Lita dan Puing-Puing Impiannya

897 176 17
                                    

Lita adalah perempuan pertama yang membuat Welly takjub dengan ketenangan yang nyaris dipelihara dengan sebaik-baiknya. Lita juga yang menjadi perempuan pertama yang ingin Welly jelajahi setiap lika-liku hidupnya, dan ia cintai sedalam-dalamnya.

Welly sadar betul Lita menjalani hidup yang berat. Ada tanggungan yang sedang menggantung pada kedua pundaknya.

Perempuan itu hanya tinggal bersama papa dan adiknya. Selain kuliah, Lita punya kesibukan mengajari anak-anak sekolah dasar di sekitar rumahnya untuk mengais pundi-pundi uang. Di sisi lain, perempuan itu selalu mengatakan pada Welly bahwa ia harus berhemat. Lantas Welly sadar bahwa Lita tidak mengumpulkan uang untuk dirinya sendiri, melainkan untuk menopang sebagian beban keluarganya.

Mereka sudah membicarakan banyak hal selama ini. Namun, Lita selalu melewatkan alasan yang sebenar-benarnya mengenai ketidaklengkapan orang tuanya. Keharusan Lita yang membantu papanya untuk mengumpulkan uang sebagai biaya hidup sehari-hari. Juga tentang mimpinya.

Welly akan melewatkan hal yang terlampau pribadi, yang mungkin akan disentuhnya nanti. Ketika Lita sudah siap membukanya sendiri di depan Welly. Dan sampai saat itu tiba, Welly benar-benar siap menunggu.

Namun, ia tidak bisa lagi melewatkan yang satu ini. Soal mimpi Lita.

Semua dimulai ketika sore ini. Selepas Lita menyelesaikan kelas terakhirnya di hari Selasa, Welly sengaja menunggunya di gazebo yang persis di depan kelas perempuan itu. Deo menemani dengan satu tas plastik berisi gorengan. Laki-laki itu tidak punya jadwal apa pun dan ketika tahu Welly tengah berada di Fakultas Ekonomi, ia dengan senang hati menemaninya sambil menghabiskan beberapa batang rokok.

Welly mengalihkan mata dari Deo yang baru saja menyalakan lighter pada batang rokok ketiga dan menoleh ke arah pintu kelas di depan mereka yang dibuka lebar-lebar. Para mahasiswa berhamburan keluar. Butuh belasan detik sampai kelas kelihatan mulai sepi dan ia mendapati Lita keluar dari kelas bersama Lani. Senyum Welly otomatis mengembang. Perempuan itu membalas senyumnya samar.

Meski batang rokoknya masih terlampau panjang untuk dibuang, Welly tidak ragu melemparnya ke tanah dan menginjaknya hingga tidak ada lagi asap yang timbul dari sana.

Deo ikut menoleh dan langsung menyapa Lita serta Lani bergantian. Sebagai mahasiswa Akuntansi, mereka sudah tentu pernah bertemu ketika Deo menjadi panitia ospek jurusan. Lita dan Lani sudah tentu mengenali Deo. Namun, yang ia lihat sore ini, Deo juga mengenal mereka dan tidak canggung ketika melontarkan pertanyaan kasual berupa: mata kuliah apa yang baru saja usai di kelas mereka.

Temannya itu memang mudah bergaul dengan siapa saja. Mulai dari kakak tingkat hingga adik tingkat, nyaris tidak ada yang tidak mengenalnya. Deo pun bukan tipe mahasiswa yang sulit didekati. Siapa saja yang mau menyapanya, akan dibalas dengan senyum lebar dan nada ceria yang tidak pernah disembunyikan.

"Udah dari tadi, Mas?" tanya Lita. Rautnya tampak bersalah saat tatapan mereka bertemu.

Keduanya memang memiliki janji bertemu, tetapi Lita kelihatan tidak berekspektasi bahwa Welly akan datang lebih awal.

Welly lantas menggeleng dan meminta Lita duduk di kursi kosong yang ada di sampingnya. "Limabelas menit yang lalu. Kebetulan ketemu Deo. Nih, gorengannya dia masih hangat. Kita baru duduk."

Selepas terjebak dalam obrolan ringan selama hampir sepuluh menit, Lani pamit pulang dan Deo beranjak dengan alasan ingin menemui Izza—teman dekatnya. Tersisa Lita dan Welly yang duduk bersisihan di gazebo.

Perempuan itu mulai menceritakan harinya saat Welly membuka obrolan. Tentang tugas kuliahnya yang semakin sulit dipecahkan. Tentang presentasi kelompoknya yang mendapat repon mengesankan dari dosen pengampu. Tentang dosen lintas jurusan yang menceritakan perihal perjalanan hidupnya semasa berkuliah di kampus terbaik di negeri ini. Tentang mimpi yang terwujud dan Lita mengagumi dosen itu.

