Dua

110 10 2
                                    

"Syukurlah, kamu baik-baik saja." Aku tersenyum lega mendapatinya utuh tak kurang apapun. Wajahnya juga masih tampan walau dengan rambut yang ikal tidak beraturan begitu.

"Ada apa? Apa ada masalah?"

Sagala melongokkan kepalanya keluar. Melihat sekitar yang memang tidak ada apa-apa sebenarnya.

"Ayo masuk dulu, bicara di dalam." Dia menarikku ke dalam rumah mungilnya yang hanya sepetak.

Rumahku juga sama, hanya sepetak. Bedanya ada sekat di rumahku sehingga menjadi dua ruangan. Kamar mandi juga di dalam, walaupun kecil. Beda dengan punya Sagala yang masih ada di luar, di belakang sana.

"Ada apa?" tanyanya lagi.

"Aku memimpikanmu."

Sagala menatapku, tapi tak lagi berkomentar. Jadi aku kira dia sengaja agar aku bercerita lebih detail lagi.

"Buruk. Itu mimpi buruk!" aku mulai terengah-engah, entah kenapa. "Itu mimpi yang sangat menyeramkan! Aku ... aku tak bisa."

"Hey, hey, sudah, tidak usah dibayangkan lagi." Sagala menyentuh pipiku dengan kedua tangan besarnya.

"Sekarang aku di sini. Kamu lihat sendiri aku baik-baik saja."

"Aku-"

"Sudah-sudah, tidak usah terlalu dipikirkan. Aku baik-baik saja, Deraa." Jemari Sagala mengelus-elus pelipisku.

"Aku takut," cicitku akhirnya.

"Kamu-"

Sagala menarikku ke dalam dekapannya.

"Kamu ... Kamu menghilang."

"Aku tidak akan ke mana-mana. Tenang saja." Sagala mengusap surai lembutku yang bergelombang.

"Jangan meninggalkanku," aku merengek seperti anak kecil. Air mata sudah tak dapat ditahan lagi.

"Aku tidak mungkin meninggalkanmu." Sagala mengecup keningku pelan. "Aku mencintaimu, Deranita," dia bergumam. Suaranya yang lembut mengalun indah di telingaku.

Aku dan Sagala sudah berteman selama lebih dari sepuluh tahun. Sedari dia pindah ke rumah kecil di samping rumahku kami sudah akrab dan menjadi tidak terpisahkan.

Sagala melindungiku dan selalu setia menjagaku.

Selepas kepergian nenek, dia yang bertugas seolah menjadi seorang wali dari anak kecil yang tidak tahu apa-apa.

Padagal umur kami hanya beda dua tahun tapi Sagala jauh lebih dewasa dari yang seharusnya.

Kecerdasannya melebihiku. Membuat dia dengan mudah menyelesaikan masalah yang aku buat.

"Ayo duduk." Sagala membawaku duduk di lantai yang hanya dilapisi karpet usang peninggalan kakaknya.

"Sebentar lagi juga terang." Dia menjelaskan seolah menegaskan bahwa tidak apa-apa jika aku harus berada di sini lebih lama.

"Apa kamu bukan seorang vampir?" tanyaku tak nyambung. Tapi aku benar-benar penasaran. Bukankah yang bisa menghilang dan muncul sesuka hati itu adalah seorang vampir?

"Apa?" Raut wajah Sagala menunjukkan kekagetannya.

"Apa maksudmu, Dera? Jangan bicara omong kosong."

Kenapa dia seperti gelisah begitu? Apa ada sesuatu yang disembunyikannya?

"Aku hanya menebak," ucapku pelan.

"Kamu ... di dalam mimpi itu kamu bisa menghilang." Tanganku bergerak membuat pola abstrak di karpet hitam yang kami duduki. "Ah, tidak. Kamu diambil hitam pekat itu. Aku tidak mengerti, tapi kamu seperti menghilang."

"Apa yang kamu maksud? Aku semakin tidak mengerti." Sagala menatapku. Walaupun masih menunduk, aku tahu itu.

"Vampir, kamu tahu bukan?" aku bertanya memaksa. Sudah pasti dia tahu. Jika pun dia bukan komplotan mereka dia pasti tahu.

"Tentu saja aku tahu."

Tuh! Betul bukan!

Walaupun semakin melantur, aku tetap harus memastikannya.

"Itu sudah diceritakan dari zaman dulu. Itu hanya mitos. Tenang saja. Tidak ada makhluk begitu di dunia ini."

"Jadi, kamu bukan vampir?" tanyaku masih tak percaya.

***
Bojongmengger, 31 Maret 2024
Putri Kemala Devi Yusman

Serigala SagalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang