Livia merasa selama ini hidupnya tidak pernah berarti, 23 tahun sudah dilalui dengan sangat berat. Bahkan dia sudah 4 kali mencoba untuk bunuh diri dan 2 kali menemui psikiater.
Bukan tanpa alasan dia melakukan hal tersebut, bukan karena dia tidak dekat dengan tuhan juga. Tapi mentalnya dijatuhkan dan dihancurkan oleh seseorang yang disebut "ibu".
Saat kecil Livia gadis ceria yang bisa dibilang cukup pintar. Tapi, semuanya tampak percuma saat tidak ada apresiasi ataupun dukungan dari orang terdekatnya. Ibu Livia selalu membandingkannya dengan anak tetangga, bahkan untuk hal kecil.
Disekolah, tepatnya saat sekolah dasar, Livia cukup berprestasi dengan selalu menjadi juara kelas. Livia juga aktif mengikuti ekstrakulikuler tari tradisional bahkan terpilih menjadi perwakilan sekolah untuk Olimpiade Matematika-Sains kategori dasar tingkat kota. Walaupun tidak menjadi juara tetapi setidaknya hal itu sudah membanggakan.
Tapi yang diterimanya adalah kata-kata yang menyedihkan.
"Alah, nggak jadi juara apanya yang mau dibanggakan?" tanya ibu Livia saat itu.
Saat memasuki jenjang menengah pertama, Livia kembali merasa lebih tertekan karena tidak berhasil masuk di sekolah favorit di kotanya. Sedangkan Alisa, anak tetangga yang selalu menjadi pembanding berhasil masuk di salah satu sekolah favorit.
Bagi Livia, sekolah manapun sama baiknya dan dapat mencerdaskan tergantung bagaimana kita menerima pelajaran yang diberikan. Tapi tidak bagi ibunya.
Tapi Livia bertekad membuktikan kepada ibunya bahwa sekolahnya sama bagusnya dengan sekolah favorit yang dibanggakan oleh ibunya itu.
Tekanan yang diberikan ibunya tidak berhenti ketika Livia berhasil menjadi juara 3 dikelasnya. Tapi ibunya kembali menuntut hasil lebih di semester berikutnya.
Livia harus menghadiri 2 kali tambahan pelajaran, sepulang sekolah dan juga malam hari. Durasi tambahan pelajaran Livia cukup panjang, bahkan rasanya Livia kekurangan jam istirahat.
Livia pulang sekolah jam 2 siang dan langsung menuju tempat les dengan mengayuh sepedanya. Pelajaran tambahan selesai di jam 4.30 sore. Mandi, makan dan istirahat sebentar sebelum melanjutkan untuk tambahan pelajaran kedua yang dimulai dari jam 7 dan selesai jam 10 malam. Dan kegiatan ini berulang setiap hari.
Livia akhirnya menjadi siswa yang tertutup dan kerap berbuat kasar, bahkan hanya karena masalah kecil dia tak segan membentak atau memukul temannya. Hingga selalu berakhir di ruang konseling.
Livia melakukan hal seperti itu tak lain hanya untuk menyalurkan rasa kesal yang selama ini dia pendam sendiri.
Hingga sampai saat dia melanjutkan sekolah dijenjang kejuruan. Awalnya Livia tidak ingin bersekolah disana tapi lagi-lagi ibunya memaksakan Livia untuk melanjutkan sekolah di sekolah kejuruan pilihan ibunya.
Kehidupan sekolah Livia dijalani seperti pada umumnya, tidak ada yang spesial karena Livia menjadi lebih tertutup daripada sebelumnya. Dia hanya akan berbicara jika ada yang bertanya padanya.
3 tahun dilaluinya dengan lancar, tapi Livia tidak menyangka bahwa kehidupannya setelah lulus sekolah adalah kehidupan yang lebih mengerikan dari sebelumnya.
Setelah lulus sekolah, Livia mendaftar jalur prestasi di salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa tengah untuk fakultas sejarah. Tapi, usaha Livia agar bisa masuk di perguruan tinggi tersebut pupus saat ibunya mengatakan bahwa kuliah hanya buang waktu dan buang uang.
Livia terus membujuk orangtuanya terlebih ibunya untuk mengijinkan Livia kuliah tapi hasilnya nihil. Hingga akhirnya Livia menyerah dan memilih untuk mencari pekerjaan.
Beberapa bulan kemudian, Livia bekerja disebuah pabrik tapi karena dirasa dirinya tidak akan berkembang jika pekerjaan yang dilakukannya sebatas dengan mesin dan lain hal, Livia akhirnya memutuskan untuk berhenti.
Saat mengetahui Livia berhenti dari pekerjaannya, ibunya marah dan mengatakan hal-hal yang tidak seharusnya didengar. Walaupun sudah terbiasa dengan kata-kata menyakitkan tapi entah kenapa Livia merasa tidak terima dengan perkataan ibunya.
Livia akhirnya berusaha mendapatkan pekerjaan apapun agar dirinya tidak mendengar kata-kata menyakitkan dari ibunya lagi.
Dia bekerja sebagai kasir disalah satu agen besar. Pekerjaannya lumayan santai dan Livia suka dengan pekerjaannya yang sekarang. Tapi, pemilik usaha tersebut semakin menambah pekerjaan Livia bahkan antar jemput anak-anak bosnya sekolah.
Satu tahun lebih Livia bertahan dengan pekerjaannya, hingga saat dirasa pekerjaan yang dilakukannya dengan gaji yang diterima tidak sesuai, Livia memilih untuk berhenti.
Hingga beberapa bulan kemudian, Livia diterima bekerja disalah satu perusahaan pembiayaan. Tapi lagi-lagi ibunya mengatakan bahwa pekerjaan dan penghasilan Livia tidak lebih baik dari Alisa.
Selama bekerja, Livia terus menerus mendapat tekanan dari berbagai sisi. Dari atasan, dari keluarga bahkan dari teman dilingkungan kerjanya.
Hingga disuatu hari, saat baru saja pulang kerja karena merasa sangat lelah Livia membaringkan tubuhnya berharap punggungnya merasa lebih relax. Tiba-tiba saja ibunya marah dan menyiram Livia yang barusaja memejamkan mata.
"Dasar malas, tidur aja bisanya. Nggak lihat rumah kotor bla bla bla....."
Telinga Livia mulai berdenging dan kepalanya pusing saat mendengar suara ibunya yang terus saja mencecarnya dengan makian.
Tanpa bicara sepatah katapun, Livia berdiri mengganti baju dan langsung membersihkan rumah.
Amel, adik Livia yang baru saja pulang dari les juga tak luput dari amukan ibunya bahkan sampai dipukul dengan gagang sapu. Tapi Amel berani melawan dan membuat ibunya terdiam.
Tapi kemudian, ibunya keluar dan sedang duduk bersama para tetangga. Samar terdengar ibu Livia tengah mempermalukannya dengan mengatakan bahwa Livia anak yang tidak berguna dan menyusahkan.
Sakit hati, tentu saja.
Semakin hari Livia menjadi seseorang yang dingin, tidak memiliki empati dan seakan hatinya sudah mati. Livia juga menjadi seorang yang penuh amarah dan dendam.
Percobaan bunuh dirinya yang pertama terjadi saat dirinya baru saja bertengkar dengan ibunya dan para tetangga yang ikut menghakimi Livia dengan kata-kata jahat.
Dimalam yang dingin Livia keluar rumah tanpa membawa jaket dan memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Di bayangannya sekarang hanyalah celaka entah tertabrak atau dirinya yang menabrak dan mati disaat itu juga.
Hingga tengah malam, Livia masih belum kembali dan berada diatas jembatan dengan tatapan kosong kejalanan yang ada dibawahnya.
Ayah Livia cemas dan berusaha meminta bantuan pada beberapa anak muda dilingkungan sekitar untuk mencari dan membawa Livia pulang.
2 jam berlalu, dan akhirnya beberapa orang berhasil menemukan Livia masih terpaku ditempat yang sama.
Saat sampai dirumah, Ayah Livia memeluknya, meminta maaf dan berharap Livia melupakan apa yang sudah terjadi. Livia tidak menjawab dan berlalu begitu saja menuju kamar dan bersiap tidur.
Selang beberapa bulan, kakak Livia membuat ulah dan berakhir Livia yang menjadi sasaran amukan ibunya. Tetangga sebelah rumahnya juga kembali ikut campur dengan menertawakan Livia.
Ibunya juga selalu mengungkit kesalahan Livia di masa lalu bahkan menambah beberapa cerita palsu untuk diumbar ke tetangga yang tidak sengaja mendengar keributan itu.
"Memang anaknya yang keterlaluan, nggak ngerti sama orangtua, bisanya cuma bikin marah. Bahkan Livia itu nggak pernah kasih uang ke ibunya" ujar tetangga Livia.
Di dalam kamar, Livia membatin "tau apa kalian tentang hidupku?"
___________________
Tbc...
KAMU SEDANG MEMBACA
Life
Non-FictionKetika rumah bukan lagi tempatmu pulang, dan orang yang kau panggil "Ibu" bukan lagi pembawa surgamu.