Lalu, satu pertanyaan mengusik Welly dan ia tidak sempat menahan ketika bibirnya berucap, "Gimana soal mimpimu?"

Kontan, Lita menoleh pada Welly, tepat ketika ia memusatkan pandangan pada perempuan itu. Lita mengerjap, sebelum kembali mengalihkan pandangan. Namun, sampai beberapa menit berikutnya, Welly hanya mendengar embusan napasnya yang tenang.

Welly sudah akan bersuara lagi, tepatnya hendak meminta maaf atas pertanyaannya yang mungkin mengusik perempuan itu. Belum sempat kata-katanya terucap, ia sudah mendengar suara Lita yang tidak beriak.

"Aku nggak punya mimpi, Mas."

Berusaha ditekan rasa herannya, sehingga Welly butuh waktu berdetik-detik untuk melempar pertanyaan sederhana. "Kenapa?"

"Ya ... emang nggak punya, Mas. Aku nggak siap punya mimpi, karena aku takut selamanya aku bakal terus bermimpi. Aku nggak bisa nanggung konsekuensi itu seumur hidup." Lita menarik napas dan mengembuskannya perlahan, lantas kembali berucap, "Aku juga harus fokus buat ... mastiin mimpinya Liv. Jadi nggak masalah aku nggak punya mimpi. Yang penting adekku nggak. Yang penting dia nggak kenal dunia yang lagi aku jalani."

Welly tercekat. Tahu betul bahwa Lita sangat menyayangi papa dan adiknya. Beberapa kali bertemu keduanya dan melihat interaksi Lita dengan mereka, Welly tidak perlu mendapat penegasan secara lisan untuk bisa mengetahuinya.

"Aku ... aneh, ya, Mas?" tanya perempuan itu pelan, sewaktu Welly tidak bersuara untuk beberapa detik.

Ia membeliak. Lantas menggeleng dengan tegas. "Semua orang berhak emang untuk bermimpi, tapi bukan berarti dia nggak berhak untuk nggak punya mimpi. Nggak apa-apa selama kamu punya alasan. Apa yang barusan kamu bilang itu ... legal. Bukan hal yang perlu dipermasalahkan."

"Kalau kamu lagi bertanya-tanya," katanya lirih, meski Welly masih bisa dengan jelas mendengarnya. "Aku belum bisa ngomong apa-apa sekarang, Mas. Bukan karena aku nggak percaya sama kamu, tapi karena aku nggak percaya sama diriku sendiri. Aku seneng kamu bisa ngertiin aku sampai hari ini. Makasih udah ngelakuin itu buat aku, Mas. Kalau udah waktunya dan kita masih sama-sama, aku nggak bakal nyembunyiin apa-apa dari kamu."

Senyum Welly terulas sempurna. Laki-laki itu sengaja mengubah posisi duduknya sehingga lututnya bersentuhan dengan lutut Lita. Mendadak, pandangan di sekitarnya mengabur dan mereka dalam gelembung yang berbeda.

Welly tidak ingin memedulikan siapa pun. Bahkan ketika beberapa kali mahasiswa yang berlalu-lalang di koridor meliriknya. Sudah berkali-kali Welly mendapatkan atensi lebih ketika berkunjung ke beberapa fakultas untuk bertemu teman-teman satu organisasinya, sehingga ia terbiasa menjadi mahasiswa yang menarik perhatian beberapa mahasiswa lain. Potret wajah Welly pernah besar-besar dipanjang di baliho dekat gerbang utama kampus sebagai peraih juara utama lomba akademik tingkat nasional. Tidak hanya membawa nama Fakultas Teknik, bersama timnya ia juga mewakili kampusnya . Belum lagi ketika Welly mencalonkan diri sebagai kandidat wakil presiden BEM. Welly nyaris tidak mengingat dengan benar-benar di mana saja potretnya terpampang kala itu.

Dipandanginya Lita lekat-lekat. Saat wajahnya kelihatan berminyak karena seharian berada di kampus, saat lipsticknya yang dipakai tipis-tipis semakin samar terlihat, saat matanya menyorot lelah; perempuan itu tidak gagal untuk terlihat cantik. Cantik yang secantik-cantiknya dimata Welly.

Dengan sangat sadar, Welly mengambil satu langkah besar yang akan mengubah hidupnya. Namun, selama ada Lita di dalamnya, yakin betul bahwa ia tak perlu merasa gusar. Kemudian, satu pertanyaan yang penuh harap meluncur dari bibirnya.

"Kalau kamu yang jadi mimpiku, gimana, Taa?"

*

June 29, 2021

Taalita


Connection (Prequel of Fears) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang