***PAGI ini nampak cerah. Sinar mentari menelusup di sela sela pohon pterocarpus—yang basah seusai hujan tadi malam. Sementara aroma tanah basah yang masih samar samar tercium, mesin kendaraan mulai memadati jalanan di depan bangunan sekolah. Padat, seperti kegiatan Senin pagi pada umumnya.
'Kring'
Tak jauh dari pohon, gadis berkuncir kuda yang duduk di boncengan sepeda itu merenggut. Tak sabar untuk turun dari kendaraanya, yang mana membuat sang ayah tersenyum getir sambil meminggirkan sepedanya.
"Kenapa sih, Din?" Tanya sang ayah.
"Dinar ga mau berangkat lagi sama bapak. Dinar itu malu." Mata gadis itu melebar, marah. "Dinar malu berangkat pake sepeda pak."
"Temen temen Dinar semua udah bawa motor. Kalau engga pun dianter ayahnya pake mobil. Dinar pengen pak. Dinar pengen kaya mereka. Tapi sayang, bapak ga bisa ngasih apa apa."
Mata sang ayah memerah, menahan tangis. "Dinar nyesel jadi anak bapak."
Dan bagai disambar petir. Awan kelabu pun mulai pecah. Membasahi kulit kusam yang mulai keriput itu. Deras. Untuk setelah sekian lama, ayah Dinar kini menangis. Menatap punggung anak perempuannya yang kian menjauh.
'Apakah bapak seburuk itu untukmu, Din?'
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
DINAR (ON GOING)
Teen Fiction[On Going] "Kenapa aku tidak kaya raya?" "Kenapa aku tidak sempurna?" "Kenapa aku tidak bahagia?" Begitulah pertanyan pertanyan yang selalu muncul di benak gadis bernama Dinar. Ia selalu iri dengan kehidupan teman temanya yang terlihat kaya. Terliha...