"Aku ingin berdua denganmu, diantara daun gugur."
Lee Jeno terlahir spesial. Sepanjang hidupnya ia selalu merutuki nasib buruk yang menimpanya. Kemampuan yang merupakan keistimewaan, sekaligus kesialan untuknya.
Lee Jeno bisa melihat hal-hal yang seharusnya tidak terlihat. Ia bisa melihat dan merasakan makhluk-makhluk tak kasat mata yang juga hidup berdampingan dengannya. Setiap hari, 24 jam tanpa henti.
"Diamlah! Kau membuat pikiranku buyar!" Jeno menyentak. Ia mengusak rambutnya frustasi. Sejak tadi, makhluk tak kasat mata ini terus mengganggunya dengan rentetan permintaan yang sangat menyebalkan.
"Ayolah Jeno, aku janji ini permintaan yang terakhir kali, nanti aku beri kunci jawaban untuk ulangan Matematikamu, bagaimana?"
Jeno menghembuskan napas kasar, ia melirik makhluk yang melayang, memandang dirinya dengan tatapan memohon. Matanya bulat, berpendar cantik, walau sudah tidak hidup lagi.
"Tidak perlu. Aku rasa aku sudah terlalu sering mengandalkanmu. Mulai sekarang aku akan fokus belajar untuk diriku sendiri," Jawab Jeno tegas, mengundang desahan kecewa dari makhluk tak kasat mata itu.
"Come on, Jen. Kamu ingin segera lulus dengan nilai terbaik bukan? Aku sangat mengerti dengan kemampuan otakmu yang pas-pasan itu, Jen. Ayolah, izinkan aku membantumu lalu kau akan meminjamkan ragamu sebentar untuk membeli gulali, bagaimana?"
Makhluk itu tak menyerah. Masih berusaha membujuk Jeno yang terlihat pura-pura fokus mengerjakan soal matematika dihadapannya.
Sebenarnya Jeno bisa saja meminjamkan raganya sebentar untuk makhluk ini. Mengizinkannya membeli gulali yang tidak penting itu untuk memuaskan keinginan sang jiwa yang sudah mati. Namun Jeno tidak ingin ambil resiko, bagaimanapun makhluk didepannya ini terlihat masih menginginkan menjadi manusia hidup yang dapat menggerakan raga sendiri, Jeno hanya takut ia tidak dapat kembali ke raganya sendiri.
"Teganya kamu berpikiran seperti itu, Jen! Kamu tidak mempercayaiku? Setelah selama 7 tahun kita hidup bersama? Kamu jahat sekali Jen."
Makhluk itu marah. Ah tidak, lebih tepatnya merajuk. Bibirnya mengerucut lucu, dan tangannya bersidekap di dada. Ia membalikan badan dan pergi melayang ke sudut kamar. Menghadap tembok dan tidak ingin melihat wajah Jeno.
Jeno lagi-lagi menghembuskan napas, ia berjalan menuju sudut kamar lalu duduk diujung kasur. Ia memandang makhluk yang masih merajuk itu, badannya bergetar menahan tangis.
"Na, kamu marah?" Jeno bertanya lembut. Namun makhluk itu masih bergeming, tidak ingin menjawab pertanyaan Jeno atau menatap wajahnya.
"Na, kemari, ayo lihat aku."
Perlahan makhluk itu berbalik. Menatap Jeno dengan mata yang memerah dan bergelimang air mata.
"Aku hanya ingin meminjam ragamu sebentar untuk membeli gulali itu, Jen. Sumpah aku tidak ingin melakukan apapun selain itu. Aku hanya ingin mewujudkan keinginanku sebelum aku mati, Jen."
Dia Nana. Ya, hanya Nana namanya. Ia bertemu dengan Jeno di pohon beringin tak jauh dari sekolahnya berdiri.
Kamis, 30 Juni 2005
Saat itu Jeno pulang malam sekali karena tugas kelompok. Ia berjalan sendirian menyusuri malam dengan earphone yang tersumpal di telinga, bermaksud menghindari gangguan gangguan makhluk yang sedari tadi menatapnya dan ingin mengganggunya.
Tangisan itu terdengar sangat pilu. Jeno berusaha tidak peduli dan tetap melangkahkan kakinya, pergi menjauh dari makhluk yang sedang menangis, terduduk diatas sana, salah satu tangkai pohon beringin yang besar.
