwa menjadi pilot adalah hal yang dia inginkan untuku.

Sesampai di kondangan batukku belum juga reda, aku terpaksa duduk selama prosesi hal itu sebelum aku merasa paru-paruku berhenti dan aku tidak bisa lagi bernafas. Aku pingsan dan terbangun di rumah sakit.

Lampu putih... bau bahan kimia... suara mesin... ibuku menangis dan ayahku disampingnya dengan tangannya dipunggu ibuku, menenangkannya. "mah..." kupanggil namanya; nafasku serasa berat seperti menghembuskan air. "nak! Kamu udah bangun, tadi kamu tiba tiba pingsan sayang, kamu kenapa?" beliau terus menangis khawatir, aku sedih melihatnya seperti ini, "papah panggil dokternya ya" beliau pun keluar dari kamar rumah sakit.

Mamah duduk bersamaku, aku kesulitan berbicara dan dia bisa melihatnya, tidak lama pun dokter datang. "selamat siang ibu, bapak, ananda Tobi saya tadi sudah menjalankan beberapa test, saudara Tobi mempunyai banyak lendir di tengorokanya" beliau katakan dengan pelan, agar mudah dipahami atau mungkin dia gugup. "oh anak saya flu dok? Tapi kok sampe pingsan?" ibuku tanya dengan khawatir. "iya bu tetapi saya melihat ada penurunan dari sistim imun Tobi, lebih dari flu biasanya. Kami akan harus melakukan beberapa test lain, tetapi sebelum itu untuk jaga-jaga saya harus meminta Tobi untuk masuk ke ruang isolasi ibu, karena ini bisa jadi virus baru yang kita belum kenali dan ber resiko pandemi" pandemi... lucu sekali disaat itu kata itu terasa tidak signifikan.

"loh tapi kan saya harus menemani anak saya dok!" protes ibu. "udah maah percaya sama dokter... papah yakin anak kita akan sembuh" Cuma ayahku yang bisa menenangkan ibuku kalo udah begini. "nggapapa mah, Tobi bisa kok" aku katakan dengan lemas, mamah menatapku dengan begitu sedihnya, hatiku ter iris melihatnya. "oke nak, sehat ya mamah sayang kamu". Itu adalah awal dari perjalanan panjangku memerangi Covid-19.

Selagi aku terbaring dikasur melihat waktu berjalan tanpa henti, kondisiku tidak kunjung membaik, batuk batuk yang tadinya menjengkelkan sekarang menjadi menyakitkan, aku terasa nafasku pendek dan tiap batuk aku merasa tenggelam dalam lendirku sendiri, "ada apa dengan aku" aku melihat berita, dunia kocar kacir tanpa arah yaa kita semua tahu lah kejadiannya bagaimana.

Aku salah satu dari orang pertama yang terjangkit, namun anehnya dalam kebosananku di rumah sakit, aku banyak menghubungi kerabat kerabatku tetapi banyak dari mereka yang tidak membalas chatku. Belum ku ketahui saat itu bahwa banyak kerabatku yang akhirnya menjauhi bahkan membenci keluargaku karena dikira membawa penyakit mematikan ke acara mereka. Memangnya ini yang aku mau?

Mamah dan papah mampir setiap hari, aku bisa melihat mereka melalui jendela, senyuman dan kata kata mereka selalu memberiku kekuatan, ayah juga lebih banyak berbicara melalui chat, mungkin ada sisi positif dari ini semua beliau selalu mengisi ovoku agar setidaknya aku punya kekuatan untuk membeli makanan yang aku suka, itu adalah sebagian dari kepuasanku sehari-hari. "aku ingin ke toilet" aku katakan selagi memencet tombol memanggil suster. Suster datang mengenakan baju APD "mas tobi kita ke toilet yang agak jauh yaa, toiletnya mas tobi lagi rusak e, insyaallah besok udah bener" aku mengangguk, berbicara sudah terlalu menyakitkan sekarang. Aku didorong dengan kursi roda melewati koridor sampai ke toilet yang di ujung, sebelum sampai toilet aku melewati cermin, hatiku pecah dengan apa yang kulihat.

Wajahku tirus dan pucat, tubuhku yang tadinya gagah menjadi kurus, aku tidak bisa mengenali diriku sendiri. Malam itu aku menangis sendiri dikamar. Sepertinya suster mendengar tangisanku, karena sarapan besoknya datang dengan secari surat, dan susu coklat yang tidak ada dalam menu catering biasanya "jalani hari demi hari ya mas tobi, di masa depan nanti mas tobi akan melihat masa ini sebagai saat mas tobi semakin kuat!" aku suka suster yang satu ini. Sebelum sampainya hari paling menyeramkan dalam hidupku.

Aku terbangun ditengah malam kesakitan, aku tidak bisa bernafas, mataku mengkerut ketakutan. Aku bisa mendengar detak jangtungku begitu cepat dan banyak dokter dan suster datang ke ruanganku. Aku bangun keesokan harinya dengan nafas yang begitu menyakitkan, saking menyakitkan aku menangis saat bergerak untuk duduk. Suster menunggu disampingku dengan baju zirahnya. "mass Tobi jangan gerak dulu, tadi malam cairan di paru paru mas Tobi mencapai tahan kritis, namun setelah dikuras kita sudah melewati masa tersulitnya".

ISOLASIWhere stories live. Discover now