#WinterWishes_1
Di jalan yang temaram itu, aku bergegas melangkah. Ingin cepat sampai di rumah lalu mengubur diri dalam selimut dan menangis semalam. Suhu tubuhku panas, meski di luar udara sudah mulai dingin. Sepertinya, musim gugur akan segera berakhir dengan tampaknya segitiga musim dingin yang mengabur di langit dan menggantikan musim gugur yang berangin ini. Aku menghela napas yang sesaknya tak jua hilang karena mengingat semua hal tentang kegagalanku sore tadi. Namun, tiba-tiba langkahku terhenti oleh seseorang yang berdiri tepat di hadapanku.
"Kau?" Bohong jika aku tidak terkejut. Lelaki berhodie dan bertopi hitam itu menyengir. "Enyahlah, aku ingin pulang." Tanganku mencoba menyingkirkan tubuhnya yang tinggi. Demi Tuhan, aku sedang tak ingin bertemu siapa pun saat ini.
"Aku lapar, temani aku makan, Teman," pintanya, selalu menganggu ketika aku ingin sendiri.
"Aku kenyang. Baru makan sepulang kerja tadi," kilahku, untuk menolak ajakannya. Namun, lelaki yang kukenal lebih dari 12 tahun itu tersenyum memamerkan barisan giginya yang rapi karena perutku cukup nyaring terdengar di malam yang sepi ini.
"Teruslah berbohong dan aku akan terus membuatmu jujur." Alih-alih marah, lelaki yang kupanggil Xiumin itu malah menarik pergelangan tanganku secara paksa dan mengapitnya di ketiak.
Aku sedang tidak dalam mood baik, ingin menangis, ingin marah pada diri sendiri, dan sekarang Xiumin sedang mencoba membuatku baik-baik saja? Cih, dia selalu seperti itu.
Sampai di kedai favoritnya, Xiumin memberiku semangkuk besar mi putih dengan kuah samgyetang plus sayuran pokcoy yang banyak. Tidak, aku tidak berniat memakannya meski lapar. Seleraku hilang.
"Hya, Nara-ya, semangkuk mi itu tidak bersalah. Ayo, makanlah. Menangis pun butuh tenaga. Setelah kau makan ini, kau boleh menangis."
Apa katanya? Tumben sekali membolehkanku menangis. Biasanya dia adalah orang paling tidak suka melihatku menangis.
"Perlu kusuapi?"
"Aku bisa sendiri." Kuambil sumpit dan mulai memasukkan mi dalam mulut.
Melihat Xiumin terus menatapku seperti itu, rasanya aku mulai hilang kendali. Aku tidak ingin menangis lagi di depannya, tidak ingin terlihat lemah dan tidak terus-terusan melibatkannya dengan persoalan hidupku. Namun, akhirnya air mata sialan ini lolos, tidak terbendung. Melihatku menangis pun Xiumin tidak melarang. Lewat mata yang setajam elang, temanku itu terus mengawasi. Tidak berniat menghapus air mata, menenangkan, atau memarahiku seperti biasa. Dia hanya melihatku. Itu saja.
Kami tak banyak bicara setelah meninggalkan kedai mi langganan Xiumin. Tak juga memutuskan pulang ke rumah lebih dulu untuk beristirahat.
"Aku bisa meminjamkan tanganku, jika kau terlalu lemas berjalan," katanya sambil menyodorkan telapak tangan besarnya. Lagi-lagi aku melakukannya. Berusaha mencari kekuatan dari lelaki itu, seolah-olah dengan begini aku akan tenang.
"Daun sudah tidak banyak yang gugur, tapi jalan masih dipenuhi daun kering. Ini indah, bukan? Woah, kita seperti pasangan sekarang," ujarnya sambil mengangkat genggaman tangan kami.
Aku memilih bungkam dan menutup mulutku dengan syal. Xiumin yang melihat itu menyunggingkan senyum esnya. Sialan.
"Aku pernah membaca sebuah buku berjudul Daun Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, dan kurasa memang betul. Mereka tahu bagaimana takdirnya jika musim berganti. Mereka akan mengering, rapuh dan mati. Bukan angin yang membuatnya meninggalkan ranting pohon, tapi takdir."
Pada bangku kosong di pinggir jalan, kami berhenti. Akhir musim gugur membuat jalanan ramai meski malam sudah merayap tiga jam lalu.
Ucapan Xiumin membuat ingatanku melayang pada sore tadi, ketika aku sabar menunggu di kursi jalan ini.