Bab 6

8 2 0
                                    

Nona Sedum Morganianum


Dari sejak Mom mengikuti langkah, kemudian mengobrol dengan perempuan tadi, kepalaku sudah mirip bel yang berdenting-denting. Aku ingat dengan wajahnya. Walaupun sebelumnya tanpa kacamata, dan barusan wajahnya dibingkai kacamata bulat besar, seperti yang sedang trend belakangan ini. Kupikir sebuah wajah akan tampak persis sebelum atau sesudah menggunakan kacamata. Meskipun ada perubahan, hanya sedikit saja. Tidak akan terlalu jauh berbeda. Makanya jika ada penyamaran-penyamaran yang hanya menggunakan kacamata biasa, kemudian membuat orang yang melihatnya tidak mengenal sama sekali, itu bodoh.

Well, baiklah, sesungguhnya aku tidak terlalu hapal dengan wajahnya. Hanya saja tahi lalat yang berada tepat di ujung hidung itu, aku sangat  mengingatnya. Jarang orang yang memiliki tahi lalat di sana. Sejauh yang kutahu selama aku hidup, tentu saja.

Dan bahasan Mom dengannya, hingga akhirnya menyinggung satu tanaman bernama Sedum Morganianum dan sungguh-sungguh membuatku tubuhku meremang, malah semakin mendekatkan jarakku dengannya. Aku masih mengamatinya diam-diam. Untuk memastikan betul-betul dia adalah orang yang sama kutemui di saat hari masih begitu belia. Pukul enam memang waktu yang terlalu pagi untuk berkenalan dengan orang baru, bukan?

Dan ketika aku merasa yakin, perempuan bertahi lalat di hidung tersebut adalah dia, aku segera sibuk mencari-cari benda itu. Ikat rambut buatan tangan dari manik-manik yang bisa jadi sangat berarti baginya. Aku menyadari pakaianku berbeda, dan akhirnya teringat juga, ikat rambut itu sudah kupindahkan ke dalam tas ransel. Yahhh, sepertinya aku akan terpaksa membuangnya, jika setelah ini aku tidak lagi bertemu dengan pemiliiknya. Apa boleh buat, ya, kan?

Baru saja aku melajukan Bumble Bee sekian menit hendak keluar dari area toko bunga, saat dia terlihat di tepi jalan. Entah menunggu siapa. Dan aku bagai merasa kejatuhan bintang, segera menghentikan laju mobil di dekatnya.

“Maaf, ikat rambutmu ternyata tertinggal di rumah. Aku minta nomormu saja.”

Kalimat itu terlontar begitu saja. Tidak ada hal lain yang dapat kupikirkan selain meminta nomor ponselnya. Maksudku adalah, nanti aku akan menghubunginya untuk menanyakan di mana aku bisa mengembalikan benda yang kuyakin adalah kesayangannya.

Gadis tersebut membalas kata-kataku dengan ekspresi yang super bingung. Bodoh! Aku merutuk. Tentu saja yang mendapat umpatan adalah diriku sendiri.

“Kamu kenapa?” Mom di samping melihatku, terbawa bingung dengan apa yang terjadi. “Hei, kamu sebetulnya ada hubungan apa dengan dia?”
Ide itu datang begitu saja. Melihat matanya berkerut dan alisnya bertaut. Aku mirip orang kalap, seolah jika tidak cepat-cepat aku akan kehilangan kesempatan. Mengapa aku seheboh ini? Lekas kusambar topi warna hitam dan masker yang ada di dalamnya dengan warna yang sama. Lantas, sesegera mungkin kukenakan. Tak ketinggalan mengeluarkan poni acak yang tertahan, menyisirnya dengan tangan. Yup, aku sedang melakukan reka ulang. Memperlihatkan penampakanku yang lain. Yaitu ketika bertemu dengannya pagi tadi.
Dan dia tampak terkejut. Menutupkan satu tangannya ke mulut.

“Sebutkan nomormu, aku akan catat.” Seruku tertahan, dan menghela napas melihatnya yang masih terpaku. “Kamu gak ingat nomor sendiri?”

“Eh, iya. Kusebutkan sekarang,” ujar perempuan itu akhirnya. Masih tergeragap. Duh, mungkin dia terkena damage, usai melihatku. Tidak seperti tadi pagi, mataku memakai kontak lensa, kali ini aku membiarkan mata asliku bebas diakses. Sebab ada Mom bersamaku.

“Mom, pinjam ponselmu,” ucapku. Menoleh pada Mom yang kemudian memangku tas tangan dan mengeluarkan ponselnya. “Oke, aku siap.” Aku menatap perempuan itu tepat di ke manik hitam matanya.

Sekian detik kemudian aku sudah menyimpan nomornya. Di dalam ponsel Mom. Mengucapkan, “okay, thanks” setelah itu kembali melajukan kendaraan, melanjutkan perjalanan pulang.

Sebelum TelanjurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang