Alan namanya seorang barista di sebuah Café yang membawa tema retro. Pada pertemuan kami yang pertama, aku bisa melihat bahwa dia adalah orang yang sederhana. Ia hanya mengenakan kaos hitam, celana hitam dan masker kain bermotif floral. Awal pembicaraan kita hanya tentang aku yang kebingungan harus memilih kopi dan dia yang menyarankanku untuk mencoba kopi Arjuna dengan mengunakan Teknik V26.
Hari itu aku hanya sendiri dan kurasa dia bisa kuajak bicara, jadi aku melanjutkan pembicaraan. Tenyata dia bukan hanya sekedar orang yang sederhana tapi dia cukup menarik dan membuatku nyaman. Beberapa kali aku mengunjungi Café tempat Alan bekerja. Kurasa aku selalu beruntung karena setiap kali aku berkunjung Alan selalu ada di sana. Tapi kali ini berbeda.
Para teman Alan menyambutku di pintu masuk , mereka staff di Café ini. Seperti biasa mereka mengajakku mengobrol singkat selagi menunggu antrian. Salah satu dari antara mereka memanggil seorang gadis yang duduk di kursi tinggi tepat di depan para barista bekerja. Dia mengunakan apron hitam persis seperti mereka. Aku rasa ia staff baru disini. Dan benar saja, mereka memperkenalkan gadis itu sebagai staff baru. Aku cukup dekat dengan pekerja di Café ini, aku cukup sering ke tempat ini hanya untuk minum kopi atau menenangkan diri.
Awalnya aku tidak terlalu memperhatikan gadis itu, hingga akhirnya Alan yang sedang sibuk membuat kopi memanggil namanya dengan sebutan "sayang". Tidak, jangan berpikir aku patah hati. Karena aku tidak semudah itu runtuh. Mengingat terakhir kali, Alan mengajak ku untuk memilihkan kemeja yang akan ia gunakan ke tempat kursusnya. Aku rasa kami terlalu dekat untuk tidak di sebut pacar.
"Kopi apa hari ini?" Alan tiba-tiba mengacaukan lamunanku. Melihatku sedikit kaget, ia bertanya lebih lanjut. Tapi aku menghiraukanya.
"Kopi seperti biasa saja" tanganku sedang sibuk mengeluarkan tab dari tas, aku berniat menyelesaikan pekerjaanku. Tapi sepertinya mimik wajahku tak bisa ku sembunyikan, dan anehnya kali ini Alan memilih untuk diam.
Waktu berlalu dan Café mulai ramai, biasanya ini waktunya aku untuk pulang. Sebagai seorang introvert aku sedikit kurang nyaman dengan keramaian. Tapi sore ini aku memilih untuk tetap duduk dan memeperhatikan tangan Alan membuat keajaiban di tiap cangkir. Telingaku pun sibuk mendengarkan podcast kegemaranku.
Tiba-tiba Alan menoleh dan tatapannya menusuk tepat kedalam bola mataku. Karena merasa terintimidasi, aku mengalihkan pandangan dan kembali sibuk dengan pekerjaanku. Walau tak melihatnya tapi aku tahu Alan mendekat. Dia melepas headphone yang bertengger di telingaku.
"Vina, ada yang aneh darimu, apa ada yang mengganggumu?" aku hanya melihatnya polos dan menyakinkannya bahwa aku baik-baik saja. Seperti biasa, Alan menaikan satu alisnya dan menyilangkan tangannya. Biasanya setelah ini dia kan mengacak-acak rambutku dan mencubit pipiku. Tapi lagi-lagi kali ini berbeda, Alan malah mengangkat bahu dan kembali sibuk. 'aneh' batinku. Aku kembali menyibukkan diri dengan menyelesaikan pekerjaanku, seolah hatiku baik-baik saja.
Beberapa waktu kemudian ada seorang gadis yang duduk di sebelahku. Aku tak menyadari keberadaannya sebelum ia berteriak dan semua orang melihat kearah kami. Aku sangat terkejut.
"Kamu keren ya Vin! Kamu yang buat gambar ini? Ini untuk apa?" aku pun buru-buru menenangkannya, aku benci menjadi pusat perhatian.
Namanya Dani, gadis yang baru saja ku kenal beberapa jam lalu dan yang membuat pikiranku dipenuhi pertanyaan tentangnya. Dari penampilannya, aku menilai dia berasal dari keluarga yang berada dan gadis yang ceria, bertolak belakang denganku yang lebih memilih banyak diam dan berdandan seadanya.
"Dani jangan gangu Vina!" suara dari depan kami menegur Dani karena membuat sedikit keributan. Tapi wajahnya tetap sejuk di pandang walau dia mengerutkan alisnya.
Dani lalu tersenyum dan Alan membalasnya. Sangat jelas bahwa ini berbeda dari biasnya. Alan bukanlah orang yang mudah tersenyum pada setiap gadis. Kepalaku semakin berat dengan pikiran yang tidak pasti. Sesak.
"Vina gimana kalo kita berteman?" Dani lagi-lagi mengejutkan ku tapi aku hanya diam. Ia memberikan ponselnya. Ia meminta berteman di sosial media. Aku rasa itu tidak masalah. Hingga aku melihat profil sosial medianya. Itu foto Alan.
Kali ini hatiku benar-benar hancur sampai jadi bubuk. Aku hanya bisa menciptakan senyum paslu di depan Dani. Tapi saat Dani kembali ke pekerjaannya, aku segera membereskan mejaku dan bergegas pulang. Baru saja berbalik, Alan menahanku. Sial.
"Kok cepet, kita bahkan belum bicara" aku mengingit bibir bawahku. Aku rasa ini kali terakhir aku bisa mendengar sura dan meilhat senyum indahnya itu.
"Iya nih aku harus istirahat nanti malam lembur" Alan perlahan melepaskan tangannya. Aku melambaikan tanganku dan berlari kecil kearah parkiran.
Langit jingga berubah menjadi gelap dan air sang kuasa turun bersamaan dengan air mata yang pertama kali jatuh karna patah hati. Aku rasa aku cukup bersyukur karna kamu orang pertama yang bisa membuatku jatuh cinta dan kamu orang pertama yang mengajarkanku apa artinya terlalu berharap . Terima kasih Alan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My First
Teen FictionSenyum manisnya hari itu mengubah semuanya. Tapi kini aku mengerti posisiku dan aku pergi saja. Terimakasi.