The Bitter Cereal.
By. Aqila Izatul Rahman
Malam itu pukul 12 tengah malam seperti biasanya aku duduk di sofa menonton acara talk show TV kesukaanku sembari menyuap semangkuk sereal, satu-satunya sumber cahaya hanya TV yang menyala karena aku tidak ingin menganggu Lydia, teman se-apartmentku yang sudah tertidur lelap. Apartment kami tidak begitu luas, kamar Lydia berada di dekat dapur yang tidak jauh dari tempatku duduk sehingga aku harus mengecilkan suara TV dan mematikan lampu ruangan agar tidak mengganggu tidurnya. Lydia memang agak penakut sehingga ia selalu membuka pintu kamarnya setiap ia tidur dimalam hari dan aku pun harus melakukan hal yang sama untuk menenangkannya karena kamar kami berseberangan.
Aku merasa bahwa ketakukan Lydia sering mengada-ngada karena ia selalu meresahkan hal-hal yang aku yakin orang lain tidak akan lakukan kepadanya, seperti pada saat itu ia berkata bahwa seseorang mungkin mengikutinya disaat ia berjalan pulang dari swalayan dimalam hari dan disaat lain ia berkata bahwa sebuah nomor tak dikenal kerap menghubungi telepon selulernya namun tidak ada yang berbicara dari seberang. Kami telah tinggal bersama semenjak tahun awal kuliah jadi aku cukup hafal dengan paranoia Lydia yang makin hari makin menjadi-jadi. Biasanya aku mengalihkan topik pembicaraan segera setelah Lydia merasa paranoid untuk mengalihkan perhatiannya.
Satu jam berlalu sudah, acara TV mulai terasa membosankan dan sereal sudah mulai terasa hambar pada pukul 1 dini hari, aku putuskan untuk menaruh mangkuk berisi sereal ke tempat cucian piring. Aku lupa kapan terakhir kali aku mencuci piring, tumpukan piring-piring kotor ini mulai terlihat tidak menyenangkan dan baunya mengganggu tapi apa boleh buat aku agak sibuk beberapa hari belakangan ini. Sudah terlalu larut malam untuk mencuci piring kurasa jadi kuputuskan untuk menyemprotkan sedikit pengharum ruangan disekitar dapur, tentu wanginya akan masuk ke kamarku dan Lydia tapi tak akan menggangu tidurnya kurasa karena kau tahu kan bahwa satu-satunya indra yang tidak bekerja saat kita tertidur hanya indra penciuman.
Aku memutuskan untuk tidur di sofa malam ini karena merasa bosan tidur menghadap kamar Lydia yang pintunya terbuka tiap malam, aku bisa melihat mulutnya yang mengaga terbuka dari kasurku, kawan ku yang lugu. Aku ambil sebuah bantal, guling, dan selimut dari kamar ku kemudian menatanya senyaman mungkin untuk tidur di sofa. Aku membiarkan TV tetap menyala tanpa suara untuk menemaniku tidur malam ini.
Paginya seperti biasa, aku bangun pukul 8 kemudian mandi dan bersiap-siap pergi bekerja, ini libur semester jadi aku putuskan untuk mengambil pekerjaan sampingan sebagai koki disebuah kedai burger cukup jauh dari tempatku tinggal. Kawasan apartment tempat kami tinggal menjadi sepi karena libur semester ini, banyak siswa yang tinggal di kawasan apartment pulang ke kampung halamannya seperti Jack yang tinggal beberapa pintu dariku, Idaho ? mungkin Chicago ntah lah lagipula ia tidak banyak bicara. Aku berdiri di depan cermin sambil bersolek dan mengikat rambut kemudian melangkah keluar kamar, melihat Lydia yang masih terbaring di kasurnya dan tidak beranjak dari tempatnya semalam jadi aku putuskan membawa kunci saat hendak pergi dan menutup pintu kamarnya. Saat berada di depan pintu keluar aku mencium bau dari arah dapur yang semalam telah ku semprot dengan pewangi ruangan, harus ku bereskan sesegera mungkin, pewangi ruangan sudah tidak mempan dan aku harap tidak ada yang mencium bau itu dari luar selagi aku pergi.
