Penantian

11 3 0
                                    

Aku senang, wangimu yang tertinggal di sela kalimat manis yang berpenggal-penggal, di antara reruntuhan kenangan yang membatu
wangimu adalah sebuah mesin waktu.

Aku suka matamu yang coklat penuh hasrat, membuat melangkah darimu terasa sangat berat.
Dengan mata itu kau memandang alam semesta.
Dengan mata itu pula kau menjadikanku tak mampu berkata-kata.

Aku benci senyumanmu yang dipenuhi zat adiktif, sampai aku tak tahu lagi mana yang fakta, mana yang fiktif.
Senyum seindah senja itu tak pernah gagal membuatku gelagapan, membias jingga sebelum akhirnya menggiringku pada kegelapan.

Aku rindu sosokmu yang memberi tahuku, bahwa cinta terpendam adalah bahasa keheningan dengan hati yang saling menggenggam.
Jadi, apakah salah jika selalu saja namamu yang terukir?

Meski rasa ini tanpa nama, tanpa sebab, tanpa mula, tanpa akhir.
Lambat laun kusadari, beberapa rindu memang harus sembunyi-sembunyi, bukan untuk disampaikan, hanya untuk dikirimkan lewat do’a.
Beberapa rasa memang harus dibiarkan menjadi rahasia, bukan untuk diutarakan hanya untuk disyukuri keberadaannya.

Biarlah “apa kabar” menjadi pengganti “aku rindu”.
“jaga dirimu baik-baik” menjadi pengganti “aku sayang kamu”.
Tangannya menjadi pengganti tanganku untuk menuntunmu. Pundaknya menjadi pengganti pundakku untukmu bersandar. Biarlah gemercik gerimis, secarik senja, secangkir teh, dan bait lagu menjadi penggantimu.

"waktuku kini tak hanya diisi penantian,
ada wajahmu di setiap detiknya.
jantungku kini tak hanya diisi darah,
ada namamu di setiap detaknya."

PahamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang