Temaram lampu petromak membelah jalanan kampung . Sinarnya mampu menjilati sisi kanan dan kirinya. Sementara rumah-rumah yang berdiri kokoh tampak gelap. Tubuh kering yang dibalut jas hujan lusuh menantang derasnya guyuran hujan di malam itu. Sandal jepit yang tipis menjadi bukti seberapa jauh dia berjalan untuk mencari nafkah. Didorongnya gerobak bakso yang masih tersisa banyak, Tak peduli jemarinya kian kisut, bibirnya gemetar, dia tetap melangkah di antara gigil yang menusuk hingga sumsum.
“Semoga hujan malam ini penuh dengan berkah,” lirihnya penuh harap.
Sesekali dia memukulkan sendok ke mangkuk hingga menimbulkan bunyi 'ting' sebagai tanda memanggil pembeli. Barang kali ada yang tergoda atau merasa lapar di tengah lebatnya hujan. Meski terkadang ada orang yang memilih bergelung di bawah selimut, seperti saat ini. Jika dihitung, entah sudah berapa kilo dia berjalan sedari sore tadi, tapi yang pasti sampai detik ini hanya laku dua mangkuk saja.
Dua minggu terakhir penjualan bakso Karto menurun drastis. Biasanya dia berangkat jam empat sore akan pulang jam sembilan malam, dipastikan baksonya ludes. Kalaupun belum, paling hanya tersisa lima sampai tiga mangkuk, dan itu dibagikannya pada tetangga kontrakan. Namun, berbeda akhir-akhir ini Karto bahkan menambah rute perjalanannya dan itu, yang sama artinya membuat dia pulang lebih lama. Berangkat seperti biasa dan pulang jam sebelas sampai dua belas malam atau nyaris tengah malam, itu pun laku paling banyak sepuluh porsi. Jika begini terus sudah dipastikan jualannya akan bangkrut. Modal tidak kembali, tabungan ludes, yang ada malah hutang di mana-mana.
Malam kian larut, hujan lebat pun mulai sedikit reda. Ternyata lampu-lampu rumah di komplek ini pun sudah mulai padam, hanya lampu merkuri di sudut-sudut jalan satu-satunya penerangan. Di tengah gigil dia masih berharap ada secerah rezeki.
“BAKSO!”
Tiba-tiba terdengar teriakan seorang laki-laki, Karto celingukan mencari asal teriakan tersebut. Dia berharap semoga saja bukan makhluk astral yang sengaja iseng. Setelah mencari ke belakang, ke samping, kanan dan kiri. Ternyata orang itu berada kira-kira tiga meter di depan Karto. Helaan napas lega keluar begitu saja. Akhirnya Karto mendorong gerobaknya ke arah orang tersebut.
Ah, ternyata yang memanggil adalah Agus sahabatnya sendiri mulai dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas, sekaligus pelanggan setianya. Hampir setiap hari Agus selalu membeli dagangan Karto. Seperti biasanya, Agus berdiri di depan rumahnya, kali ini sambil memegang payung.
“To, satu porsi, ya. Kaya biasanya,” katanya setelah Karto berada di hadapan.
Agus berbalik tanpa menunggu jawaban Karto, langsung melenggang masuk kehalaman rumahnya. Lalu duduk di teras sembari memainkan gawai. Karto sudah sangat hafal pesanan Agus, bakso tanpa kubis, tanpa saus, tanpa daun seledri, dan satu sendok sambal. Dengan lihai tangan Karto meracik pesanan Agus dan setelah selesai, buru-buru masuk ke halaman, menuju teras rumah Agus untuk mengambil payung dan kembali ke gerobaknya, barulah setelah itu dibawanya bakso pesanan Agus.
“Ini, Pak.” Karto menyodorkan mangkuk yang berisi pesanan Agus dengan badan sedikit membungkuk.
Karto memang selalu sopan pada siapapun, meski Agus sabahatnya Karto memanggilnya 'Pak atau Bapak'. Melihat bakso yang sangat menggiurkan, Agus menyimpan gawainya dan menerima mangkuk yang disodorkan ke arahnya.
“Mau ke mana, To?” tanya Agus ketika melihat Karto berbalik badan.
Agus sudah tahu tabiat sahabatnya itu. Karto takut teras Agus menjadi kotor karena jas hujan yang dipakainya, “Wes, duduk sini aja.”
“Tapi, Pak nanti kotor,” jawab Karto. Benar kan felling Agus.
“Ngak usah dipikirkan. Duduk sini aja!” Agus menunjuk tempat yang ada di sebelahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pecinta Nikmat Dunia (Tumbal Ular)
HorrorKarto berpikir, uang bisa membeli kebahagiaan keluarganya. Usaha sebagai tukang bakso keliling selama tiga tahun belakangan ini yang dirintisnya nyaris bangkrut. Tak rela hasil jerih payahnya hangus dan tak ingin anaknya hidup sengsara. Akhirnya mem...