Bu Nia?

3 0 0
                                    

Ternyata hal itu tidak membuat Bu Nia berhenti mengorek informasi tentang Karto dan menyebarkannya seluas mungkin. Hal ini supaya Karto merasa malu dan tidak ada lagi yang mau menerima kebaikannya. Akhirnya, tentu saja sudah bisa ditebak, orang kembali meminta tolong pada Bu Nia dan dia akan kembali berjaya seperti dulu. Bu Nia sudah bosan hidup susah, dia ingin kembali membangun bisnis lintah daratnya seperti dulu. Bu Nia akan datang bak malaikat penolong, menawarkan pinjaman uang berapa pun yang diperlukan. Lalu sebulan kemudian dia akan bak malaikat pencabut nyawa, menagih pinjaman itu dengan bunga yang berlipat-lipat bahkan tiada akhirnya. Begitulah cara culas Bu Nia menjatuhkan orang lain agar dirinya bisa terbang.

Di ruang meja kerjanya, Karto terpekur. Tubuhnya duduk di kursi kebesarannya, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Dia mendengar rumor demi rumor Bu Nia sebar, berharap dimakan oleh umpannya. Karto mau reputasi bagusnya tidak rusak karena kelakuan Bu Nia. Jangan sampai ada yang tahu apa yang sudah dia lakukan pada orang-orang itu.

Kegelisahan menyerapnya, perlahan, tapi pasti hingga kepalanya berdenyut. Dia tidak mungkin berdiskusi dengan Minah karena pasti tidak akan memberi jalan keluar, yang ada malah bertengkar seperti yang sudah-sudah. Karto tak bisa berdiskusi dengan teman-temannya karena sama saja seperti bunuh diri. Ini rahasia yang hanya dia dan istrinya yang tahu, jangan sampai orang lain tahu.

“Apa yang harus aku lakukan?” lirihnya lelah, tangannya memijat kepalanya yang berdenyut.

Terlintas pikiran akan mengancam Bu Nia atau memberinya segepok uang agar tutup mulut. Namun, justru itu akan menjadi boomerang padanya. Hal itu sama saja membenarkan apa segala tuduhannya. Dalam pikiran kalutnya, tiba-tiba dia teringat Agus, sahabat yang pernah menariknya ke lubang kelam ini.

“Ah, lebih baik aku ke rumah Agus.” sambil beranjak dari kursi putar kesayangnya dan mengambil kontak mobil yang tergeletak di meja.

Dia berjalan cepat dari ruang kerjanya menuju ruang tamu, di sana ada pintu samping yang menghubungkan langsung ke car port. Namun, saat Karto membuka pintu dia berpapasan dengan Minah yang akan memasuki rumah.

“Aku keluar dulu,” pamit Karto pada Minah.

“Iya, hati-hati, Pak,” jawab Minah sambil mengamit tangan Karto dan menciumnya.

Minah tetap menghormati Karto sebagai imamnya. Tetap patuh akan perintahnya selama itu tidak melenceng aqidah. Tetap melayaninya sebagai bakti seorang istri. Hanya saja jika berurusan dengan peliharaan Karto, Minah akan menentang habis-habisan atau untuk saat ini dia lebih memilih diam.

Mobil mewah keluaran terbaru itu melaju dengan  cepat. Membelah jalanan yang lengang, hanya ada beberapa kendaraan. Jelas saja karena belum jam makan siang. Kebanyakan para pekerja sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

Lima belas menit kemudian Karto sampai di depan rumah Agus. Rumah besar yang dulu sekali, sempat membuat Karto takut untuk masuk saking besarnya. Dia minder akan kehidupan Agus kala itu. Namun untuk saat ini rumah Karto tak kalah besar dan luas.

Tiga kali bel ditekan, akhirnya si pemilik rumah keluar.

“Loh, Karto. Ayo, masuk!” tangan Agus membuka pintu pagar dan mempersiapkan Karto masuk. “Ada hal penting? Mukamu kusut sekali.”

Karto masuk dan menjawab pertanyaan Agus dengan senyuman. Sebagai teman  Agus bisa membaca gelagat Karto yang sepertinya sedang  dirundung masalah. Dia membawanya ke ruang kerja agar leluasa bercerita.

“Ada apa?” tanya Agus sekali lagi.

“Begini, kamu tahu Bu Nia si lintah darat?” tanya Karto.

“Rumahnya, di depan rumahmu itu?” Agus bertanya memastikan.

“Betul!” jawab Karto semangat. “Dia menyebar rumor tentangku dan orang-orang yang hilang, yang aku jadikan tumbal. Aku bingung dan ngak mau orang-orang di sekitar rumah mengetahui Kelakuanku.” Karto mendesah putus asa. “Apa yang harus aku lakukan, Gus?”

Pecinta Nikmat Dunia (Tumbal Ular)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang