Cahaya di kamar sengaja kuredupkan untuk mengurangi rasa pusing pada kepala. Setidaknya agar bisa membuatku tidur beberapa jam lagi sebelum Hoseok dan Taehyung menjemputku. Kami ada janji melakukan siaran Vlive bersama, omong-omong. Akan tetapi, sungguh badanku remuk ditambah kepala pusing sejak semalam.Aku benar-benar ingin tidur! Namun, sesuatu yang kuanggap sebagai kesalahan, mungkin akan memberiku jalan baik. Ponselku tak henti berdering karena lupa membuatnya mode diam. Dengan kesal, kusahut elektronik pipih dari atas nakas dan hampir membuat gelasku menjadi serpihan beling.
"Hyung, aku ingin tidur," lirihku pada penelepon, Jin Hyung.
"Kau yakin mau tidur jika aku memberitahumu sesuatu, hmm?"
"Kami akan Vlive sore, Hoseok dan Taehyung akan menjemputku nanti. Jadi, sekarang aku harus ...."
"Kim Nara lulus cumlaude!" pekiknya di seberang. Hal itu cukup membuatku diam beberapa lama. Ah, Nara.
"Nara?"
"Heum. Pacarmu. Eh, ralat, mantan pacar."
"Kau tahu dari mana?"
"Yoongi-ah, kau lupa mertuaku adalah rektor kampus di mana Kim Nara kuliah? Hya! Kau harus membayar mahal untuk informasi ini." Kudengar Jin Hyung terkekeh. Dia selalu senang jika membicarakan uang, tapi aku tahu dia tak benar-benar memintaiku uang untuk informasi ini.
"Yoongi-ah, kau masih di sana?"
"E'eum, ya."
"Pengumuman belum dirilis. Kau bisa menjadi yang pertama mengucapkan selamat padanya."
"Apa menurutmu dia akan menerima ucapan selamat dariku setelah aku mencampakkannya?" Pertanyaanku dibalas dengan kekehan lebih keras dari Jin 'sialan' Hyung.
"Tentu saja."
"Benarkah?"
"Ya, tentu saja tidak. Sebaik apa pun perempuan, dia akan merasa harga dirinya jatuh jika dicampakkan. Apalagi dikhianati. Kau melakukan keduanya, Pabo!"
"Aish, kau ini."
"Tapi mungkin akan berbeda jika kau melakukannya untuk pertama kali."
Kupikir ucapan Jin Hyung benar. Aku memang bersalah telah menjadi ranting yang lemah. Membiarkan daun-daun layu gugur diterpa angin dan terbang jauh dari tempatku berdiri. Maka kuputuskan untuk mandi secepat yang kubisa, memakai pakaian berlapis untuk menghalau dingin dan segera melaju ke universitas.
Aku menelepon Taehyung, berkata bahwa aku harus ke kampus Nara untuk mengucapkan selamat atas pencapaiannya. Mungkin jika terlambat, mereka bisa pergi lebih dulu. Untung Taehyung mengingatkanku agar membawa buah tangan sebelum bertemu Nara. Maka kubelokkan mobil ke toko bunga di jalan menuju kampus.
"Tak banyak bunga mekar di awal musim dingin. Kau mau satu kaktus?" tawar Bibi penjual. Aku berpikir sejenak memikirkan alternatif lain.
"Ahjumma, ini untuk hadiah kelulusan. Aku khawatir dia akan terluka karena durinya."
"Ini Schlumbergera, kaktus paskah biasa orang menyebutnya. Bunganya masih beberapa, tapi akan tumbuh cantik jika dirawat."
Tak banyak memilih lagi, akhirnya kubayar kaktus paskah berbunga putih itu. Mengingat bahwa Nara adalah orang yang jarang berada di rumah, maka kupikir kaktus adalah tanaman yang pas untuknya. Toh, kaktus paskah tidak berduri banyak. Aku memacu kemudi sedikit lebih cepat. Tak sabar rasanya segera ingin menjadi orang yang pertama memberi selamat padanya.
Pukul sembilan pagi, di kampus belum ada banyak mahasiswa datang. Mereka berkumpul di aula tengah tiap fakultas untuk melihat hasil kerja keras mereka selama bertahun-tahun. Beberapa ada yang turut datang bersama orang tuanya, adiknya, kakaknya, atau pacarnya. Mereka tampak tidak sabar. Sementara aku memutuskan berdiri dan menunggunya di undakan kecil menuju aula tengah.
Pikiranku berkelana pada gadis itu. Gadis yang membuatku terus merasa bersalah karena mengamini semua rumor yang beredar. Harusnya aku bersabar sedikit saja. Harusnya aku selalu menemaninya saat suka duka dan melihat hal yang paling ditunggunya seperti sekarang. Betapa dia sangat berharap aku akan menemaninya ketika dia lulus nanti, makin membuatku nelangsa. Dia tidak memiliki siapa pun untuk diajak datang pada acara yang melibatkan orang tua.
Tak lama setelah itu, netraku menangkap sosoknya. Dia tergopoh berlari ke fakultasnya seorang diri. Aku bersiap menyambutnya dengan pot kaktus yang kubawa. Namun, belum selangkah aku ingin pergi, seseorang datang dan memeluk Kim Nara dengan bahagia. Di tangannya ada boneka nanas besar, dan lebih membuatku lemas adalah ekspresi Nara yang tertawa lebar. Mereka tampak bahagia.
"Yeay! Kau lulus juga," pekik lelaki yang kutahu bernama Minseok-teman dekat Nara sejak di panti asuhan dulu-meski tak yakin disebut apa hubungan mereka sekarang. Lelaki bermata tajam itu merangkul Nara dengan sangat gembira sambil melempar lelucon yang membuat gadis itu tertawa. Aku meringis, mengingat bahwa Nara tidak pernah tertawa selepas itu ketika bersamaku.
"Xiumin-ah, aku belum tahu nilaiku. Aku harus melihatnya dulu baru kau beri boneka nanas ini." Kudengar mulutnya bersuara.
"Tinggi atau rendah tidak masalah. Kau sudah berusaha keras selama ini. Yang penting, aku datang untuk memberi ucapan selamat."
"Ahhh, aku terpukau. Gomawo." Dan gadis itu memeluk Minseok dengan sangat erat.
Aku iri. Aku ingin menempati tempat Minseok berada. Aku ingin tertawa dan bertatapan dengan Nara seperti itu. Bukan malah berdiri bodoh melihat mereka dengan hati yang perih seperti ini.
Jika tahu akan tersulut, harusnya aku tidak bermain api. Kini percikannya mengenai hati, panas, terbakar dan mulai mengabu di dalam diri.
Serpih salju pertama menjadi saksi, di sinilah aku berdiri sendiri di antara lalu lalang orang yang bahagia dan menjadi sosok paling getir. Rasanya Tuhan menghukumku lebih cepat dari yang kukira.