Jam kerjaku mulai pada pukul 9 pagi hingga kedai tutup pada pukul 7 untuk beberapa hari kedepan karena aku harus menggantikan jadwal Amy yang pulang ke kampung halamannya karena ibunya sakit, ini libur semester jadi aku tidak keberatan lagipula si pemilik kedai membayarku dua kali lipat. Barney, si pemilik kedai adalah orang yang ramah untuk seorang lelaki berusia akhir 50-an dan ditemani anaknya, Bill yang berusia 21 tahun sebagai kasir andalannya. Jam demi jam berlalu, saatnya jam makan siang bagi para karyawan disaat tidak ada pelanggan, ya jam makan siang kami hampir sore, kau tahu kan risiko bekerja disebuah resto. Aku dan Bill duduk didepan kedai sambil menyantap makan siang kami sembari berbincang seperti biasa selagi Barney memperbaiki mesin pendingin minuman yang rusak.
Jam menunjukkan pukul 7 malam lewat 15 menit dan jam kerjaku berakhir, aku menyuci beberapa piring kotor dari beberapa pelanggan terakhir kami, mungkin karena ini Barney menyukaiku, aku merasa cukup rajin dalam bekerja. Ia memperhatikanku dari seberang meja kasir dan berkata "kau mengingatkanku pada kakaknya Bill, anak ku yang pertama, sifatnya mirip sekali denganmu" aku tersenyum kepadanya sembari berkata dalam hati "kurasa tidak, sama sekali tidak."
Bill mengunci pintu kedai sembari berkata kepadaku hati-hati dijalan karena hujan akan turun sebentar lagi dan jalan bisa menjadi sangat licin, kemudian kami berpisah saat berjalan pulang karena arah yang berlawanan. Seperti biasa aku menyetir mobil sambil mendengarkan lagu Stars Fell on Alabama, lagu kesukaan ku saat masih duduk di bangku SMA, tiba-tiba lampu indikator bensin berwarna merah menyala berkedip menarik perhatianku, aku putuskan menepi untuk mengisi bensin di SPBU terdekat. Saat mengisi bahan bakar dan hendak membayar di kasir, terlintas dikepalaku untuk membeli sekotak sereal yang terletak diantara rak-rak makanan ringan dan sebuah kulkas karena teringat sereal yang kumakan semalam mungkin sereal terakhir yang kupunya dan sereal semalam terasa agak hambar. Aku ambil sekotak sereal dan segalon susu dari kulkas disebelahnya kemudian bergegas menuju kasir mengingat akan turun hujan sebentar lagi dari suara gemuruh-gemuruh kecil yang kudengar.
Hujan turun dengan lebat saat aku hampir sampai di apartment, dapat ku lihat beberapa pasang kedipan lampu merah dan biru dari kejauhan dan terdengar suara sirine yang khas, semakin ku mendekat semakin jelas bentuk dan bunyinya meskipun tersamar oleh derasnya air hujan, saat itu juga aku mengerti apa yang telah terjadi.
Mereka mencium baunya.
Si lugu Lydia, harusnya kau melihat mukanya yang ketakutan saat aku ikuti ia pulang dari swalayan malam itu, ia pasti ketakutan setengah mati sampai sesak napas saat menceritakannya kepadaku. Terlebih lagi saat ku telepon ia berkali-kali menggunakan nomor asing dan membiarkan ia kebingungan saat mengangkat telepon dan hanya kesunyian yang ada diseberangnya.
Setidaknya aku tidak harus mengecilkan suara TV dan mematikan lampu ditengah malam lagi. Aku akan menikmati ruangan yang luas dan tidur dengan pintu tertutup setelah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bitter Cereal
Mystery / ThrillerThis is The Bitter Cereal, my first publicly uploaded short story inspired by me eating cereal at night and feel kinda dumb, enjoy !