1: Mimpi Buruk

18 2 0
                                    

Kia memperhatikan kedua orangtuanya dengan dahi berkerut bingung. Tidak seperti biasanya, suasana pagi yang biasa disambut dengan pelukan dan guyonan hangat dari ayah dan keluhan dari ibu karena ayah selalu membuat lelucon yang tidak lucu menghilang. Awal hari yang sunyi, suasana yang canggung, membuat Kia merasa sedih dan takut. Dia belum pernah melihat kedua orangtuanya yang saling diam seperti ini, tampak lebih mementingkan diri mereka masing-masing.

Tangis Nisaka mengalihkan kebingungan Kia untuk sesaat. Dia segera memberikan botol susu pada adik kecilnya yang baru berumur 4 tahun. Gadis kecil manis, pelengkap dunia Kia yang sempurna.

Pelan-pelan, Kia mengembalikan perhatian penuhnya pada Ibu dan Ayah. Kedua orang dewasa itu masih diam, sampai akhirnya Kia mendengar Ibu bersuara, mengucapkan sesuatu yang tidak bisa Kia mengerti.

"Aku sudah berusaha keras, Mas. Tapi, semua ini gak akan pernah berhasil. Sejak awal aku sudah yakin kalau ini, kita, gak akan berhasil."

"Seenggaknya, kamu pikirin perasaan anak-anak. Mereka masih terlalu kecil untuk jadi korban keegoisan kamu itu."

"Aku gak pernah merencanakan punya anak sama kamu. Kamu yang ngejebak aku dari awal, Mas. Seandainya, kamu mau dengerin aku dari dulu. Anak-anak itu gak mungkin ada. Mereka gak bakalan jadi korban dari tingkah kita."

"Tingkah kita? Tingkah kamu, maksudnya? Kamu adalah wanita bersuami, Lenor. Seharusnya kamu tahu mana yang boleh dan gak boleh kamu lakukan. Bos kamu cuma belum sadar, kalau wanita yang ia jadikan simpanan ini gak lebih dari monster yang rela mengorbankan kehidupan anak-anaknya demi uang."

"Terus aja gitu, Mas. Aku ngelakuin ini karena kamu gak bisa menuhin tugas kamu sebagai suami. Aku berhak memilih kebahagiaan aku sendiri. Ini hidup aku."

Setelah teriakan-teriakan itu, Ibu pergi meninggalkan Ayah yang terpekur di ruang makan. Kia meninggalkan Nisaka yang kembali tertidur lelap untuk mengejar Ibunya yang telah menyalakan mobil dan bahkan tidak sedikitpun mau menoleh kearahnya. Padahal Kia yakin Ibu mendengar suaranya.

Napasnya terengah-engah, air mata mengalir dari sudut matanya. Kia tidak mengerti kenapa Ibu tampak begitu marah pada Ayah. Dia belum pernah melihat kedua orangtuanya bertengkar dan berteriak satu sama lain seperti itu.

"Nak.."

Kia membalikkan tubuhnya. Ayah berjongkok untuk menyamai tinggi mereka. Pahlawannya itu tersenyum kecil, menghapus air mata Kia.

"Jangan nangis dong, Teddy Bear. Nanti hilang cantiknya, Cendikia."

"Ibu mau kemana, Yah? Kenapa Ibu gak peluk Kia dulu sebelum pergi?"

"Ibu gak bisa tinggal dengan kita lagi, Sayang. Sekarang hanya ada Ayah, Cendikia, dan Nisaka. Semuanya akan baik-baik saja."

"Tapi, kenapa, Yah? Kenapa Ibu gak tinggal sama kita lagi?"

"Nanti, waktu kamu sudah lebih dewasa, Ayah akan menjelaskan semuanya. Jangan pernah membenci Ibu ya."

Kia memeluk Ayah dengan erat. Seolah berusaha untuk memberikan kekuatan pada cinta pertamanya itu. Kia bisa merasakan pundaknya basah. Ayah menangis. Pria yang sangat Kia cintai ini menangis dan ini semua karena Ibu.

"Semuanya bakalan baik-baik saja, Teddy Bear. Kita bakal ngelewati ini sama-sama. Kamu, Nisaka, dan Ayah."

**

Matanya nyalang menatap langit-langit kamar dengan nuansa cream lembut ini. Napasnya berderu keras, keringat membasahi tubuhnya. Kia meraih botol minumnya dan menegak air putih pada botol kuning itu hingga tandas. Dia mengubah posisinya menjadi duduk di atas tempat tidur. Gadis itu menghela napas panjang, berusaha untuk menghilangkan sisa-sisa mimpi buruknya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 13, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Resonansi JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang