"Bagaimana dengan nilai anak Saya, Bu Melani?"
"...."
"Begitu, ya. Terima kasih karena sudah mau membantu Saya, Bu. Saya tidak akan pernah tahu apa yang dialami anak Saya itu jika Bu Melani tidak memberi tahu Saya tentang masalah nilainya. Sekali lagi Saya ucapkan terima kasih banyak, Bu Melani."
"...."
"Iya, Bu, terima kasih."
Telepon pun berakhir. Kedua orang tua Mawar saling berpandangan satu sama lain. Bukannya pandangan penuh cinta yang mereka tampakkan, tetapi pandangan cemas nan penuh harap.
"Bagaimana kalau kita mengirimnya ke desa saja? Biarkan dia belajar dan membantu neneknya di sana," ujar Papa Mawar membuka suara setelah menimang-nimang pendapatnya.
"Tapi, Pa, bagaimana kalau dia mengalami trauma itu lagi? Mama takut keadaannya memburuk seperti dulu," sahut Mama Mawar dengan penuh kecemasan.
"Papa juga khawatir akan hal itu, Ma, tetapi itu adalah jalan terbaik agar dia bisa berubah. Dulu dia masih sangat kecil, itu sebabnya kita harus membawanya ke sini dan menuruti semua permintaannya. Tapi lihatlah dia sekarang, akibat semua yang kita lakukan dulu, dia jadi salah jalan seperti itu. Kini dia sudah tumbuh dewasa, mungkin dia sudah bisa mengatasi traumanya itu. Dokter Richard juga mengatakan hal yang sama bukan?"
Mama Mawar mengangguk lemah. "Bagaimana pun Mama tetap mengkhawatirkannya, Pa. Papa tahu betapa sulitnya kita mendapatkan Mawar."
"Papa tahu apa yang Mama rasakan, tetapi percayalah pada Mawar, Ma. Dia pasti bisa melewati semua ini. Lagi pula Papa akan menempatkan beberapa mata-mata di sana yang akan mengawasinya. Kalau ada apa-apa mereka pasti akan melaporkannya pada kita. Jadi, kita harus melakukan ini." Papa Mawar meyakinkan istrinya akan keputusan besar yang akan mereka buat.
"Tetapi di sana juga ada Bagus."
"Ini sudah waktunya untuk mereka berdua mengetahui rahasia itu, Ma. Biarkan saja waktu berjalan dan mereka akan mengetahui segalanya."
"Baiklah, Mama juga ingin Mawar berubah menjadi lebih baik di sana." Mama Mawar memeluk suaminya tanda setuju dan lega akan beberapa hal yang sudah mereka diskusikan tentang kehidupan Mawar.
Di tempat lain, Mawar sedang bersenang-senang dengan teman-temannya. Mereka menyebutnya dengan pesta kelulusan. Ya, baru beberapa jam yang lalu sekolah mengumumkan kelulusan mereka dan kini mereka sudah menghabiskan waktu dengan minuman dan musik.
"Gengs, ada yang belum bersenang-senang nih!" teriak salah satu teman Mawar di tengah kebisingan musik yang memenuhi seisi ruang karaoke.
"Minum dong, Rose. Masa di hari kebebasan kayak gini Lu ga mau minum bir. Cemen Lu," ejek temannya tadi yang menyatakan bahwa Mawar lah orang yang tidak bersenang-senang di sana.
"Engga Ca, Gue ga bisa minum bir, Gue ga suka," tolak Mawar dengan masih memegang minuman bersodanya.
"Hah, minuman enak gini Lu ga suka? Gila Lu, ya. Ini tuh cara terbaik untuk menikmati hari kebebasan kita ini." Salah satu temannya yang lain membawa botol bir di tangannya pun mendekati Mawar.
"Ya, Gue juga ini lagi seneng-seneng kali, gengs, ga perlu minum begituan."
"Dih, belajar dong, Rose. Entar kalau Lu udah punya suami, Lu juga bisa seneng-seneng kayak kita. Iya 'kan gengs?"
"Bener!" jawab teman-teman Mawar serempak.
"Ca, pegangin Mawar, yang lain bantuin Caca dong! Kita buat Rose nge-fly ye, nggak?"
Dua teman Mawar, yaitu Caca dan Raya memegangi kedua tangan Mawar di sisi yang berbeda. Sedangkan Ghea dengan botol bir di tangannya sudah bersiap untuk membuat Mawar meneguk isi botol itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Charger
RomanceApa yang terjadi ketika gadis cerewet dan keras kepala jatuh cinta pada pria sederhana dan cuek seperti Bagus? Kehidupan Mawar yang mewah membuatnya harus menyesuaikan diri dengan kesederhanaan di desa. Itu bukan keinginan dari dirinya sendiri, mel...