Sheena mengatur nafasnya. "Ini waktunya kerja ... kerja ... kerja ...," berkali-kali Sheena harus mensugesti dirinya sesaat jam kantor sudah dimulai.
Kejadian di warung kopi tadi sudah menguras batas sabarnya. Sheena memilih kembali ke kota ini tidak untuk mengulang masalah lama. Hanya ingin memperbaiki kehidupannya yang sempat hancur karena depresi ditinggal tunangannya.
Empat tahun yang lalu, semua rencana indah mereka, yang tersusun rapi, harus hancur begitu saja dengan kehadiran seorang perempuan manis yang mengaku istrinya Arman. Menurut pengakuan perempuan tersebut, mereka sudah menikah sirri dan saat itu sedang hamil tiga bulan. Anaknya Arman! Kedua pihak keluarga langsung ribut. Arman yang diminta keterangan menepis pernyataan perempuan tersebut, bahkan menuduh perempuan itu sudah berbohong dan hendak menumbalkan dirinya. Berkali-kali, Arman mendatangi Sheena, membujuknya dan merayunya agar tidak terpengaruh oleh pernyataan perempuan yang mengaku istrinya itu.
"Kamu sabar, ya, Sheen! Aku akan menyelesaikan semuanya. Kamu fokus sama persiapan pernikahan kita, ya," pinta Arman waktu itu.
Tapi ternyata cara Arman menyelesaikan masalah adalah dengan meresmikan pernikahannya dengan perempuan, yang sekarang sudah menjadi istrinya. Di mata hukum, mereka sah menjadi suami-istri.
"Aku terpaksa, Sheen .... Jika tidak begitu, abang-abangnya akan membunuhku," ujar Arman memelas.
Sheena terluka dalam. Lelaki pertama yang diharap menjadi lelaki terakhirnya, ternyata brengsek.
"Jadi itu memang anak kamu, Ar?"
Arman diam, menekur tanpa sanggup menjawab.
"Brengsek kamu, Ar!" maki Sheena. Tangisnya luruh. Sesak di dadanya tidak tertahankan lagi.
Seumur-umur baru kali ini Sheena menangis karena seorang lelaki. Dan itu pun karena dia ditipu.
"Selama ini kamu tampil layaknya pria baik-baik. Ga pernah pacaran katamu? Lalu selama ini perempuan itu apamu sampai kamu harus dipaksa menikahinya?" Sheena meradang. Ingin rasanya dia menghajar pria di hadapannya ini. Jika tidak mengingat mama Nurul yang merupakan teman baik mamanya, pasti Sheena sudah tidak segan sekedar melayangkan tendagngan harimau dan terkaman harimau lapar untuk meremukkan Arman. Atau untuk sekedar melegakan perasaan sakit di paru-parunya yang terasa memilin keras.
Harusnya dengan melampiaskan amarahnya begitu, Sheena tidak bakalan merasakan yang namanya depresi. Karena menahan emosinya lah Sheena merasa hancur sejadi-jadinya.
💮💮💮💮💮
"Sheen, print-an kamu kelar, tuh!" Tegur Adam menyebabkan lamunan Sheena berhenti.
"Fokus, Sheena! Fokus...!" Batinnya lagi mensugesti diri. Langkahnya bergegas menuju tumpukan kertas NCR yang sudah menumpuk di depan printer.
Di bentangnya beberapa lembar kertas laporan pajak yang harus disusunnya per warna kertas dan per lembar tanggal transaksi. Adam yang berseberangan meja kerja dengannya diminta untuk tidak menganggunya selama beberapa jam ini. Banyak data pajak yang harus diurusnya. Satu tali headset sudah mencangklong di telinga kiri Sheena, melantunkan irama menghentak dengan playlist sejenis. Tentang perjuangan untuk menghargai diri sendiri.
Kertas putih, kertas kuning, kertas pink, kertas hijau dan kertas biru. Satu per satu berhasil menumpuk meja kerja Sheena untuk diperiksa ulang sebelum dibagi sesuai kegunaannya.
"Dam, tolong cek tanggal 5 mei transaksi 275, deh!" seru Sheena pada rekan kerjanya sembari menyerahkan kertas pajak yang menurutnya perlu diperiksa tersebut.
Jemari Adam lincah mengetik keyboard mencari transaksi yang diminta Sheena.
"Sepertinya ada pph di sana, tapi lupa dipotong. Itu transaksinya ada jasa juga, kan?" Sheena menunjuk pada kolom keterangan produk di lembar pajaknya. Sementara Adam memeriksa kembali di kertas kerja miliknya. Mereka berdua sama-sama staff pajak, sementara detail pajak dikerjakan manager pajak sehingga Sheena dan Adam tidak ada kuasa mengubah data yang harus mereka kerjakan.
"Harusnya sih gitu. Bentar aku tandai dulu. Lu cek yang lain juga siapa tahu ada kejadian yang sama," ujar Adam menandai kertas kerjanya.
Satu tangan Adam sudah mengambil gagang pabx miliknya dan menghubungkan ke bagian keuangan. "Siang, mba ... gue minta tolong cek transaksi ...."
Sheena meninggalkan Adam dengan kesibukannya sendiri. Sembari masih mencek beberapa dokumen lainnya.
"Sheen! Mau makan siang bareng?" Sorak Yola dari meja kerjanya.
Sheena menggeleng, "Aku bawa bekal," jawabnya.
Makan siang bareng di kantin berarti harus membuatnya turun empat lantai dari gedung ini. Di gedung kecil ini, tidak ada lift. Jadi mereka harus naik-turun tangga untuk mencapai antar lantainya. Menghabiskan waktu dua puluh menit naik-turun tangga hanya untuk makan siang, berarti jam istirahat siangnya jadi berkurang sebanyak itu. Sheena memilih makan siang di meja kerja saja setelah menunaikan ibadah shalat zuhur. Kemudian menghabiskan waktu mengolah tugas kuliahnya sejenak sebelum jam istirahat siang habis. Beruntungnya dia bisa ikut kuliah pasca sarjana ekonomi di kelaa karyawan. Jadi jadwal kuliahnya tidak mengganggu jam kerjanya. Tapi tetap saja lelahnya berlipat-lipat dibandingkan di saat dia hanya bekerja saja.
💮💮💮💮💮
"Sheen!" Desah Arman. Sementara perempuan yang digaulinya sudah hampir mencapai klimaks. Entah siapa tadi nama perempuan ini, bagi Arman hanya terlihat wajah Sheena. Arman mempercepat gerakannya. Gairahnya memuncak dan sampai pada pelepasan.
Sheena!
Hanya Sheena perempuan yang terus membayangi pikirannya. Dan hasratnya hanya bisa dilampiaskan melalui psk-psk yang dibayarnya untuk semalam.
Semenjak hubungannya dengan Sheena hancur, kehidupan Arman terasa hambar. Arman hanya mengikuti arus tanpa tahu harus menjadi dirinya lagi. Semua hal yang dibenci Sheena, mulai dari merokok, minum, dan sex bebas, semua dikerjakan Arman.
Sheena tahu semua itu.
Pantas saja sekarang Sheena merasa jijik saat melihatnya.