KEMBAR SETAN eh TAMPAN

27 4 0
                                    

Di salah satu komplek perumahan elit di bilangan Jakarta terdapat sepasang anak lelaki kembar bernama Nana dan Jeno. Usia mereka baru menginjak sepuluh tahun tepat 8 jam yang lalu. Semua orang mengenal mereka, tidak ada satu orangpun di komplek yang tidak mengenal mereka. Mereka sukses mencuri perhatian banyak orang. Bukan karena semua kelebihannya, melainkan karena kelakuan mereka yang diluar nalar.

Lahir dengan paras tampan, berbakat, dan cerdas serta berasal dari keluarga kaya raya, memang sangat menggoda dan terdengar sempurna, namun satu kekurangan mereka, akhlak.

Karena kelakuan super mereka, semua orang selalu mengaitkan semua hal-hal buruk termasuk kejadian-kejadian criminal dengan mereka. Ya, criminal, mulai dari kasus maling ayam, mencuri manga sekarung, hingga judi online.

Pusing adalah hal yang jelas dan pasti dirasakan orang tuanya, terutama nyonya Hadiraja—sebut saja Melisa, ibu mereka. Melihat kelakuan anak-anaknya 24/7 dan diikuti aduan tetangga hingga satpam komplek membuatnya sampai pada titik jengah. Hingga di satu waktu, Melisa yang merupakan seorang katolik taat berdoa kepada tuhan dengan doa yang paling tulus dari semua ketulusan doanya. Akhirnya dia berinisiatif membawa anak-anaknya menemui seorang pastor di gereja dekat rumah tempatnya beribadah.

Di Sabtu pagi yang cerah, sesosok lelaki paruh baya dengan pakaian yang khas menyambut mereka di depan pintu masuk gereja. Ini masih terlalu pagi memang karena mataharipun baru keluar ke peraduan 30 menit yang lalu. Jeno dan Nana masih mengenakan piyama ketika Melisa menyeret mereka ke gereja pagi ini. Betapa tidak tahannya Melisa karena sepagi ini saja si kembar super ini sudah membuat ibu Pinangki berteriak-teriak di depan rumah mereka.

Ibu Pinangki adalah seorang jaksa sekaligus  nyonya keluarga Napitupulu yang rumahnya terpisah beberapa blok dari rumah keluarga Hadiraja. Entah makhluk apa yang merasuki si kembar setan eh tampan, pada pukul 5 dinihari mereka sudah menghilang dari kamar luas super nyaman mereka. Hanya tersisa selimut yang menggulung di atas bunkbed.

Dua bocah yang hanya beralaskan slippers itu sudah duduk tenang di depan sebuah rumah mewah dengan pagar besi tinggi dengan bibir yang tersenyum jahil sambil menatap sang pemilik rumah yang berada di depan pagar tengah bersiap untuk bersepeda menikmati akhir pekan. Si kembar mulai berhitung saat pemilik rumah dengan tubuh berisinya mulai menaiki sepeda.

“Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima.”

Mereka sangat cerdas dan tepat. Tepat di hitungan ke lima, dua roda cannondale itu terlepas dari bodi sepeda dan menggelinding ke arah berlawanan menyisakan suara keras diiringi teriakan kaget dan kesakitan dari si pemilik rumah.

Seketika suara tawa menggelak mengiringi aduhan kesakitan dari Yogi Napitupulu di akhir pekannya.

Dan sekarang, disinilah Nana dan Jeno. Berada di dalam gereja yang sama namun dalam ruangan yang berbeda.

Pastor Andrea berdiri di depan Jeno dengan senyum yang tidak menghilang sejak mereka melihatnya di pintu masuk tadi. Lelaki paruh baya itu menatap Jeno teduh dengan dua tangan saling menggenggam di depan dada. “Jen, ibumu itu sudah semakin tua, apa kau tidak kasihan melihatnya?”

Jeno tidak menggubris, dia hanya menatap pastor dengan polosnya sambil bertanya-tanya di dalam kepalanya ‘mama saih muda, kalau mama tua berarti sebutan untuk papa itu apa? Bau tanah?’

Pastor Andrea yang tidak mendengar jawaban apapun kembali bertanya, “Jeno, kau tahu tuhan ada dimana?” kali ini pastor sengaja bertanya dengan pertanyaan yang religious untuk  mengetes sejauh mana keimanan anak di depannya ini. Pastor yakin, jika seseorang memiliki keimanan pastilah dia akan takut ketika diingatkan akan tuhannya sehingga dia akan kembali ke jalan yang benar.

Kali ini pun Jeno cuek, tidak menggubris sama sekali.

Melihat itu, pastor masih dengan kesabarannya kembali bertanya, “Tuhan ada dimana, Jeno?”

Tidak berbeda dengan sebelumnya, Jeno hanya diam.

“Tuhan dimana, Jeno Hadiraja?” tanya pastor dengan suara yang lebih rendah.

Jeno diam.

“Jeno Hadiraja, beritahu aku dimana tuhan.”

Entah apa yang terjadi, Jeno kini menatap pastor dengan serius sampai-sampai kerutan di dahinya muncul.

“Dimana tuhan, Jeno?”

Jeno mulai bingung dan menelan air liurnya. Matanya menatap pastor Andrea tajam. Mulai berpikir dan sedikit komat-kamit. Keringat dingin sebesar biji jagung pun perlahan mulai meluncur dari pelipisnya.

Merasa tidak ada respon, dan waktunya terbuang sia-sia, pastor Andrea menatapnya tajam dan mulai meninggikan suara, “TUHAN ADA DIMANA, JENO HADIRAJA??!!!”

“AKU TIDAK TAHU!!!” Jeno berteriak sambil lari ketakutan meninggalkan pastor Andrea sendirian di ruangannya.

Dengan nafas terengah-engah dia lari terbirit-birit bak dikejar iblis segera mencari saudara kembarnya. Dia mencarinya di ruang tunggu, di dalam gereja, bahkan di taman, namun kembarannya itu tidak ada, hilang bak ditelan bumi.

Jeno lari pontang-panting tak peduli pada apa saja yang ada di hadapannya. Dia menabrak semuanya demi menemukan dirinya yang lain—Nana. Keringat membanjirinya membuat poninya menempel di kening, namun dia abaikan dan terus berlari seperti tidak mengenal hari esok.

Hingga pada akhirnya di satu sisi utara gereja, dia melihat ibunya bersandar di tembok dan menemukan belahan jiwanya baru saja keluar dari bilik toilet umum. Ya, toilet umum, karena Nana yang kebelet eek dan Nana yang berisik tiap kali berada di toilet membuat Melisa membawanya ke tempat yang cukup jauh dari bangunan utama.

“NANA!!!!!” Jeno menambah kecepatannya sampai akhirnya jatuh ke pelukan Nana.

“Kenapa, No?” tanya Nana dengan senyumnya yang super manis. Nana yang penasaran memperhatikan saudaranya dari atas ke bawah layaknya adegan sinetron. Rasa penasaran itu sudah tidak bisa dibendung lagi dan Nana pun bertanya. “Kamu kenapa Nono? Muka kamu pucat. Si pastor tua itu bilang apa?”

Dengan gemetaran, Jeno menjawab pertanyaan Nana, “Gawat, Na!!! Tuhan hilang!!! Pastor pikir kita yang curi!!!”

Nana yang daritadi hanya senyum-senyum perlahan mulai merasa aneh, “ASTAGA!!! Beneran?!! Sumpah, No, aku gak nyuri tuhan. Aku aja gak tahu rumahnya dimana. Kok pastor itu jahat sih nyangka kita pencurinya?????”

Dan dua anak barbar eh kembar ini pun menangis bersama di depan toilet umum gereja.

TAMAT

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 27, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KEMBAR BARBARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang