"Senpai, apa tidak berlebihan mengadakan pesta di villa milikmu? Tahun kemaren klub juga beberapa kali memakainya."
Mikasa merangkul juniornya santai, "Astaga, santai saja Falco. Tidak ada yang berlebihan bagi seorang Mikasa ini." Mereka berjalan di Koridor menuju ruangan klub teater.
Falco, laki-laki itu memasang wajah bosan. "Dasar! Apa karena senpai kaya plus anak tunggal bisa bersikap sesantai ini?"
"Kurang lebih ya. Tapi coba kau pikirkan! Misalnya kau memiliki kelebihan materi dan kau satu-satunya yang bisa memakai materi itu, pasti kau akan bersikap sama denganku."
Falco menatap Mikasa dan melepas rangkulannya. "Tidak, kalau aku di posisimu aku akan memanfaatkannya dengan maksimal. Investasi mungkin? Kalau untuk villa aku akan minta biaya sewa pada klub." Laki-laki itu membuka pintu ruangan klub.
Mikasa sambil berkacak pinggang menunggu pintu terbuka, mencubit perut Falco hingga ia mengaduh kesakitan.
"Senpai?!"
"Apa kau seperhitungan itu pada klubmu sendiri hah?!"
"Iya, aku memang orang yang perhitungan. Sesekali tidak masalah memakainya gratis, tapi kalau terus-terusan aku akan minta bayaran. It's all about money. " Jawabnya enteng, laki-laki asal Jerman tersebut masuk keruang klub mendahului Mikasa.
"Dasar! Apa otakmu isinya tentang uang saja, huh?!"
Falco mendecak kesal karena ocehan seniornya itu, sebuah buku tebal di dekatnya ia lempar ke wajah Mikasa.
"Aww!! Dasar junior kurang ajar!" Teriaknya, kemudian sepintas melihat buku tebal. Ternyata novel yang beberapa waktu lalu yang sempat ia pentaskan saat festival kampus.
Seketika Mikasa mengingat salah satu tokoh novel yang memiliki kesamaan nama dengannya. Tokoh antagonis cerdas sekaligus cerdik, namun disisi lain wanita itu juga sangat bodoh menurut Mikasa. Dendam tak beralasan dan ambisi tidak jelas untuk mendapatkan kekuasaan.
"Bodoh sekali."
"Siapa yang kau bilang bodoh?" Tanya Falco mendengar gumaman Mikasa.
Ia mengangkat novel itu, "Tokoh antagonis di novel ini."
"Ohh, apa karena sama bodoh denganmu, kau menolak memerankan karakter Mikasa itu senpai?." Tanya Falco dengan seringai menyebalkan, setelahnya ia menerima lemparan balik dari Mikasa.
Setidaknya itu percapakan terakhir antara Mikasa dan Falco Greece yang ia ingat.
Semalam, ia mengadakan pesta terpilih sebagai ketua klub teater di villa milik keluarganya. Setelah memanggang barbeque dan melakukan beberapa permainan, mereka melanjutkan acara dengan pesta minum-minum, tapi sayangnya Mikasa malah meninggal dan sekarang ia bereinkarnasi ke tubuh karakter fiksi.
Flashback.
Malam menjelang pukul delapan, pesta perayaan terpilihnya Mikasa sebagai ketua klub dimulai. Sesuai tradisi, biasanya klub teater di akhir agenda mengadakan acara minum-minum hingga larut pagi.
Mikasa yang memiliki toleransi rendah terhadap alkohol pun tumbang. Ia dibawa oleh junior tingkat satu kedalam kamar. Tanpa memperhatikan situasi, gadis itu menidurkan Mikasa dalam posisi telentang kemudian meninggalkannya sendiri dikamar.
Tak disangka, isi perutnya bergejolak ingin keluar. Mikasa muntah, namun tubuhnya tidak bisa digerakkan sama sekali. Alhasil, ia tersedak oleh muntahannya sendiri.
Mikasa mulai berpikiran sempit, ia pikir dirinya akan mati saat ini. Sedikit kesadaran muncul walau hanya berberapa detik, di detik terakhir Mikasa menyesali keadaan dan meminta pada Tuhan setidaknya jika ia mati, matikan dirinya dengan cara yang lebih keren.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Pain of Blue Flowers
FanfictionEntah kesialan darimana, malam itu saat mengadakan pesta, Mikasa malah meninggal akibat tersedak setelah minum-minum. Sebelum ajal menjelang, Mikasa sempat sadar beberapa detik dan meminta pada tuhan agar setidaknya membuat ia mati dengan cara yang...