Anehnya, makhluk itu sama sekali tak mengganggunya. Ia hanya menangis, tidak menggubris apalagi mengganggu Jeno seperti apa yang biasanya mereka lakukan. Ada secercah rasa iba dalam hatinya.
Jeno berhenti dan berbalik. Melangkahkan kakinya menuju makhluk yang sedang menangis itu. Lalu berdiri disamping pohon besar yang menjulang. Mendongak keatas dan mendapati makhluk itu masih tidak menyadari keberadaannya.
"Hei."
Makhluk itu tidak merespon. Masih melanjutkan tangisnya yang menyayat hati setidaknya bagi Jeno.
"Hei, kau bisa melihatku 'kan?" Ucap Jeno agak keras. Bermaksud agar makhluk itu mendengar.
"Nana gak suka dibentak," Akhirnya makhluk itu berbicara. Perlahan ia membalikan badannya, menghadap pada Jeno. Ia masih terduduk di tangkai pohon itu.
Demi sempak Haechan. Jeno rasanya ingin sekali kabur setelah melihat penampakan depan makhluk itu. Wajahnya sangat buruk, dalam arti wajahnya yang rusak dengan darah berlumuran dimana-mana. Juga netra yang sepenuhnya hitam pekat. Makhluk ini mempunyai energi yang cukup tinggi sepertinya.
"Kenapa? Kamu takut melihatku? Wajahku memang buruk rupa, lebih baik kamu pergi saja.." Makhluk itu kembali tergugu, mengeluarkan tangisnya. Ia kembali berbalik badan dan menangis.
"Maaf, aku gak bermaksud seperti itu. Kamu tidak buruk, Nana," Perkataan itu seolah meluncur begitu saja dari bibir Jeno. Wujud Nana tidaklah baik, jauh dari kata indah. Nana termasuk dalam jejeran makhluk tak kasat mata yang tidak ingin Jeno lihat.
"Benarkah?" Nana mulai berbalik, ia melayang kemudian turun dari pohon itu dengan mudahnya. Ia melayang di hadapan Jeno.
Jeno mengumpat dalam hati. Ia sangat ketakutan sekarang. Mata hitam pekat itu menatapnya dengan sangat dekat. Badan yang berlumuran darah serta leher yang terdapat luka lebar menganga berada tepat dihadapan Jeno.
"Y-Ya, lagipula aku sudah sangat sering melihat makhluk sepertimu," Jeno berkata cepat. Ia berusaha menghindari kontak mata dengan makhluk didepannya ini.
Rupanya Nana terlihat senang. Ia tersenyum lebar kemudian tertawa riang. "Baru kali ini ada yang mengatakan seperti itu. Kamu baik sekali, umm... siapa namamu?"
"Jeno, Lee Jeno."
Nana lagi-lagi tersenyum. "Terimakasih, Jeno! Kamu baik sekali~~"
Jeno hanya memaksakan senyumnya. Lalu bertanya, "Kenapa kamu menangis, Nana?"
Nana yang awalnya tersenyum lebar kini kembali mencebik. Raut wajahnya terlihat sedih dengan aura yang kembali gelap.
"Nana rindu Mama."
"Mama pergi, dibawa oleh segerombolan pria berkulit putih memakai seragam tentara," Lanjutnya.
Jeno hanya diam mendengarkan. Jika ditilik, rupa dan pakaian Jaemin memang terlihat kuno. Juga wajahnya yang terlihat asing, bukan seorang pribumi. Pakaian Jaemin terlihat seperti pakaian orang-orang zaman kolonial.
Jeno menghembuskan napas pelan. Lalu menatap netra kelam menyeramkan itu perlahan.
"Kapan kamu mati, Nana?"
Nana mengangkat wajahnya, membalas pandangan Jeno. Lalu tersenyum tulus.
"Nana ingat sekali. Hari itu adalah hari ulang tahun Nana. 13 Agustus."
"Tahun 1943."
TBC
Halo! Ini book pertama aku. Maaf kalau masih kurang tertata:( aku bakal berusaha jadi lebih baik lagi. Mohon dukungannya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Mystery of Love | NOMIN
Fanfiction"Ku harap suatu saat aku bisa menggenggam tanganmu, Jen. Barang sekali dalam seumur hidupku. Aku rela menukarkan apapun untuk itu." Ini seharusnya tidak terjadi. Jeno dengan kemampuan spesialnya dan Jaemin yang tidak nyata. Tidak sepatutnya makhluk...